Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 13)


13. SEMI FINAL

Zagar menunggu di depan sebuah wartel. Beberapa menit kemudian Nalula keluar dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. “Lo abis nelpon siapa?” tanya Zagar curiga. “Dan kenapa harus di wartel? Kalo emang gak punya pulsa kan bisa pake hape gue.”
        “Hape lo kan error.” Celetuk Nalula sambil berjalan. “Sama kayak yang punya.”
        Zagar malah tertawa mendengar perkataan Nalula sambil menyusulnya. “Serius deh, lo abis nelpon siapa?”
        Nalula berjalan dengan cukup lambat. “Nyokapnya Diaz.”
        “Untuk apa?” Zagar penasaran.
        “Nggak mau ngasih tau akh, kita kan rival.”
        “Jadi, ada sangkut pautnya dengan Rosengard? Ya udah, gapapa. Gue gak maksa kok.”
        Bukannya merasa bersalah, Nalula malah balik tertawa. Zagar pun menatapnya curiga. “Gak usah terbawa suasana banget lah, Gar.”
        “Apa yang lo omongin tuh bener.” Zagar berusaha serius. “Untuk sementara lo jangan cerita apa-apa dulu tentang Rosengard.” Seolah ingin Nalula tak meresponnya, Zagar sedikit mempercepat langkahnya untuk mendahului Nalula. “Kita cari makan.”
        Nalula tersenyum menanggapinya. Karena dirinya lah, Zagar tak sempat menikmati makan malam di apartemen. Sebagai gantinya, mereka memilih makan di warung tenda yang berjejer di sekitar jalan. Dilihatnya Zagar telah memesan makanan untuk mereka berdua lalu duduk di bangku yang telah disediakan. Nalula pun langsung duduk di samping Zagar.
        “Gue nelpon nyokapnya Diaz untuk minta izin supaya Diaz boleh ikut bertanding.” Kata Nalula tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.
        Zagar menoleh. Rasanya cukup mengejutkan Nalula tiba-tiba menghadiahinya dengan cerita seperti itu. “Nal, beneran gue gapapa kalo untuk sementara lo gak cerita tentang Rosengard.” Nampaknya Zagar menganggap Nalula merasa bersalah terhadapnya.
        “Gue berhasil.” kata Nalula lagi penuh semangat hingga membuat mata Zagar terlihat berbinar seolah ikut merasakan sedikit kebahagiaan Nalula. “Tapi ada syaratnya.” Tenyata Nalula belum selesai. Binar di mata Zagar pun seolah kembali memudar seiring dengan ekspresi wajah Nalula yang terlihat penuh beban.
        “Kalo Rosengard gagal merebut posisi puncak, gue harus tinggal bersama Diaz dan nyokapnya.” Ujar Nalula tanpa ada beban sedikitpun.
        “Dan lo setuju?” Tanya Zagar sedikit ragu.
        “Biar gimanapun, nyokap Diaz adalah nyokap gue.” Nalula meyakinkan Zagar bahwa apa yang telah ia lakukan bukan hal yang salah.
        “Anak-anak ada yang tau?”
        “Gue harap nggak.” Nalula menggeleng. “Termasuk Ilan.”
        Zagar malah mengacak-ngacak rambut Nalula dengan lembut. “Ekstrim banget sih lo jadi cewek.”

@@@

        Satu jam kemudian, Lingga, Danu, Hexa dan Tegar pun kembali ke tempat yang mereka rencanakan. Di sana lebih dulu menunggu Davi, Lukas, Windu dan Andi.
        “Nalula udah balik?” tanya Lingga meski masih dari kejauhan.
        “Belum.” Riva yang menjawab.
        “Kita tadi sempet keluar juga, tapi gak ketemu Nalula.” Ujar Davi.
        Tak lama, Dendi Farel dan Khai muncul. “Gue sempet coba telpon Nalula, tapi sibuk terus.” Kata Khai memberi informasi.
        “Gue juga nyoba nelpon.” Kata Lukas menambahkan. “Tapi setelah itu udah gak aktiv.”
        “Gue yang dari tadi telponin Nalula.” ujar Danu akhirnya. “Setelah beberapa kali, memang langsung gak aktiv.”
        “Ternyata Nalula keluar gak bawa hape.” Reva tiba-tiba muncul dari kamar sambil menunjukkan ponsel Nalula di tangannya. “Dan sekarang lowbath.” Ujarnya.
        Lingga langsung terlihat yang paling kalut. Lalu ia seolah menyadari sesuatu. “Dewa mana deh?” tanya Lingga panic.
        “Dewa tadi gak bareng sama gue.” Jawab Windu.
        “Terakhir gue liat waktu masih di ruang makan.” Dendi pun menyampaikan apa yang ia ketahui.
        “Kalian dari mana aja sih?” todong Lingga ketika Ilan dan Garra muncul di ujung koridor.
        “Gue dari klinik nganterin Garra.” Jawab Ilan santai.
        “Anak-anak juga tau kok.” Kata Garra yang membela diri seolah merasa ada sesuatu yang aneh dengan nada bicara Lingga.
        Begitu Ilan dan Garra sampai di depan Lingga, kembali muncul Ferry, Irham dan Anjar di ujung koridor. “Gimana? Ada kabar?” tanya Ferry kepada siapa saja yang berada di sana.
“Kita sempet periksa sampe tempat parkir. Menurut satpam di sana, malam ini gak ada satu pun kendaraan yang masuk ataupun keluar.” Ujar Irham karena tak ada satu pun dari mereka yang ditanya Ferry mendapatkan titik terang.
        “Di pusat perbelanjaan depan sana gak ada juga?” giliran Anjar yang bertanya.
        “Semua tempat udah kita telusuri satu-satu. Dari toko sampe tempat makan.” Kata Hexa.
        “Toilet juga.” Tegar menambahkan ucapan Hexa.
        “Iya. Toilet.” Hexa pun menyetujui apa yang dikatakan Tegar. “Tapi gak ada juga.”
        “Sampe nanya-nanya ke pusat informasi juga malah.” Tegar nampaknya masih belum selesai.
        Ilan dan Garra yang berada ditengah-tengah kerumunan saling tukar pandangan karena merasa bingung dengan apa yang sedang dibicarakan teman-temannya. “Kalian ngomongin apa sih? Pada nyari apaan? Kok sampe ngomongin toilet sama pusat informasi gitu?” Tanya Garra akhirnya.
        “Kita tuh lagi nyari-nyari Nalula.” Tegar yang jawab.
        “Nalula gak ada di apartemen.” Danu menambahkan.
        “Emang kalian gak nyari ke warung tenda di depan sana?” Ilan bertanya. Ia tak sedikitpun merasa khawatir dengan berita yang baru saja diterimanya.
        “Warung tenda pinggir jalan yang ke arah stadion itu?” Windu balik bertanya.
        “Iya.” Ilan mengangguk dan Garra ikut membenarkan.
        “Gue sama Davi, Lukas, Windu, sempet lewat sana. Tapi gak ada satupun dari kita yang liat.” Jelas Andi. Davi, Lukas dan Windu pun membenarkan pengakuan Andi.
        “Lan.” Lingga berdiri di depan Ilan. “Jangan bilang kalo lo tau dimana Nalula berada?” suaranya sedikit terdengar mengancam.
        “Gue emang tau kok, Ga!” Ilan dengan tagas mengatakan. “Nalula di sana sama Zagar.” Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana. “Kalo lo gak percaya, periksa sms Nalula pake hape Zagar.” Lingga meraih ponsel yang disodorkan Ilan. “Gue juga tau kalo Nalula keluar gak bawa hapenya.” Tambahnya.
        Bergantian ponsel Ilan pindah ke tangan Danu dan begitu seterusnya kepada punggawa Rosengard yang lain termasuk Riva dan Reva.
        “Kenapa lo gak bilang ke kita?” Lingga seperti menyalahkan Ilan.
        “Ga! Mana gue tau kalo diantara kalian juga gak ada yang tau kalo Nalula keluar.” Ilan membela diri.
        “Zagar kan musuh kita. Kenapa gak lo larang mereka pergi?” Lingga belum selesai.
        “Apa hak kita ngelarang Nalula? Dan emangnya kenapa kalo Nalula pergi sama LAWAN kita?” Ilan pun gak mau kalau dirinya tetap disalahkan. “Mereka sahabatan. Dan Zagar juga sahabat gue. Dia adenya Bagas, sahabat lo juga.”
        Lingga siap kembali menghujani Ilan dengan kata-katanya. Tapi keburu di tahan Danu. “Ga! Cukup! Nalula udah balik.”
        Seluruh mata tertuju ke ujung koridor dimana Nalula berjalan bersama Dewa. Nalula pun merasa ada sesuatu yang aneh karena hampir sema mata memandangnya.
        Lingga sendiri tidak langsung menginterogasi kedatangan Nalula dan Dewa. Tapi ia kembali ke Ilan. “Lo liat sendri kan, kalo Nalula pulang sama Dewa?” ancamnya. “Jadi lo jangan bohongin kita dengan bilang Nalula pergi sama Zagar. Dan sms itu bisa aja dimanipulasi.” Lingga tetap menyalahkan Ilan.
        Tapi Ilan sama sekali tak terbawa suasana emosi yang ditunjukan Lingga. Ia tetap santai menanggapi ocehan negative yang dihujani Lingga.
        “Ga. Pliss.” Garra berusaha menengahi Lingga. “Jangan menyalahkan orang tanpa lo tau kejadian yang sebenarnya.” Garra bicara tepat dengan kehadiran Diaz dan Kharis. “Dengan lo liat Nalula balik sama Dewa, apa itu artinya mereka pergi bareng?” tantang Garra.
        Kharis sendiri langsung menarik tangan Nalula dan bertanya tentang keberadaan Nalula. “Gue Cuma pergi makan keluar sama Zagar. Ilan juga tau kok. Hape Nal ketinggalan di kamar.” Nalula menjelaskan. Begitu juga kepada Diaz.
        “Dan asal lo tau. Dewa dari ada di lobi.” Lanjut Garra. “Bahkan gue sama Ilan sempet ketemu sama om dan tantenya Dewa.”
        Mata Diaz dan Danu bertautan. Dan Diaz pun meminta Danu untuk membawa Lingga ke kamar meski dengan isyarat mata. Danu pun membalasnya dengan anggukan.
        “Yaudah. Masalah ini gak usah dibahas dulu.” Kata Diaz. “Lebih baik kalian balik ke kamar masing-masing.”
        Danu yang terlebih dahulu membawa Lingga balik ke kamar. Kemudian diikuti dengan yang lain. Berlanjut ke Kharis yang tak ingin membahas apa-apa lagi. Tersisa Diaz yang masih di sana bersama Nalula. Ia mengusap lembut kepala adiknya itu sambil tersenyum.
        “Maaf kalo keberadaan gue di sini justru udah nyusahin kalian semua.” Kata Nalula sendu.
        Diaz beralih merangkul Nalula. “Gue gak pernah tau gimana rasanya berada di posisi lo.”
        Nalula menoleh. Bingung tepatnya dengan apa yang dikatakan Diaz.
        “Setelah sekian lama gue hidup, satu yang menjadi kebahagiaan terbesar gue.” Diaz balas menatap Nalula. “Yaitu gue bisa dipertemukan sama lo.”
        Nalula tertunduk mendengar suara Diaz yang begitu menenangkan di telinganya. Mungkin hal seperti ini lah yang ia inginkannya dari sosok Kharis.
        “Bertahun tahun gue hidup berdua sama nyokap. Tapi hari-hari gue selalu terasa sepi. Nyokap juga gak sekalipun memberitahukan perihal lo.” Diaz masih melanjutkan. “Pernah satu ketika gue mengkhayal punya seorang adik perempuan. Cantik. Pintar. Dan menyukai sepakbola seperti halnya gue.” Diaz berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Ternyata itu bukan khayalan.” Setetes air membasahi tangan Diaz. Merasa ada yang janggal, Diaz memaksa tubuh Nalula untuk menghadapnya. Nalula menangis. “Nal, gue bahagia lo hidup bersama keluarga Kharis. Gue tau seperti apa mereka. Ka Farlan, nyokapnya Kharis.” Ujar Diaz sambil mengusap pipi Nalula. Diaz mengangkat dagu Nalula, tapi Nalula menolak untuk menurut. “Nal, pliss liat gue.” Pintanya.
        Nalula tetap menunduk. Diaz menurunkan tangannya seolah tak ingin memaksa. Ia memutuskan untuk meninggalkan Nalula di sana. Namun tangan Nalula menahnnya. Tanpa di duga, Nalula justru memeluknya dengan cukup erat. “Mungkin lo gak menyadari kalo gue selama ini gak pernah mau untuk natap mata lo.” Diaz pun mendekapkan tangannya ke tubuh Nalula. Nampaknya momen seperti ini lah yang sudah ditunggu-tunggu Diaz. “Mata lo mirip papa.” Nalula semakin terisak di pelukan Diaz. Dan Diaz semakin tak ingin untuk melepaskannya.
        “Janji sama gue.” Pinta Diaz. “Untuk bisa membuka diri lo bahwa gue juga kakak lo. Gue juga akan berusaha selalu ada buat lo. Dan mulai hari ini, lo bisa cerita apa aja ke gue. Lo juga boleh minta apa aja ke gue. Karena gue yang akan gantiin posisi papa buat jagain lo.” Ujar Diaz. Ia dapat merasakan Nalula menggangguk, lalu mencium kepala Nalula.

@@@

        “Gak nyangka, gue bisa tenggelam di sepakbola sampe sejauh ini.” Kata Riva menerawang. Ia menggenggam secangkir teh sambil berdiri di tepi balkon. Sementara Nalula sedang duduk di tepi tempat tidur, sambil menutup resleting ranselnya. “Jadi cinta sama bola.” Ujarnya lagi yang geli sendiri sambil menyeruput minumannya.
        Nalula merelaxkan posisi duduknya. “Termasuk tambah cinta sama Ilan?” Tanya Nalula iseng membuat Riva tertawa renyah. Untung saja tak sampai membuatnya tersedak.
        Tiba-tiba pintu menjeblak. Reva muncul penuh semangat. Entah kabar apa yang ia bawa. “Lo berdua harus tau.” Ucapnya bersemangat.
        “Tau apa?” Riva meresponnya penuh minat. Ia pun masuk ke dalam kamar.
        “Diaz.”
        “Diaz kenapa?” Riva mulai terlihat panic.
        Sementara Nalula berusaha menata ekspresinya agar tak dicurigai kedua temannya ini. Karena Nalula berfirasat Reva akan membeberkan kejadian tadi malam.
        “Diaz udah dibolehin buat main bola lagi.” Reva membuat Riva menatapnya tak percaya.
        “Serius…?” Riva memastikan. Sementara Reva mengangguk pasti. Tanpa sadar, mereka berdua bersorak kegirangan. Mungkin kalau aja Riva lupa akan minumannya, ia udah melompat-lompat mengekspresikan kegembiraannya.
        “Lo kenapa diem, Nal?” Reva mencurigai sikap Nalula.
        “Hah?” Nalula tampak tak siap. “Gapapa.” Ucapnya sedikit gugup. “Gue Cuma terlalu seneng aja denger cerita lo. Jadi bingung buat ngapain.” Nalula akhirnya bisa mengatasi kecurigaan Reva. Beruntung, baik Reva ataupun Riva bisa menerima lasannya. Dirasa sudah tak ada yang akan dibahas, Nalula berdiri. “Gue keluar sebentar ya.” Pamitnya.
        Nalula yang keluar kamar langsung menuju anak tangga. Ia mengarah ke kolam renang. Nalula duduk ditepi sambil merandamkan kakinya ke kolam. Tidak lama hingga Lingga muncul dan menghampirinya. Lingga duduk di samping Nalula dengan arah yang berlawanan.
        “Maaf ya tentang semalem.” Nalula memulai tanpa menoleh. Rasanya tanpa harus mencari tau, Nalula sudah tau kalau itu adalah Lingga.
        Lingga sendiri masih pada posisinya. “Kenapa lo ngelakuin ini sih?” tanya Lingga akhirnya setelah beberapa saat tetap diam.
        “Kenapa lo gak pernah cerita kalo lo adalah Dewa?”
        Lingga sama sekali tak terkejut dengan apa yang dikatakan Nalula. Lingga justru tertawa pahit untuk itu. “Jadi lo udah tau?”
        Pertanyaan Lingga membuat Nalula menoleh. Perlahan, Lingga pun melihat ke arah Nalula. Nalula malah tak bisa berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya dari mata Lingga.
        “Kenapa gak mau natap gue?”
        “Kenapa dulu lo gak nemuin gue? Lo bilang, lo akan sering nemuin gue ke Bandung.” Nalula malah balik bertanya. “Tapi kenapa lo malah ngehindar?” Nalula masih tetap tak melihat ke Lingga.
        “Lo pikir gue mau ngelakuin itu?” balas Lingga. Nalula tak bergeming. Lingga yang terlihat tak sabar, memutar paksa badan Nalula untuk menghadapnya. “Apa lo tau alasan gue ngelakuin itu?” mereka saling menatap dengan posisi tangan Lingga masih menggenggam lengan Nalula. “Lo inget acara nikahan kakaknya Ilan?” Lingga memulai. Perlahan ia melepaskan genggamannya dan kembali ke posisi sebelumnya. “Itu tepat setahun gue pindah ke Jakarta. Dan di sana lo sibuk sama Ilan. Beberapa kali gue ke Bandung buat nemuin lo. Tapi semua hasilnya sama. Lo udah terlalu asik sama dunia lo setelah gue pergi. Brian, Zagar, Ilan dan terakhir Kharis.” Ujar Lingga bertubi-tubi. “Waktu denger berita orang tua lo meninggal, gue ke Bandung. Dan di sana ada sesuatu yang aneh sama Kharis.” Lingga masih terus berujar tanpa ingin melirik sedikitpun ke Nalula. Dan Nalula sendiri benar-benar menunggu apa yang akan Lingga katakan. “Sumpah Nal, gue terpuruk liat kondisi lo. Kharis sendiri sama sekali gak pergi dari sisi lo. Dan gue ngerasa kalah.”
        “Jadi lo cemburu?”
         Lingga akhirnya menoleh. “Apa gue terlihat cemburu?” balas Lingga dengan tatapan penuh harap. Sementara Nalula sendiri sama sekali tak berpaling dari Lingga. “Apa lo gak ngerasain hal yang sama waktu liat gue sama Reva?”
        Cukup lama mereka saling diam. Nalula sendiri, menatap Lingga dengan cukup datar. “Apa selama 6 tahun gak pernah ketemu, bisa menjamin seseorang bisa mengingat wajah orang yang pernah dikenalnya?” Nalula bertanya dengan cukup sabar. “Saat itu kita masih SD. Dan perubahan pada diri lo cukup drastis. Ditambah lo udah gak pake nama Dewa.”
        “Jadi lo sempet ngira Dewa adalah gue?” Tanya Lingga tak yakin dan kembali keposisi awalnya.
        Nalula tersenyum tanpa sepengetahuan Lingga. “Untungnya nggak.”
        Lagi-lagi perkataan Nalula membuat Lingga menoleh. “Maksudnya?”
        “Lo pikir? Muka Jawa kayak lo bisa berubah blasteran kayak tampangnya Dewa yang indo?” celetuk Nalula sekenanya.
        Lingga justru pasang tampang tak percaya mendengar ucapan yang keluar dari mulut Nalula. Lalu kembali berpaling lagi. “Tapi semalem lo pergi sama Dewa.” Lingga masih terdengar tak mau kalah.
        Mata Nalula sontak melebar. Ia harus mengeluarkan kesabaran ekstra untuk menghadapi Lingga. “Gue harus bilang berapa kali kalo semalem gue gak pergi sama Dewa.”
        “Iya iya.” Lingga langsung menyesali. “Maksud gue Zagar.”
        “Gue sama Zagar sahabatan.” Sesabar mungkin Nalula menjelaskan.
        “Mungkin menurut lo begitu. Tapi Zagar menganggap lebih.” Lingga memberi jeda pada ucapannya. Dan Nalula belum ingin merespon perkataan Lingga. “Gue tau Zagar punya perasaan ke lo.” Ujarnya lemah.
        “Gue juga tau.”
        Lingga langsung kembali menoleh. “Hah?” Ia sama sekali tak mempercayai ucapaan Nalula.

@@@

        Diaz harap-harap cemas di ruang ganti. Ternyata tak semudah itu untuk mendaftarkan namanya sebgai pemain. Lingga dan Kharis lah yang sedang mengusahakannya. Sementara pemain lain lalu lalang di hadapan Diaz yang duduk di tengah ruangan. Tangannya telah menggenggam seragam bola Rosengard nya.
        Pintu menjeblak terbuka. Sontak membuat Diaz berdiri dan anak-anak yang lain juga menoleh ke arah pintu. Ternyata Reva dan Riva yang muncul. Diaz berubah kecewa.
        “DIAAZZZ…” Lingga menyeruak muncul hingga menabrak Riva dan Reva yang menghalangai jalannya. Lingga tampak sangat bersemangat. “Lo bisa main sore ini.” Ucapnya heboh diikuti Kharis yang baru saja menutup pintu.
        Mata Diaz langsung terlihat berbinar, tapi ia tak ingin begitu saja mempercayainya. Kharis dengan santai menyodorkan selembar kertas yang digulungnya ke hadapan Diaz. Perlahan Diaz membukanya dengan perasaan tak karuan. Itu nama-nama pemain yang didaftarkan untuk bisa bermain di pertandingan semi final sore ini. Beberapa yang mengerubungi Diaz yang melihat kertas itu, langsung bersorak ketika mendapati nama Diaz yang masuk dalam daftar. Diaz sendiri lebih ke tak bisa berkata apa-apa.
        Suasana yang riuh langsung dimanfaatkan Ilan untuk menghampiri Nalula yang ternyata duduk pojokan loker dan menggunakan handsfree di kedua telinganya. Ilan langsung duduk disamping Nalula sambil melepaskan salah satu handsfree yang dikenakan Nalula. Nalula sendiri yang semula terpejam, langsung membuka matanya. Ia langsung menangkap sosok Diaz yang berjalan dengan sumringah mengarah ke toilet sambil membawa seragam sepakbolanya.
        “Apa yang udah lo lakuin ternyata gak sia-sia. Semua berjalan sesuai rencana.” Perkataan Ilan membuat Nalula menatapnya bingung. Ilan tertawa. “Lo bisa aja nyuruh Zagar buat gak cerita masalah ini ke siapapun. Tapi lo lupa pengecualiannya.”
        Nalula terkekeh seolah menyesali kebodohannya. “Emang percuma gue ngasih bermilyar-milyar supaya Zagar gak cerita ke lo.”
        Ilan ikut tertawa. “Akhirnya lo sadar juga kalo Zagar gak pernah bisa bohong, apa lagi menyangkut sama lo.” Sedetik kemudian tawa mereka reda. “Mungkin karena gue pacaran sama Riva, jadi lo sedikit jaga jarak ke gue dan Cuma cerita ke Zagar karena takut kalo Reva camburu.”
        Nalula nyengir.
        “Riva mungkin cemburu, dan itu wajar.” Ucapan Ilan membuat Nalula mengangguk. “Tapi seenggaknya Riva gak kayak Lingga.”
        Nalula mengeryitkan dahi. “Maksudnya?”
        Ilan tampak tak mempercayai apa yang dikatakan Nalula. “Jadi lo gak nyadar…” Nalula menggeleng “…kalo dari tadi Lingga ngeliatin gue sinis banget?”
        Sontak Nalula langsung mencari sosok Lingga yang berada di seberangnya dan kini sedang mengikat tali sepatu. “Emang?” Nalula malah balik bertanya.
        Ilan menghela napas, lalu bersiap untuk berdiri. “Gue gak mau deh kalo ada macan yang ngamuk lagi ke gue kayak semalem.” Ilan langsung meninggalkan Nalula di sana.

@@@

        Partai semim final antara SMA Siliwangi melawan SMA Dipokar. Skor sementara keunggulan Dipokar 1-0 di menit 27’. Diaz dan Danu dipasangkan di depan. Lingga bermain di lini tengah bersama Dewa, Tegar dan Khai. Dan di belakang, ada Andi, Anjar, Davi serta Lukas. Untuk kipper, Kharis mempercayai Windu untuk menggantikan posisi Bintang. Sementara itu, SMA Siliwangi dengan cukup mengejutkan akan melakukan pergantian pemain. Salah satu punggawanya pun telah bersiap di pinggir lapangan.
        Tanpa di duga, ternyata pemain itu menggantikan pemain Siliwangi lain bernomor punggung 10. Tak lain dan tak bukan adalah Brian. Nalula sendiri cukup tercengang dibuatnya. Brian langsung saja digiring keluar lapangan. Sepanjang yang bisa dilihat, Brian mentap Nalula penuh kecewa. Mungkin karena dirinya tidak bisa berbuat banyak karena harus digantikan. Tak lama setelah Brian menghilang, ponsel Nalula bordering. Telepon dari Zagar. Nalula buru-buru menjawabnya.
        “Kenapa, Gar? Lo dimana deh?” tanya Nalula setelah menempelkan ponsel ketelinganya.
        “Nal, gue tunggu ke ruang ganti Siliwangi. Sekarang. Penting!”
        “Ada…” Nalula belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Zagar langsung memutuskan sambungan teleponnya.
        Begitu berbalik, Nalula dihadang oleh Ilan yang sore itu turun sebagai pemain pengganti. “Zagar kenapa?”
        Sesaat Nalula melirik ke Kharis yang berdiri sedikit berjauhan olehnya ditemani Riva dan Reva. Lalu kembali menatap ke Ilan. “Gue gak tau, Lan.” Ujarnya sedikit panic. “Zagar Cuma nyuruh gue ke ruang ganti Siliwangi sekarang.”
        Ilan menatap Nalula curiga. “Siliwangi?” Ulangnya. “Apa lo yakin kalo itu telepon dari Zagar?”
        Nalula memastikan dengan memeriksa kembali ponselnya. Lalu mengangguk sambil menunjukkan buktinya ke Ilan.
        “Oke. Tapi gue harus temenin lo.”
        “Gak usah, Lan. Lo masih diperluin di sini.” Nalula melarangnya.
        “Gue gak mau ada hal aneh lagi terjadi sama lo.” Ilan berusaha meyakinkan. “Lo liat sendiri, kan? Brian ditarik keluar dan udah pasti dia ada di locker room sekarang.”
        “Tapi, Lan…” belum sempat Nalula bicara lagi, Ilan sudah pergi dan berjalan ke arah Kharis. Dilihatnya Ilan yang bicara dengan sedikit berbisik ke Kharis. Setelah beberapa saat, Kharis mengangguk dan Ilan pun kembali ke tempat Nalula berada.
        “Ayo, Nal.” Ajak Ilan begitu berjalan di depan Nalula tanpa berhenti terlebih dahulu.

@@@

        Zagar muncul dari arah yang berlawanan dengan Ilan dan Nalula. mereka bertemu tepat di depan pintu locker room yang dihuni SMA Siliwangi.
        “Nal.” Kata Zagar tanpa canggung meski di sana juga ada Ilan. Justru ia pun bergantian menatap Ilan. “Ada berita duka.”
Nalula dan Ilan yang terlihat kaget, langsung mempersiapkan diri mereka. “Nyokapnya Brian meninggal.”
        Nalula langsung membekap mulutnya dengan satu tangan, dan tangannya yang lain tanpa sadar sudah mencengkeram lengan Ilan yang berada di sampingnya. Ilan langsung terlihat khawatir dengan Nalula yang tiba-tiba mencengkeramnya.
        “Briannya dimana?” tanya Ilan.
        “Kayaknya masih di dalem.”
        “Berarti dia langsung terbang ke Bandung sore ini juga?” tanya Ilan lagi.
        Belum sempat Zagar menjawab, pintu dibelakangnya terbuka. Dan Brian muncul masih menggunakan seragam tim nya dengan menggemblok ranselnya. Tatapannya kosong. Jelas, ia terlihat cukup kacau dan hanya sempat mengganti sepatu dan mengenakan jaket.
        Nalula yang pertama menghampiri Brian. Mata Brian terlihat merah meski ia tak menangis. Justru air mata Nalula lah yang pecah dan mengalir di pipinya. Brian menunduk untuk menatap Nalula dan hanya mampu tersenyum agar bisa menghentikan tangis Nalula. Bukannya berhenti, Nalula malah memeluk Brian dan menangis sejadinya di dada Brian. Brian sendiri yang sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Nalula, perlahan menjatuhkan ranselnya dan balas memeluknya. Ia pun tak kuasa menahan air matanya.
        Melihat ketegangan ini, Ilan mendekat dan ikut memeluk mereka. Diikuti Zagar setelahnya. Brian pun dengan tatapan penuh rasa bersalah, melihat ke Ilan. “Biar gimana pun, kita pernah berjuang bareng-bareng. Meski sekarang kita berjalan sendiri-sendiri.”
        Cukup lama mereka berpelukan, hingga Brian yang menyeruak melepaskan diri. Cepat-cepat ia menyeka air matanya. “Maafin gue ya, Nal.”
        Nalula dengan tegas menggeleng. “Gak perlu.”
        “Makasih buat kalian semua.” Ucap Brian sambil menatap orang-orang di depannya bergantian.
        Ilan kembali memeluk Brian. Lalu gantian Zagar yang memeluk Brian. Dan untuk Nalula, Brian hanya mengusap kepalanya. “Lo jelek kalo nangis.” Ujarnya hingga membuat semua tertawa.
        Ketika melihat Brian pergi, Nalula menyandarkan kepalanya di pundak Zagar dan salah satu tangannya menggandeng tangan Ilan. Ternyata pertandingan babak pertama pun usai. Dan Lingga lah yang paling pertama muncul dan melihat kejadian itu.

@@@

        Rosengard berhak melangkah ke partai final setelah mengalahkan SMA Siliwangi dengan skor tipis 1-0. SMA Jakabaring sendiri telah menunggu setelah berhasil mengandaskan mimpi SMA Mandala dengan skor 2-1 meski awalnya SMA Mandala memaksakan hasil hingga babak perpanjangan waktu.
Dua hari berlalu setelah partai semifinal. Hubungan antara Lingga dan Nalula justru menjadi buruk sejak kejadian yang Lingga lihat di depan locker room SMA Siliwangi. Di hari yang sama, ternyata Vindhya datang ke Surabaya. Nalula pun mengenalinya sebagai kakak dari Danu. Dan orang pertama yang menyambut Vindhya pun bukan Danu, melainkan Kharis. Nalula melihat kejadian itu di depan pintu utama apartemen. Rasanya setelah melihat kejadian itu, Nalula seperti dalam dilemma.
Danu muncul dari arah belakang Nalula. Diikuti Diaz yang seolah begitu saja melewati Nalula. Tapi sebenarnya, Diaz sambil menyambar tangan Nalula dan menariknya menghampiri Kharis dan Vindya berada. Danu sendiri langsung memeluk kakaknya.
“Hai.” Sapa Diaz yang terdengar canggung setelah Danu melepaskan pelukkannya.
“Hei, Diaz.” Vindhya membalasnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Diaz terlihat salah tingkah. Tapi cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan dengan memperkenalkan Nalula kepada Vindhya. “Kak, kenalin ini Nalula.”
Dengan ramah Vindhya menyodorkan tangannya. “Vindhya.” Ujarnya. Meski tanpa senyum, Nalula pun menyambut uluran tangan Vindhya.
“Nalula ini ade tiri nya kak Kharis.” Danu melanjutkan. “Dan ternyata, Nalula adalah sodara kembarnya Diaz.”
Vindhya terlihat cukup terkejut sambil melebarkan matanya. “Jadi selama ini, Diaz punya kembaran?”
Nalula sama sekali tak memperdulikan apa yang dibahas Vindhya dan yang lain tentang dirinya. Tapi ia peduli dengan kemunculuan Brian yang baru saja turun dari mobil. Brian sendiri tampak lebih baik disbanding dua hari lalu. Tanpa pikir panjang, Nalula menghampiri Brian.
“Brian..” Nalula berteriak, lalu memeluk Brian sesaat. “Gue seneng bisa liat lo ada di sini lagi.”
“Berkat doa kalian.” Setelah itu mereka terlihat tak banyak bicara. Keduanya saling diam. Hingga akhirnya Brian yang memulai. “Final, Rosengard ketemu Jakabaring ya? Dilemma deh gue, mau dukung yang mana?” ledeknya.
“Inilah permainan.”
“That’s right.” Brian menyetujui. “Oiya, gue janjian makan siang bareng Zagar nih. Lo ikut ya? Tapi lo ajak Ilan juga.”
“Ditraktir gak?” Tanya Nalula tak sungguh-sungguh.
Brian malah tertawa. “Hmm… Pengen banget banget gue traktir ya, Nal?”
“Kalo gak mau, ya udah.” Nalula pasang tampang sok ngambek. “Sory, gue gak bisa ikutan.” Ujar Nalula seenaknya sambil pergi.
Tapi cepet-cepet ia menarik tangan Nalula. “Hadeuh… Ngambek mulu sih nih anak. Iya iya gue traktir. Apa pun yang lo mau.”
Nalula langsung tersenyum jahil. “Nah, gitu donk. Kan jadinya gue enak buat ngabarin Ilan.”
“Tapi janji ya jangan bilang-bilang ke Ilan sama Zagar kalo lo gue traktir.” Pinta Brian.
“Kenapa?”
“Lo tau sendiri, tuh anak dua makannya banyak.”
“Hahaha.” Nalula tertawa ngakak menanggapi ucapan Brian.
Di kejauhan, lagi-lagi Lingga menyaksikan kebersamaan Nalula dengan cowok lain. Dan kali ini orang itu adalah Brian.

@@@

Sore ini Rosengard menggelar latihan sebagai ajang persiapan untuk menghadapi partai final esok hari. Nalula semankin menunjukkan sikap dinginnya. Ia duduk sendiri di bangku tempat anak-anak meletakkan tas mereka. Kharis pun akhirnya di temani Vindhya, Reva dan Riva di pinggir lapangan. Usai latihan, Kharis menggelar sedikit briefing mengenai latihan hari ini. Nalula pun hanya bicara seperlunya. Itu pun karena Kharis memintanya untuk bicara. Setelah Kharis menyatakan latihan benar-benar selesai, Nalula lah yang pertama meninggalkan lapangan.
Diluar stadion, Nalula bertemu Zagar dan Bagas. Tapi Bagas sengaja dengan hanya menyapa Nalula sesaat lalu meninggalkanya bersama Zagar.
Zagar sendiri sebenarnya juga baru saja usai melakukan latihan di tempat yang berbeda. “Kenapa lo?” Tanya Zagar yang mencurigai raut wajah yang ditunjukan Nalula.
“Gak taulah, gue Cuma lagi bête aja.” Keluhnya. “Apa lagi sejak kedatangan kakaknya Danu.”
Zagar mengajak Nalula ngobrol sambil jalan. “Bete kenapa?”
“Ingetkan dulu gue pernah cerita, Kharis berantem sama ceweknya gara-gara liat gue jalan sama Kharis?” Nalula memulai dengan penuh antusias.
“Itu kan udah lama, Nal.”
“Tapi tetep aja gue masih kesel ingetnya.” Nalula tak mau kalah. “Kharis kan kakak gue, kenapa juga dia harus cemburu? Dia juga kan gak bisa ngelarang buat nggak pergi berdua sama Kharis.”
“Gue rasa lo yang cemburu, Nal.”
Nalula dan Zagar menghentikan langkah mereka. Suara itu bukan berasal dari mulut Zagar. Melainkan orang lain yang berada di belakang mereka. Ternyata itu Brian.
“Atas dasar apa lo bilang kalo gue yang cemburu?”
“Eh, Nal. Lo pikir gue gak tau?” Ujar Brian menantang. Ia sendiri juga terlihat usai latihan. “Tadi siang pas gue baru nyampe, gue liat lo nyamperin gue dari arah pintu. Dan gue juga tau di sana ada Kharis, Danu, Diaz juga kakaknya Danu. Meski lo keliatan welcome banget ke gue, tapi itu semua karna lo mau ngindarin mereka kan?” kata Brian panjang lebar.
Gak ada yang merespon ucapan Brian. Nampaknya Nalula sendiri tak bisa menyangkal apa yang Brian katakan terhadapnya. Cukup lama ia terdiam. Hingga akhirnya Brian kembali mengambil alih suasana.
“Sorry kalo ada kata-kata gue ada yang salah. Tapi perasaan lo ke Kharis juga gak bisa di salahin.”
Nalula menghela napas dan menatap penuh arti kedua sahabatnya. “Ternyata emang gak bisa nutupin sesuatu dari diri gue ke kalian. Dan rasanya kalian lebih tau apa yang gue alami dibanding diri gue sendiri.” Semakin lama Nalula tertunduk. Berat rasanya mengakui hal ini di depan Brian dan Zagar. Semakin buruk untuk Nalula jika Ilan juga berada diantara mereka. “Gue sadar dan gue akan mengakui semuanya apa yang baru aja gue sadari.” Nalula masih berusaha mengulur-ngulur waktu. “Gue jatuh cinta sama Kharis.”
Mata Brian terlihat melebar. Meski sudah bisa ia prediksi, ternyata pengakuan langsung dari mulut Nalula tetap memberikan kejutan. Sementara Zagar tak sanggup menatap Nalula. Raut wajahnya datar dan sulit dibaca. Hanya sisa-sisa keringatnya yang tetap setia mengalir di wajahnya.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar