Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 10)


10. NEXT MATCH

Riva membuka pintu ruang ganti pemain. Hampir semua punggawa tim telah siap dengan seragam kebanggaan mereka. Kecuali Lingga, Hexa, Garra dan Dewa yang hanya mengenakan jeans dan kaos biasa. Tapi hampir semua menatap ke datangan Riva. “Mana Diaz?” tanya Riva tegas.
        Davi yang berdiri di depan loker bergeser dari posisi sebelumnya. Begitu pula dengan Dewa yang berdiri di belakangnya. Ternyata mereka bergerak karena menutupi Diaz yang duduk bersandar di depan loker. Sambil memegang buku file Nalula yang dibiarkannya. Riva buru-buru masuk menyeruak tanpa mempedulikan siapapun yang di sana untuk menghadap Diaz yang duduk diam serasa hanya ada dia di ruangan itu.
        Riva berlutut menghadap Diaz. “Gue butuh line-up pemain buat dilaporin.” Pintanya.
        Suasanya terasa sangat hening. Semua pandangan tertuju ke Diaz. Tapi tak ada yang berani menatapnya dalam-dalam, kecuali Riva.
        “Diaz!” Riva menegaskan karena ucapannya tak direspon.      Diaz sendiri hanya bisa menghela napas.
        “Lakuin apapun yang menurut lo terbaik buat Dipokar.”
        Diaz mendongak. Lingga kini berdiri di hadapannya.
        “Sekarang lo pimpinan kita di sini. Dan kita percayain semuanya ke lo. Apa pun yang lo lakuin, adalah yang terbaik.” Ujar Danu juga dari kejauhan.
        Diaz menatap berkeliling. Hampir ke seluruh pasang mata yang berada di sana. Sebagian tersenyum mendukung. Yang lain mengangguk. Dan sisanya, tak berani menatap balik mata Diaz. Tapi secara keseluruhan, semua mendukung apa yang akan menjadi keputusan Diaz.
        Riva mendekat untuk membuka halaman kosong pada file yang masih berada di pangkuan Diaz. “Kita gak punya banyak waktu.” Ujar Riva penuh harap sambil menyodorkan pulpen ke arah Diaz.
        Diaz membuat suasanya semakin tegang. Di tatapnya pulpen itu. Berat sepertinya bagi Diaz untuk merai pulpen itu dari tangan Riva. Ia menghela napas untuk menenangkan diri. Perlahan diraihnya pulpen itu tanpa menatap Riva atau pun yang lainnya.

@@@

        Suasana di ruang ganti SMA Rosengard berubah. Semua berkumpul mengelilingi Diaz. Tanpa terkecuali. Diaz menuliskan sesuatu di selembar kertas sambil sesekali menjelaskannya.
        “Untuk kipper, gue masih percaya sama Bintang.” Kata Diaz akhirnya. “Farel, Irham, Ferry dan Davi.” Diaz menatap satu persatu dari nama yang ia tuliskan. “Kalian tetep defender andalan gue.”
        Mereka yang namanya disebutkan, sangat menerima keputusan Diaz.
        “Tapi sedikit perubahan untuk pemain tengah. Gue minta Gilang nempatin sayap kanan dan Khai di kiri.” Tambah Diaz.
        Mata Gilang dan Khai beradu untuk saling memberi dukungan.
        “Sementara Farel gue tarik ke depan dari posisi semula gantiin tugas Garra.” Diaz masih melanjutkan kata-katanya.
        Nampaknya Farel terlihat sedikit terkejut mendengar keputusan Diaz yang menariknya ke depan. Tapi dukungan dari yang lainnya memunculkan kembali rasa percaya diri yang dimiliki Farel. Meski ia sadar harus langsung beradaptasi dari posisi lamanya sebagai seorang defender.
        “Dan gue harus menarik mundur Danu ke posisi yang biasa di tempatin Lingga. Karna gue berharap Danu bisa berkolaborasi dengan Ilan juga Dendi yang gue pasang sebagai striker.” Ucapan Diaz semakin penuh percaya diri.
        “Berhubung gue gak bisa turun di pertandingan kali ini, otomatis jabatan kapten berpindah ke kapten kedua. Yaitu Danu.” Kata Lingga sambil berjalan ke arah Danu lalu merangkulnya. “Jadi, keadaan di lapangan berada dalam kekuasaan lo. Sepenuhnya.”
        “Itu juga yang jadi pertimbangan gue untuk menarik Danu mundur ke posisi Lingga.” Diaz menambahkan.
        “Semua udah terbukti, kan?” Riva tiba-tiba berdiri. “Diaz pasti bisa.” Ujarnya, lalu melangkah ke luar ruangan.
        “Thanks, Riv.” Ucap Diaz pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.
        Pintu tertutup, tapi langsung kembali terbuka. Kali ini Reva yang muncul. “Semangat ya semuanya. Kita pasti menang.” Ujarnya dan tak lupa mengacungkan ke dua ibu jarinya diiringi dengan kedipan di salah satu matanya. Setelah itu menutup pintu lagi.
        Aksi jahil dari Reva sedikit banyaknya berimbas ke seluruh anggota tim. Karena sedikit terhibur sebelum terjun ke medan pertandingan.

@@@

        Jalannya pertandingan di babak pertama terasa membosankan. Gak ada aksi-aksi gemilang yang di tunjukkan pemain dari kedua kubu. Bahkan tak ada satu gol pun yang tercipta hingga turun minum.
        Sebelum meninggalkan lapangan, Diaz menghampiri Lingga serta Garra. Sedikit membisikkan sesuatu pada mereka, lalu pergi ke arah yang berlawanan dengan Lingga dan Garra.
        Sementara di rumah sakit, Nalula dan Tegar menyaksikan pertandingan hanya melalui tivi. Tegar terlihat senyum-senyum sendiri menyaksikan Nalula yang duduk diam di kursi di samping tempat tidurnya.
        “Nal.” Panggil Tegar.
        “Hmm.” Hanya itu yang terdengar dari bibir Nalula yang tanpa menoleh sedikit pun ke Tegar.
        “Gue tau apa yang lo pikirin?” tanya Tegar setengah menggoda Nalula.
        “Apa?” Nalula balik bertanya. Tapi posisinya tak berubah. Menatap lurus ke layar televisi.
        Tegar semakin tak bisa menahan tawanya. “Udah sana ke stadion.” Perintahnya.
        “Gue gak…” Ucapan Nalula menggantung begitu mendengar suara pintu terbuka. Tegar dan Nalula sama-sama menengok. Ternyata Garra yang muncul dari balik pintu. Diikuti Lingga yang berdiri di belakangnya.
        “Gimana keadaan lo, Gar?” tanya Garra yang kini berdiri di samping Tegar.
        “Alhamdulillah, udah lebih baik dari kemaren.” Jawab Tegar.
        “Emangnya lo sakit apa sih?” Kali ini giliran Lingga yang bertanya. “Kok ampe harus dirawat segala?”
        “Gapapa kok. Cuma kecepean aja. Paling besok juga udah boleh pulang.”
        “Paru-paru basah. Dua atau tiga hari baru boleh pulang. Sambil nunggu sisa udara dingin di paru-parunya netral.” Itu suara Nalula yang sampai sekarang belum berpindah tempat dari posisi semula.
        “Bener gitu, Gar?” Garra minta kepastian atas menjelasan dari Nalula.
        Tegar nyengir sambil mengangguk kecil.
        “Udah ketebak.” Celetuk Lingga pelan.
        “Ya udah lah. Mending lo bawa tuh cewek ke stadion.” Tegar menunnjuk Nalula dengan dagunya. “Tekanan batin gue rasa kalo lama-lama di sini.”
        Nalula hanya ngelirik sekilas ke Tegar.
        “Niat gue emang gitu kok. Nganterin Garra buat nemenin lo di sini dan bawa Nalula ke stadion.” Lingga menjelaskan.
        “Tuh, Nal. Gue sekarang udah ada yang nemenin. Jadi lo gak usah khawatir ninggalin gue sendirian.” Tegar masih saja menggoda Nalula.
        Akhirnya Nalula berdiri. “Iya iya gue pergi. Itu kan yang dari semalem lo mau?” balas Nalula sambil meraih jaketnya di sofa.
        “Ya udah, gue tinggal dulu ya?” pamit Lingga.
        “Nal.” Panggil Tegar yang bersamaan ketika Nalula menggenggam gagang pintu.
        “Apa lagi?” keluh Nalula yang sesaat mengurungkan niatnya untuk membuka pintu.
        “Inget ya. Kalo Rosengard sampe kalah, gue kirim lo balik ke Jakarta.”

        “Ngancem apa balas dendam?” Nalula langsung membuka pintu dan keluar dari kamar Tegar tanpa menunggu ucapannya di respon. Sementara Lingga mengikutinya dari belakang. Tegar sendiri hanya terkekeh mendengar perkataan Nalula yang membuat Garra terlihat bingung.

@@@

        Begitu Lingga dan Nalula sampai di stadion, pertandingan udah kembali berjalan sekitar 15 menit. Hasilnya pun cukup mencengangkan. Rosengard tertinggal dua gol tanpa balas. Dan tujuan awal mereka adalah langsung menghampiri Diaz yang berdiri di pinggir lapangan.
        “Nal?” Ujar Diaz begitu Nalula mendekat.
        “Gapapa kok, Di. Kita masih punya setengah jam lagi buat nyusul angka.” Nalula berusaha menenangkan Diaz yang terlihat cukup kacau. Nalula sedikit melirik ke belakang, di mana beberapa pemain cadangan berada. Salah satu dari mereka tampak memegang botol air mineral yang masih utuh. Nalula mendekatinya. “Anjar. Boleh minta minumnya gak?”
        Anjar sendiri yang terlihat serius menyaksikan jalannya pertandingan, sedikit kaget. “Minta minum?” ia malah balik bertanya.
        “Boleh gak?” Nalula memastikan sambil melirik ke arah lapangan.
        Anjar belum menjawab apa-apa. Dari arah lapangan, Nalula melihat Ilan berjalan menepi. “Aaahh… kelamaan lu, Njar.” Gerutu Nalula yang terlihat cukup kalut dan tanpa sadar merebut paksa botol itu dari tangan Anjar. Lalu sesegera mungkin menghampiri Ilan. Meski terdengar Anjar meneriakkan namanya, Nalula sama sekali tak merespon.
        Ilan semakin dekat dengan posisi Diaz berdiri. Diaz pun juga menyiapkan sebotol air mineral untuk Ilan.
        “Ilan.” Nalula berteriak sambil langsung menyodorkan botol itu ke Ilan sehingga membuat Ilan terdorong menjauh dari Diaz.
        Ilan membuka tutup botol air mineral yang deberikan Nalula.
        “Lan, rotasi posisi.” Kata Nalula yang membuat Ilan membatalkan niatnya untuk menenggak air itu.
        “Siapa aja?” Tanya Ilan.
        “Elu, Danu sama Dendi. Tapi bilangin juga ke Farel, jangan terlalu mundur. Dia lupa sama posisi barunya sekarang.”
        Ilan hanya mengangguk sebelum menyerahkan botol minum itu ke Nalula dan kembali ke tengah lapangan.
        “Rotasi posisi?” Tanya Diaz kepada Lingga yang sejak tadi berada di dekatnya.
        Lingga mengangkat bahu. “Rasanya Cuma tuh anak dua yang tau.”

@@@

        Waktu normal masih tersisa sekitar 15 menit lagi. Dan kedudukanpun belum berubah, 2-0 untuk SMA Jatidiri. Diaz mengajukan pertukaran pemain. Lucas yang bernomor punggung 20, masuk menggantikan pemain bernomor punggung 6, Khai.
        Begitu pertandingan berlanjut, pelanggaran terjadi sedikit di luar kotak penalty SMA Jatidiri. Dendi yang jadi korban, harus ditandu keluar lapangan. Sementara pemain bernomor punggung 21 harus diganjar kartu merah oleh wasit. Dan Diaz harus kembali menurunkan pemain cadangannya untuk turun menggantikan Dendi. Kali ini yang mendapat kesempatan adalah Anjar yang bernomor punggung 3. Itu artinya, Danu kembali ke posisi awalnya sebagai seorang striker bersama Ilan.
        Empat sampai lima pemain SMA Jatidiri berdiri membentuk pagar betis untuk menghalangi Danu yang siap mengeksekusi bola.
        Suasana tegang pun kembali terjadi. Nalula berdiri sedikit dibelakang Lingga. “Ilan… Danu… Ilan… Danu… Ilan… Danu…” ujar Nalula pelan. Tapi cukup terdengar dan sedikit mengganggu untuk Lingga yang berdiri di dekatnya.
        “Sssttt… Bisa tenang gak sih?” tegur Lingga tanpa sedikit menengok ke Nalula.
        Nalula melirik Lingga dan membalas ucapannya “Nggak!”
        Begitu menoleh, Lingga menemukan Nalula yang berjalan ke arah Diaz. “Dasar cewek aneh!” gerutunya.
        Tapi ternyata tujuan Nalula bukan ke Diaz. Melainkan melewati Diaz lalu mendekati Dendi yang masih dalam perawatan. “Den, lo gapapa?”
        “Kaki gue sakit banget nih, Nal.” Jawab Dendi yang masih tampak memegangi kaki kirinya.
        “Bisa kita bawa Dendi ke rumah sakit aja?” Kata Nalula kepada salah satu tim medis yang kini sedang menangani Dendi.
        “Iya, gapapa. Tapi kami lagi gak bisa menyiapkan kendaraan.”
        Nalula diam. “Den, gapapa kan kalo gue bawa lo nya pake motor?” bisik Nalula pada Dendi.
        “Apapun deh, Nal. Asal lo jangan nyuruh gue yang bawa motornya aja.”
        Nalula tersenyum menanggapi perkataan Dendi. “Ya iyalah, Den. Gue gak setega itu.” Dalam keadaan seperti ini, Dendi masih sanggup sedikit bercanda.
        Dendi balas tersenyum menutupi rasa sakitnya. Nalula berdiri dan melangkah ke arah Diaz. Sedikit berbincang pada Diaz. Begitu Diaz mengangguk, Nalula kembali melangkah. Kali mengarah ke Lingga, sedangkan Diaz sendiri berjalan menuju tempat Dendi berada.
        Nalula menepuk pundak Lingga. “GGOOOLLL…” Lingga berteriak hingga membuat Nalula terkejut. Saking gembiranya, tanpa sadar Lingga mendekap tubuh Nalula sambil sedikit mengguncangkannya. Sekuat tenaga Nalula berusaha melepaskan diri dari dekapan Lingga. Tapi percuma aja. Gak segampang itu untuk lepas dari pelukan Lingga.
        Lingga menoleh ke arah lapangan dan mendapati Danu melangkah ke arahnya. Seketika pula ia melepaskan dekapannya dan langsung beralih memeluk Danu.
        Nalula merasakan tubuhnya goyah. Sekilas hampir saja Nalula terlihat seperti pingsan. Tapi Dewa yang ternyata berada di dekatnya langsung menghadang tubuh Nalula.
        “Nal, lo gapapa?”
        “Gapapa kok. Gue Cuma gak bisa ngimbangin badan aja abis di guncang gitu sama Lingga. Ya udah, makasih ya?” Nalula cepat-cepat berusaha mengalih dari Dewa. Sosok pertama yang ia tangkap adalah Dendi yang kini berdiri sedikit berpegangan pada Diaz. Dilihatnya dua orang itu kini tersenyum geli kepadanya.
        “Seneng lo berdua?” Kata Nalula ketus.
        Diaz masih terkekeh. Lalu tanpa komentar meninggalkan Nalula bersama Dendi. Nggak berapa lama, Diaz kembali sambil melambaikan sebuah kunci. Kunci motor nampaknya, yang tergantung pada tali yang bermotif bola sepak. Mereka memang tak pernah lepas dari yang namanya sepak bola.
        “Nih.” Diaz menyodorkan kunci itu ke Nalula. “Hati-hati lo berdua.” Pesannya.
        Nalula dan Dendi saling membalas pandangan. Lalu tersenyum.

@@@

        Pintu kamar rawat yang ditempatin Tegar tiba-tiba menjeblak terbuka. Nalula yang muncul dibaliknya.
        “Lho, Nal? Lo udah di sini lagi aja?”
        Jelas yang bertanya tadi adalah Tegar. Belum sempat Nalula menjawabnya, suara Garra gantian  yang terdengar.
        “Gol nya Danu tadi kerena ya, Nal?”
        Nalula diam. Bingung tepatnya. Ia pun masih berdiri di ambang pintu. ‘Gol nya Danu?’ Nalula bertanya dalam hati. ‘Yang mana?’
        “Jangan bilang lo gak liat?” tanya Garra lagi.
        Kalo harus jujur, jawaban atas pertanyaan Garra adalah ‘Ya’. Nalula memang tak menyaksikan proses terjadinya gol oleh Danu. Yang ia ingat hanya ketika Lingga berteriak ‘gol’, lalu mendekapnya. Nalula sedikit menggeleng seolah berharap kejadian itu tak kan terulang dan tak kan muncul lagi dalam pikirannya.
        “Eh, Gar! Lo lupa apa sama insiden barusan?” ujar Tegar seolah hanya tertuju pada Garra. “Jelas aja Nalula gak liat, secara dia kan lagi asik dipeluk sama Lingga.”
        “Heh! Enak aja gue dipeluk Lingga! Siapa yang bilang?” hardik Nalula.
        “Emang gak ada yang bilang sih, Nal. Tapi tadi kita liat sendiri di tivi.” Ujar Garra apa adanya.
        “Liat apa!?” Nalula memastikan.
        “Lo di peluk Lingga.” Tegar memperjelas.
        “Hah…!” Nalula terdengar seperti histeris. Rasa kaget, kesal dan malu bercampur aduk untuk dimunculkan. Tapi secepat mungkin Nalula melepaskan penyudutan atas dirinya. Kali ini pikirannya tertuju pada tempat tidur kosong yang jelas-jelas semalam baru saja dihuni. Sedangkan di kamar itu hanya tersedia dua tempat tidur yang salah satunya di pakai Tegar.
        “Nal. Kok malah diem?” Tegur Garra. “Sorry ya kalo kita tadi sedikit keterlaluan.” Suaranya menyadarkan Nalula.
        “Gapapa kok. Gue Cuma mau nanya itu,” Nalula sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang kosong. “Kok kosong? Bukannya semalem baru ada yang nempatin ya?”
        “Bilang aja, Nal. Kalo lo nyariin tuh cowok?” Tegar masih saja menggoda Nalula. “Doi cakep sih.”
        “Orangnya udah dipindahin, Nal. Baru aja. Sebelum lo dateng.” Garra menjelaskan.
        “Oh.” Cuma itu yang dikatakan Nalula sebelum akhirnya kembali meninggalkan kamar Tegar.    Dan sore itu Rosengard meraih kemenangan dengan skor tipis 1-0. Tapi cukup untuk membawa mereka ke babak semi final.

@@@

        Nalula baru aja sampai di rumah menggunakan motor yang tadi ia pakai untuk mengantar Dendi ke rumah sakit. Di saat yang bersamaan, pintu rumah terlihat terbuka. Mulai dari Diaz, Riva, Reva, Hexa, Dewa sampai Lingga muncul bergantian. Diaz langsung mendekati Nalula yang baru saja memarkirkan motor dan kini sedang membuka helmnya.
        “Mau kemana, Di?” Nalula yang tampak lebih dulu bertanya.
        “Gue sama anak-anak mau ke rumah sakit.” Jawaban Diaz hanya membuat Nalula mengangguk. “Tegar sama Dendi gimana?” lanjut Diaz.
        “Mereka udah baikan kok. Biar maksimal, Dendi gue ajuin buat dirawat aja. Tau sendiri kalo dirumah tuh kayak apa?” Jelas Nalula yang membuat Diaz tersenyum menanggapinya. “Tegar juga mudah-mudahan besok udah dibolehin pulang.”
        Gantian Diaz yang sedikit mengangguk.
        “Yang lain mana?” tanya Nalula, karena hanya segelintir saja yang ia lihat bersama Diaz.
        “Gue emang sengaja ngajak mereka yang tadi sore gak ikut tanding. Termasuk si kembar. Yang lain gue suruh istirahat.”
        Nalula melihat jam tangannya. “Udah jam tujuh. Mending kalian berangkat sekarang.” Saran Nalula.
        “Iya adikku.” Ledek Diaz sambil mengelus lembut kepala Nalula. “Jangan lupa makan. Tadi gue udah titip pesen ke Danu buat dia mastiin lo makan.”
        Dewa yang duduk di kursi kemudi menekan klakson. “Adek lo gak bakal kemana-mana, Di.” Ledeknya yang juga disetujui yang lain. “Pulang dari rumah sakit juga masih bisa ketemu.”
        Diaz dan Nalula hanya tertawa menanggapinya.
        Begitu mobil yang dikendarai Dewa berlalu, Nalula yang menutup pintu pagar. Tak berapa lama, sebuah motor berhenti tepat di depan pagar. Nalula hanya sedikit menggeser pagar rumahnya. Seorang pemuda turun dari motor dan langsung menghampiri Nalula.
        “Cari siapa, Kang?” tanya Nalula ramah.
        Ia hanya membuka kaca helmnya. “Maaf teh, ganggu malam-malam. Saya hanya di suruh mengantarkan ini.” Ujar pemuda itu dengan sopan dan dengan diiringi logat Sundanya sambil menyodorkan sebuah amplop coklat.
        Nalula meraihnya. “Oh, iya. Makasih ya.”
        “Sama-sama.” Hanya itu yang diucapkannya untuk membalas ucapan Nalula sebelum pergi.
        Amplop itu di rasa Nalula tak hanya berisi satu atau dua lembar kertas. Tapi nampaknya terdiri dari beberapa helai kertas yang terlipat di dalamnya. Sementara di bagian luar tertulis MENEJEMEN SEPAKBOLA SMA ROSENGARD.
        “Surat untuk klub?” Nalula tak sabar untuk mengetahui lebih lanjut tentang isi surat itu. “Surat panggilan untuk official klub? Dengan ini kami selaku panitia penyelenggara memanggil beberapa orang pengurus klub sepakbola SMA Dipokar yang kami curigai melakukan pelanggaran. Diantaranya: 1. Kharis Anggara. 2. Diaz Airlangga. 3. Nalula Airlangga. 4. Rivanna Soraya. 5. Arreva Soraya. Adapun pelanggaran yang dilakukan…” Nalula membaca bagian inti dari keseluruhan isi surat. “Ini cobaan apa lagi?”

@@@

        Semalaman Nalula tak tidur karena terlalu terfikirkan masalah surat panggilan dari panitia itu. Dan sekarang tepat jam tiga pagi. Nalula masih berkutat di sekitar ruang tengah dan dapur. Tivi masih menyala, sementara Nalula duduk di meja makan sambil mengaduk-ngaduk teh buatannya. Sementara amplop itu tergeletak tak jauh dari gelasnya. Dari arah tangga seperti terdengar orang berbicara. Dan semakin lama suara mereka semakin dekat menuju dapur. Ternyata itu Danu dan Lingga. Mereka sedikit terkejut mendapati Nalula seorang diri di meja makan.
        “Lo lagi ngapain, Nal?” tanya Lingga penuh curiga.
        “Kok gak tidur?” Danu menambahkan.
        “Gue kebangun, jadi nya gak bisa tidur lagi.” Ujar Nalula sedikit berbohong terhadap Danu dan Lingga.
        Mereka masing-masing duduk di samping Nalula. Danu mungkin tak begitu mempermasalahkan alasan Nalula yang tetap terjaga pagi itu. Tapi tidak halnya dengan Lingga. Ia sejak tadi mengawasi Nalula yang di rasanya menyimpan sesuatu. Dan kecurigaannya berujung di amplop coklat yang tergeletak di sana.
        “Ini amplop apa, Nal?” tanya Lingga yang langsung dapat merebut amplop itu meski Nalula yang langsung sadar gagal menghadangnya.
        “Itu surat gue dari Zagar.” Lagi-lagi Nalula menutupi sambil berusaha merebut kembali amplop yang kini telah berpindah ke tangan Danu.
        “Menejemen Klub Sepakbola SMA Rosengard.” Danu membaca tulisan di luar amplop.
        “Danu balikin.” Kata Nalula sebelum akhirnya di dekap Lingga. “Itu bukan apa-apa.”
        Lingga benar-benar tak membiarkan Nalula mendapatkan kembali amplop itu. Sampai-sampai ia harus pindah dan menduduki satu bangku bersama Nalula hanya untuk bisa menahannya. “Buka apa isi nya, Dan.” Perintah Lingga sambil berusaha sekuat tenaga menahan Nalula yang terus saja meminta Danu untuk mengembalikan amplop itu.
        Seperti halnya sore tadi. Tak mudah untuk Nalula melepaskan diri dari seorang Lingga. Nalula pun semakin tak berdaya melihat Danu menyelesaikan tiap kata pada surat itu. Setelah Danu menceritakan isi surat itu ke Lingga, suasana langsung berubah semakin sepi.
        “Ini serius, Nal?” Danu minta penjelasan.
        Nalula menghela napas. Sesaat masih hanya suara tivi yang terdengar. “Gak tau lah, Dan.” Nalula terdengar pasrah.
        “Jadi, ini yang dari tadi lo pikirin?” Lingga berbicara tepat di telinga Nalula. suaranya terdengar sangat jelas. Nalula menoleh dan wajah Lingga pun hanya beberapa senti di depannya. Dan tanpa sadar, tangan Lingga pun sebenarnya masih melingkari tubuh Nalula.
        “Apa-apaan nih?!” Diaz datang membuyarkan segalanya. “Lingga!” ia terlihat geram. “Lepasin ade gue!”
        Sontak Lingga melepaskan dekapannya. Danu berdiri dan berusaha menceritakan tentang surat itu. Tapi Diaz tak menghiraukannya. “Apa yang kalian lakuin?” tany Diaz kepada siapa saja yang berada di sana. “Ngapain lo meluk Nalulua? Apa selama ini kalian pacaran?!” tuduh Diaz yang jelas-jelas untuk Lingga yang kini sudah berpindah tempat duduk di samping Nalula.
        “Lo salah paham, Di.” Lingga berusaha menjelaskan.
        “Heh!” Nalula berdiri tepat sebelum Diaz mengomentari perkataan Lingga. “Jangan asal tuduh!” Nalula merebut paksa amplop di tangan Danu. Ia dengan seenaknya melempar amlpop itu ke atas meja, tepat ke arah Diaz yang berdiri di seberangnya. “Lo baca itu!”
        Danu, Lingga dan Nalula duduk diam menunggu respon Diaz dengan penuh tak minat. Diaz tampak menggeleng. “Ini pasti bercanda kan, Na?”
        “Gue harap juga gitu.” Jawab Nalula tak bersemangat.
        “Itu alasan kita ada di sini.” Danu menambahkan.
        “Tapi gue rasa, itu bukan alasan Lingga untuk bisa meluk Nalula.” Diaz menatap tajam ke Lingga yang juga balas menatapnya. Jika Nalula tak menahan tangan Lingga, mungkin sekarang Lingga telah berdiri di hadapan Diaz dan menghajarnya.
        “Lo emang kakak gue, tapi apa urusan lo ikut campur masalah pribadi gue.” Kata Nalula pelan tapi cukup menantang. “Mau gue pelukan sama Lingga, ciuman sama Danu, pacaran sama Tegar atau Dewa. Lo gak berhak ngelarang.”
        Diaz tercengang mendengar perkataan Nalula yang seolah tak menganggapnya sebagai kakak. Sementara Danu ataupun Lingga, tak ada satu pun yang berani merespon atau pun berkomentar terhadap pernyataan Nalula yang cukup mengejutkan.
        Tapi Lingga nampaknya sudah tak tahan akan sikap Diaz. “Sekarang apa mau lo?” tanya Lingga sambil melipat tangannya di depan dada.
        “Kita harus turutin panggilan dari panitia.” Nalula yang menjawab.
        “Tapi gue mau kita tunggu sampai Kharis datang.” Diaz menambahkan. “Pagi ini dia berangkat ke Bandung.”
        Tanpa sepengetahuan Diaz, Danu atau Lingga, Nalula terlihat sedikit sumringah mendengar Diaz menyebutkan nama Kharis. Dan memaparkan bahwa Kharis akan segera berada di Bandung.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar