Rabu, 01 Februari 2012

Rosengard FC (part 1)


1.    HARUS BANGGA DONK

PRIIT…PRIIT..PRIIT..
        Peluit panjang tanda berakhirnya partai final Liga Pelajar dengan skor akhir 4-2 keunggulan kubu SMA Siliwangi atas SMA Rosengard. Para punggawa SMA Siliwangi berhamburan kedalam lapangan. Selebrasi yang mereka lakukan layaknya menjuarai piala dunia.
        Keadaan berbalik untuk kubu SMA Rosengard. Dengan wajah yang masih bersimbah peluh, mereka tertunduk di atas rumput yang menjadi saksi bisu redupnya prestasi sepak bola SMA Rosengard. Salah satu diantaranya, Diaz. Pemain bernomor pungung 9 dari kubu SMA Rosengard ini melangkah gontai ke tepi lapangan dengan wajah menekuri rumput yang hijau dipijaknya.
        Diaz berhenti setelah tangan seseorang mendarat di pundaknya. Ia berbalik, dan ternyata orang yang tersenyum itu adalah kapten SMA Siliwangi. Diaz bingung dibuatnya.
“Gue Ilan.” Kata cowok itu sambil menyodorkan tangan kanannya.
        Diaz tersenyum sebelum membalas jabat tangan Ilan. “Diaz.” Ucapnya. Ada sedikit rasa canggung diantara mereka. “Oiya… Selamat ya. Kalian memang pantas menang.” Kata Diaz akhirnya.
        “Iya makasih. Kalian juga bagus mainnya. Hmm.. Tahun depan kita harus ketemu lagi ya di partai final.” Senyum Ilan mengembang.
        Tahun depan? Nampaknya masih terlalu jauh untuk dibayangkan. Makanya, Diaz Cuma bisa senyum doank nanggepin ucapan Ilan.
        “Boleh tukeran kostum?” Tanya Ilan.
        “Kenapa nggak?”
        Mereka saling melepas kostum masing-masing dan saling menyerahkan. Begitu Ilan berlalu, Diaz membalikkan badan dan kembali tertunduk. Langkahnya pun kembali terhenti setelah melihat tiga pasang kaki yang masih lengkap dengan sepatu dan kaus kaki berdiri di hadapannya. “Maaf.” Ucapnya lirih.
        Senyum dan pelukkan hangat dihadiahkan untuk Ilan dari sang sahabat. Lingga, Danu, dan Bagas.
        “Jalan kita masih panjang.” Ucap Lingga menyemangati sahabat-sahabatnya.
        “Masih ada hari esok.” Danu mencoba melakukan hal yang sama.
        “Hidup bukan untuk menunggu keajaiban.” Semua pelukkan terlepas setelah mendengar ucapan Bagas. Ia menunjukkan kepalan tangan ke tengah-tengah mereka. “Setelah ini kita harus bangkit.” Lanjut Bagas. Yang lainnya menyatukan tangan mereka di atas tangan Bagas.

@@@

        Keempat sahabat ini berjalan beriringan menelusuri koridor yang sore itu cahaya matahari menembus celah-celah kecil di sekitar jendela. Kini mereka dapat melangkah dengan kepala tegak. Tak terkecuali Diaz yang diantara mereka tampil penuh dalam pertandingan final ini. Meski status mereka kala itu adalah pemain debutan yang lebih sering turun sebagai pemain cadangan.
        “Setiap detik yang telah berlalu, tak kan pernah menunggu kita tuk bisa pahami hidup, dan sesali semua yang telah lalu.” Kata Lingga yang sok puitis.
        Spontan Danu, Diaz, dan Bagas menghentikan langkah mereka. Lingga sendiri ikutan berhenti meski sebelumnya sempat bejalan beberapa langkah.
        “Keren juga kata-kata lo, Ga.”
        Ucapan Bagas membuat Lingga berbalik dan menunjukkan senyum tersombongnya.
        “Gue juga baru denger sekarang kalo temen gue yang satu ini bisa ngeluarin kata-kata bijak.” Diaz ikutan bikin Lingga terbang.
        Lingga sambil berlagak merapihkan kaos bolanya. “Makanya… Jangan pada ngeremehin seorang Lingga Dewantara.” Tak ketinggalan pula ia membereskan rambutnya.
        “Iya deh, gue bangga punya temen kayak lo.” Bagas mendekati Lingga dan merangkulnya. “Ya nggak??” Bagas melirik Danu dan Diaz bergantian.
        Diaz yang belum berpindah tempat hanya mengangkat kedua ibu jarinya yang menandakan ia mendukung Bagas.
        “Kok elu diem aja sih, Dan?”
        Kali ini yang jadi pusat perhatian, Danu. Tapi si target cuek aja, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menerawang. Pikirannya seolah melayang.
        “Wooii, Dan!!” Teriak Lingga.
        Diaz yang berada di samping Danu langsung menyikutnya. Danu mendongak dan tatapannya langsung ke arah Lingga. Seketika raut wajah Danu berubah. “Dasar lo kucing arab!!” Ia melempar selembar handuk kecil dan tepat mendarat di wajah Lingga. “Lo berdua mau aja di boongin. Itu tadi lirik salah satu lagunya j-rocks. Bukan murni kata-katanya tuh anak.”
        Diaz dan Bagas langsung nengok ke arah Lingga yang nyengir tanpa ada rasa berdosa.
        “Yee…!! Pake nyengir lagi!!” Komentar Diaz yang siap melempar handuknya.
        Tapi meleset. Lingga kabur.
        “Woi..!! Jangan lari lo!!” Teriak Bagas yang berlari mengejar Lingga. Diikuti juga sama Diaz dan Danu.

@@@

        Sudah beberapa bulan berlalu sejak berakhirnya partai final turnamen pelajar. Dan sekarang mereka di sini, di sekolah mereka tercinta. Dan tepat banget sama hari di mana anak-anak SMA Rosengard latihan sepak bola. Terlihat Lingga, Danu dan Diaz yang paling semangat. Kecuali Bagas yang sama sekali tak terlihat di antara mereka. Mau tau Bagas di mana?? Gak usah di cari kemana-mana. Anaknya ada kok. Baru aja nyampe. Tapi nih anak gak pake seragam kayak yang lainnya.
        “Yang semangat donk larinya.” Teriak Bagas dari pinggir lapangan.
        Lingga, Danu dan Diaz yang menyadari kehadiran Bagas langsung menghampirinya.
        “Kok udah nggak ikut latihan? Emang lo harus berangkat sekarang, Gas?” Tanya Diaz.
        “Tau nih! Buru-buru amat! Tahun ajaran barunya aja kan masih lama.” Kata Lingga yang tak rela ditinggalkan salah satu sahabat terbaikknya.
        “Gue sih maunya gitu. Tapi kan gue harus cari sekolah yang sepak bolanya bagus atau mungkin cari klub dulu.” Bagas membela diri. Berusaha untuk tak mengecewakan ketiga sahabatnya.
        “Jadi lo berangkat kapan?” Danu tak ketinggalan angkat bicara. Kalo boleh jujur, Danu dan yang lain sangat menentang keputusan Bagas untuk pindah dari Rosengard.
        “Besok sore. Makanya besok pagi gue tunggu lo semua di dermaga ya.” Pintanya bersemangat. Mengalihkan kekecewaan dari ke tiga sahabatnya.
        Danu, Diaz dan Lingga saling berpandangan.
        “Gak bisa di tunda dulu? Minimal ampe pertandingan pra kompetisi kita lah besok lusa.” Danu berharap banyak. Meski hanya itu yang bisa ia harapkan saat ini.
        “Kita mau ngejalanin pertandingan persahabatan. Masa lo gak mau liat?” Diaz malah terkesan ngomelin Bagas. Mungkin itu ekspresi tak ingin kehilangan Bagas.
        “Jakarta-Palembang kan gak jauh. Tega amat sih?!” Lingga juga tak mau ketinggalan.
        Mereka saling diam.
        “Gue juga…”
        “Ya udahlah…” Danu memotong ucapan Bagas. Lalu menatap Lingga dan Diaz bergantian. “Lo berdua juga! Gak pengertian amat sih ama temen.” Kini giliran Diaz dan Lingga yang kena omelan. “Bagas juga masih di Indonesia kok. Gak keluar negri.”
        Bagas dan keluarga memang hanya pindah pulau. Tapi yang namanya kehilangan, tetep aja kehilangan. Gak peduli seberapa jauh ditinggalkannya.
        “Iya gue tau.” Lingga tak mau tersudutkan. “Tapi sekarang lo gak buru-buru kan?”
        “Paling gue cuma mau pamitan sama yang lain. Dan mumpung malem minggu, gue pengen ngabisin waktu sama kalian.” Jelas Bagas.
        “Ih wow… Ngabisin waktu sama kita? Emang lo pikir kita cowok apaan?” Diaz sewot dengan gayanya yang sok cool.
        “Cowok-cowok jomblo yang kesepian.” Celetuk Bagas yang menanggapi ucapan Diaz.
        “Sekali lagi ngomong gitu, gua getok tuh pala!” Lingga merasa sedikit tak terima dengan omongan Bagas barusan. Karena, di antara mereka berempat, saat ini hanya Lingga lah yang sudah punya pacar.
        Tapi Bagas sendiri cuma nyengir aja ditemani senyuman Danu dan raut kesal dari wajah Diaz.

@@@

Abis dari sekolah, mereka langsung meluncur ke rumah Danu. Ampe bikin halaman rumah Danu yang luas itu sedikit terlihat penuh. Gimana nggak? Mereka pada bawa motor sendiri-sendiri dan belum lagi mobil yang dikendarai Danu. Tapi tujuan utama mereka begitu sampai di sana adalah kamar Danu yang bisa dibilang berfasilitas lengkap.
        Kayaknya mereka udah gak sabar menikmatinya. Begitu masuk, mereka langsung melakukan hal-hal selayaknya di kamar sendiri. Contohnya Lingga, yang begitu saja menelantarkan helm, ransel dan jaketnya di lantai sesaat sebelum menikmati nyamannya kasur Danu.
        Diaz sendiri begitu melempar barang bawaannya ke sofa, langsung masuk ke kamar mandi. Kebelet rupanya.
        Laen Lingga dan Diaz, laen pula sama Bagas yang langsung ngejogrok di depan laptop. Ampe lupa ngelepas helm yang masih nangkring di kepalanya.
        Gak lama kemudian, Danu muncul dari balik pintu sambil membawa nampan yang berisi empat gelas jus jeruk. Danu meletakkannya di meja depan Diaz yang sekarang sibuk gonta-ganti channel tv.
        “Tumben Dan, pembokat lo lagi gak ada?” Komentar Diaz yang melihat Danu membawa nampan minuman sendiri.

        “Ada, tapi gue yang minta buat bawain.”
        “Anak rajin. Gitu donk.” Ledek Diaz perihal kelakuan Danu yang tak sungkan-sungkan untuk membawa nampan berisi minuman. Jarang-jarang juga kan ada cowok yang mau kayak gini.
        “Enak aja! Emang lo?!” Danu tak terima dengan ledekan Diaz.
        Kalo hanya sekedar ledekan kayak gitu di antara mereka sih gak bikin ampe sakit hati. Diaz sendiri gak merasa bersalah atau pun minta maaf. Yang ada malah nyengir ngeselin.
        “Dan, lagu j-rocks yang waktu itu di sebutin Lingga yang mana?” Tanya Bagas. Tapi nih anak tatapannya masih ke layar laptop.
Memang gak ada batasan barang di antara mereka. Asal sifatnya gak ngerusak aja. Semua yang ada di dalam kamar Danu bisa dinikmati layaknya milik pribadi.
        Danu yang baru aja ngelempar badannya ke sofa di samping Diaz langsung berdiri lagi. “Woi..Ga!!” ia malah melangkah mendekati Lingga. “Lo kalo mau tidur ganti baju dulu sana!”
        Perlahan Lingga membuka matanya sambil sedikit menguap. Tapi memejamkan matanya lagi. Kayaknya nih anak emang ngantuk berat. Danu menarik guling yang di dekap Lingga.
        “Emangnya kenapa sih, Dan?”         
        “Spreinya baru gue ganti.” Cuma itu yang di ucapin Danu. Sekarang ia mendekati Bagas. Yang ternyata, masih belum bisa melepaskan helmnya. “Buka dulu napa tuh helm? Takut keilangan amat! Apa takut di Palembang gak bisa pake helm lagi?” sambil mengedipkan sebelah matanya ke Bagas. Ih..wow..
        Bagas Cuma ketawa geli. Lalu melepaskan helmnya.
        “Eh, tadi lo tanya apaan?” kata Danu mengulangi maksud Bagas.
        “Lagu j-rocks yang disebutin Lingga waktu itu.” Jawab Bagas.
        “Coba sini gue cari.” Danu mengambil alih mouse di laptopnya. Sibuk buka tutup folder yang ada. “Emang lo mau dengerin?”
        “Yaaa… Cuma pengen tau aja.”
        “Oke…” Danu memutar lagu ‘spirit’ dari group band j-rocks melalui winamp.
        “Dan, gak ada cemilan apa?”
        Danu menoleh ke sumber suara. Ternyata Diaz. Bagas menepuk punggung Danu. Begitu berbalik, Bagas memaksa ranselnya mendarat di pelukkan Danu.
        “Gue udah siapin semuanya.” Gantian, Bagas yang ngedipin mata kanannya.
        Danu hanya tercengang. “Serem juga kalo lo yang ngelakuin.”
        Belum sempat Bagas mengangkat helmnya, Danu udah kabur dan duduk di samping Diaz yang ikut ngebongkar isi tas Bagas.

Setiap detik yang telah berlalu
Tak kan pernah menunggu kita
Tuk bisa pahami hidup
Dan sesali semua yang telah lalu
Hadapi saja jangan kau ragu
Tuk jalani hidup ini
(spirit: j-rocks)

“Gas, lagunya kecilin dikit donk. Atau nggak lo pake earphone aja gih.” Pinta Diaz yang ngerasa aktivitasnya sedikit terganggu.
        Bagas menoleh. “Oke.”
        Lingga terlihat keluar dari kamar mandi yang gak jauh dari Diaz dan Danu nonton tivi. “Nonton apaan sih lo, Dan?” tanya Lingga sambil megusap-usap rambutnya dengan handuk. Kayaknya nih anak abis mandi. Bajunya juga udah ganti.
        Danu menoleh ke arah Lingga, terus ke layar tivi, bungkus biscuit yang ada di tangannya, abis itu balik lagi ke arah Lingga. “Gue juga gak tau lagi nonton apaan?” Ucap danu sekenanya. Dia juga gak ngebahas apa yang telah dilakukan Lingga.
        Bagas duduk ditengah-tengah antara Danu dan Diaz. “Lha!! Gimana sih? Dari tadi kan lo yang ngejogrok di sini.” Kata Bagas sambil nyomot biscuit yang ada di tangan Danu. Abis itu narik paksa minuman kaleng yang lagi di tenggak Diaz. Waahh… pemaksaan. Untung yang punya gak ngamuk.
        “Nyari apaan sih lo, Ga?” Tanya Danu agak keheranan ngeliat Lingga yang sibuk ngubek-ngubek ranselnya.
        Lingga menghentikan aktifitasnya, lalu mendongak. “Pinjem sarung donk, Dan.”
        “Hk…” Bagas sedikit keselek ngedengernya.
        Danu malah jadi serba salah. Ia menyikut sedikit lengan Bagas sebelum akhirnya berdiri. Membuka lemari yang tidak jauh dari ranjang. “Nih..!” Danu menyerahkan sarung bermotif kotak-kotak berwarna biru. Abis itu kembali lagi ke aktifitas sebelumnya.
        Lingga sendiri milih untuk keluar kamar.
        “Mau kemana lo, Ga?” Tanya Bagas dengan sedikit berteriak sesaat setelah Lingga menutup pintu dari luar.
        “Insyaf.” Balas Lingga dengan sedikit teriakan juga dari arah luar.
        “Semoga aja insyaf jadi playboy.” Celetuk Diaz sekenanya yang diamini sama dua temannya. Terus kembali ke layar tivi yang lagi nayangin serial drama Asia, Boys Before Flower. Ada-ada aja yang di tonton.
        Entah saking seriusnya nonton, atau malah bingung sama apa yang di tonton, Bagas ampe miring-miringin kepala, terus posisi duduknya juga ampe merosot ke lantai.
        “Serius amat sih lo!” Danu komentarin tingkah Bagas.
        “Mending, Dan. Gua malah gak ngerti.” Bagas mengakui.
        “Alah…!” Danu ngelempar potongan biscuit ke arah Bagas. “Gue kira lo ngerti.”
        Danu dan Bagas saling pandang. Gak lama kemudian bareng-bareng ngeliatin Diaz yang bener-bener serius mantengin tuh tivi.
        “Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?” Tanya Diaz yang sadar jadi objek Danu dan Bagas.
        “Lo sering nonton film itu?” Cara bicara Bagas udah kayak polisi yang yang lagi ngeinterogasi tahanannya.
        “Lo kayak kaka gue aja tau!” Celetuk Danu. “Apa jangan-jangan saking terobsesinya sama kaka gue, makanya elu…”
        “Enak aja lo!” Diaz segara menepis kecurigaan dua temannya.
        “Terus…?” Danu penasaran.
        “Yaaa… Gue cuma suka aja sama persahabatan mereka. Empat cowok ganteng, populer di sekolah, udah gitu tajir pula, en yang paling penting, di kejar-kejar banyak cewek.” Semangat amat nih anak nyeritainnya.
        “Tapi biasa aja donk ceritanya!” Bagas menganggap Diaz sedikit berlebihan.
        “Bukannya gitu juga.” Diaz siap membela diri. “Kalian belum nyadar apa? Mereka tuh kayak kita. Gue, kalian berdua, sama Lingga. Kita berempat, mereka juga. Hampir sama lah. Ada yang playboy kayak Lingga. Terus ada yang pendiem tapi ngeselin kayak…” Diaz menggantung kata-katanya. Gimana nggak? Danu sama Bagas melototin kayak gitu ampe bikin Diaz cabut ke kamar mandi.
        Danu dan Bagas juga sebenernya gak ada maksud buat melototin kayak gitu. Tapi Diaznya aja yang keburu negative thinking duluan. Bukan deh, tapi kebelet duluan.
        “Lucu juga sih Dan.” Komentar Bagas.
        “Iya, si Lingga playboy. Gue, banyak cewek yang ngejar. Elu setia banget buat nungguin Mirza ampe boleh pacaran. Terus Diaz…” Danu juga menggantungkan kata-katanya. Bukan karna dipelototin Bagas juga, tapi karna nih orang bener-bener bingung ngedeskripsiin temannya yang satu itu.
        “Diaz tuh kayak yang dia bilang sendiri tadi. Pendiem tapi ngeselin.” Ucap Bagas seenaknya ampe bikin ketawa.
        Akhirnya Diaz keluar dari toilet.
        “Terus, Di. Yang jadi ceweknya siapa?” Danu jadi gak sabaran.
        “Iya.. Mirza, Tere, atau ceweknya Lingga yang sekarang?” Bagas ikutan.
        “Mereka juga bisa kok. Tapi salah satunya udah pasti ada Vindya.” Kata Diaz yang sok terlihat cool.
        “Vindya nyokap lo apa kakanya Danu?”
        Diaz malah jadi salting. “Yaahh… kalian pikir aja. Masa nyokap gue sih?”
        “Ih… Ogah banget gue punya kaka ipar kayak lo!” Danu sampe ngelempar kulit kacang ke Diaz. Diaz bales nimpuk, eh malah kena Bagas. Ya udah deh mereka malah jadi saling timpuk.
        Akhirnya adegan timpuk menimpuk pun berakhir. Udah pada capek kayaknya. Ampe pada ngejogrok di lantai. Tapi, belum juga napas udah pada bener, Lingga balik dan langsung merebahkan badannya ke sofa.
        “Udah, Ga?” Bagas agak penasaran dengan kehadiran Lingga.
        “Udahlah. Emang kalian pikir sekarang baru jam berapa?” Balas Lingga dengan entengnya.
        Sontak Danu, Diaz dan Bagas ngalihin pandangan mereka ke jam dinding—bergambar salah satu klub sepakbola luar negeri yang cukup terkenal—di salah satu sudut kamar Danu yang udah nunjukin pukul 18.45.
        “Gila lo!! Belom sholat maghrib tau!!” Teriak Diaz saking kagetnya.
        Bikin Danu dan Bagas berdiri terus rebutan ke kamar mandi. Ternyata yang dapet tempat lebih dulu adalah Bagas.
        “Dan, ada sarung lagi gak?”
        “Oiya…” Danu beranjak dari depan pintu kamar mandi yang kemudian posisinya digantikan oleh Diaz.
        Danu mengeluarkan lagi sarung bermotif kotak-kotak merah dari dalam lemarinya. Kemudian kembali ke depan kamar mandi. Bagas keluar dan Diaz langsung menyerobot masuk. Lagi-lagi Danu kalah cepat. Beberapa saat kemudian Diaz keluar dari dalam kamar mandi.
        “Dan, gue langsung balik ya?” Pamit Lingga yang kini ada di depan pintu kamar sambil menenteng ransel, helm dan jaketnya.
        “Ya udah.” Ucap Danu singkat.
        “Gue duluan ya Gas, Di.” Lanjut Lingga kali ini kepada Diaz dan Bagas.
        Belum sempat menutup pintu, Danu keluar lagi dari dalam kamar mandi.
        Beruntung Lingga baru membuka pintu kamar.
        “Kenapa?” Tanya Lingga agak keheranan.
        “Lo gak ada niat pulang pake sarung kan?” Pertanyaan yang bikin Bagas dan Diaz ketawa ngakak.
        Lingga menunduk. Dan… ups.. Beneran dia masih pake sarung. Alhasil, nih anak jadi bahan tertawaan Diaz, Bagas juga Danu.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar