Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 8)


8. CALON ASISTEN PELATIH

Belum juga nyampe kelas, langkah Nalula udah di hadang tubuh Ilan. Nalula tersenyum menanggapinya. “Masih pagi, Lan?” ledeknya.
        “Nal.” Hanya itu yang diucapkannya sebelum menarik Nalula ke tepi balkon.
        Suasana sekolah pagi itu masih cukup sepi. Hanya segelintir orang saja yang terlihat, termasuk Reva yang juga melihat Nalula dan Ilan dari bawah.
        “Lo ngeliatin apa sih, Rev?” Tanya Riva yang baru muncul.
        “Tuh lo liat aja sendiri.” Reva menunjuk ke arah Ilan dan Nalula berada.
        “Mereka kan temenan, Rev.” Ujarnya santai.
        “Iya, gue juga tau. Tapi apa harus bener-bener berduaan? Pas sekolah masih sepi pula. Apa lo gak curiga?” Reva seolah memanasi hati Riva.
        “Masa bisa gitu sih?”
        “Ya udah kalo lo gak mau kesana. Biar gue yang ngadepin.” Reva begitu saja meninggalkan Riva. Tapi langkahnya terhenti. Seseorang menahan tangannya.
        “Jangan, Rev.” ternyata itu Lingga.
        Reva berbalik. “Lingga! Lepasin gue.” teriaknya sambil melepas paksa tangannya. “Lo gak ngerti perasaan…” Ucapan Reva terhenti. “RIVA…!” Ia histeris melihat Riva yang di bawa paksa Danu dan Hexa.
        Lingga masih menggenggam erat tangan Reva. “Udah ayo ikut gue.” Paksa Lingga sambil berusaha menarik tangan Reva.
        “Nggak!” sekuat tenaga Reva melepaskan diri. Tapi belum sempat ia terbebas, satu orang lagi membantu Lingga menahan tangannya. “Apa-apaan sih lo? Bintang! Lepasin gue!”
        “Gue bakal lepasin lo. Tapi gak di sini.”
        “Aaaa…!!” terdengar Bintang menjerit. Tangannya digigit Reva yang kini berhasil melepaskan diri.
        Tapi hanya sesaat saja Reva bisa bebas. Karena ada Irham dan Tegar yang kini menghadang langkahnya. Dan dengan susah payah, Lingga, Bintang, Irham dan Tegar membawa Reva yang tak hentinya memberontak hingga ke ruang secretariat.

@@@

Nalula berbalik membelakangi Ilan. “Sorry, Lan. Gue udah gak bisa kayak dulu.”
“Kenapa?” Ilan terdengar menantang. “Karena ada Diaz? Eh, tapi Diaz kan belum tentu bisa ikut atau nggak.” Nalula masih diam tak bergerak. “Kalo gitu, karena Kharis?”
“Lan, plis. Jangan paksa gue.” Nalula masih pada posisinya.
“Gue kenal lo gak Cuma setahun atau dua tahun. Tapi sejak kita di SMP. Dan lo yang balikin kepercayaan diri gue di sepakbola.” Tatapan Ilan yang awalnya tajam, kini mulai melunak.
“Apa gak ada orang lain lagi? Riva misalnya?”
“Itu beda, Nal. Riva emang cewek gue, tapi dia gak ngerti tentang sepakbola.”
“Diaz?” Nalula masih tak mau kalah.
“Lo juga tau kalo Diaz masih cedera. Kita gak mungkin maksa Diaz turun dipertandingan.”
Nalula berbalik. Sepertinya apa yang ia maksud, tidak sampai di Kharis. “Siapa yang nyuruh Diaz turun?”
Ilan tampak bingung. “Maksudnya?”
“Gue tau, Diaz kapten Dipokar sebelum akhirnya digantikan Lingga karena kecelakaan itu.” Nalula memulai. “Tapi kenapa gak minta Diaz buat jadi asistennya Kharis? Diaz smart dan dia juga lebih tau mana yang terbaik buat kalian.  Secara gak langsung juga, ini berimbas positive ke Diaznya. Karena dia masih terlibat di antara kalian, semangatnya untuk sembuh dan merumput kembali akan semakin besar.” Ujar Nalula panjang lebar.
Sangat diakui, seratus persen semua ucapan Nalula benar. Mungkin itu yang tak sampai terfikirkan oleh Ilan atau yang lainnya. Dan Ilan pun semakin tak bisa membalas kata-kata Nalula.

@@@

Riva dan reva duduk diam di tengah kerumunan punggawa sepakbola SMA Rosengard. Suasana terasa tegang layaknya di pengadilan.
“Kenapa kalian gak konfirmasi ke kita dari awal?” Tanya Reva menyangkut kasus antara Ilan dan Nalula di balkon atas tadi. “Jadinya kan gue gak salah sangka ke Ilan.”
“Oke. Gue minta maaf.” Ujar Lingga. “Gue juga salah gak bilang rencana ini ke kalian. Yang lain juga mungkin gak kepikiran karena ini semua mendadak dan gak direncanain dengan matang.”
“Ya udah, terus gimana? Apa yang bisa gue dan Reva bantu?” kata Riva menengahi.
“Untuk sementara, kita tunggu hasil dari Ilan dulu.” Kata Danu. “Kalau gagal, gue sama Lingga bakal ngelakuin hal serupa kayak Ilan, ngomong langsung. Tapi kalo ternyata hasilnya nihil, kita bicarain strategi akhir.” Tambahnya.
“Emang gak ada orang lain yang bisa, apa?” Celetuk Tegar. “Kenapa harus si Nalula itu?” Ujarnya tak sabar.
“Nanti juga lo bakal tau alasannya.” Lingga dengan sabar menjawab cibiran Tegar yang terlihat meremehkan Nalula, tepat sebelum ia menjawab telepon dari Ilan.
Sesaat suasana berubah sepi. Semua yang berada di ruang secretariat kala itu dibuat penasaran sama obrolan antara Lingga dan Ilan.
“Yakin? … Emang lo ngomong apa aja? … Kok bisa gitu? … Terus tuh anak jawab apa? …” Untuk sementara hanya pertanyaan-pertanyaan dari Lingga yang mereka dengar. “Ya udah, lo jangan ke secret dulu. Langsung aja ke kelas, biar gak dicurigain Nalula.” Lanjut Lingga.
“Gimana, Ga?” Tanya beberapa dari mereka hampir bersamaan.
Lingga terlihat menghela napas, lalu menggeleng. “Ilan gagal.” Ujarnya.
“Rencana kalian setelah ini, apa?” Tanya Reva yang mulai berani angkat bicara.
“Biar Danu dulu yang ngomong ke Nalula.” Jawab Lingga sebelum akhirnya memusatkan perhatian ke tempat Danu berada. “Kata Ilan, lo suruh manfaatin buku file Nalula yang masih di lo.”
Danu mengangguk pelan tanda ia mengerti yang dibicarakan Lingga. “Gue tau harus ngapain.” Ucapnya penuh dengan keyakinan.

@@@

Bel penanda berakhirnya proses belajar mengajar di SMA Rosengard telah berkumandang seantero sekolah. Segerombolan anak mulai terlihat meninggalkan kelas mereka masing-masing. Kecuali Danu yang masih duduk anteng di kursinya. Begitu pula dengan Nalula yang masih sibuk merapihkan perlengkapan sekolahnya.
“Kok belum balik, Dan?” Tanya Nalula yang baru menyadari keberadaan Danu begitu menyelesaikan aktivitasnya. “Nungguin siapa?”
Dengan ekspresi yang datar, Danu berkata. “Gue nunggu lo?”
        “Nunggu gue?” Nalula memperjelas perkataan Danu.
“Ada yang mau gue omongin, Nal.” Ujarnya sebelum membuka tas dan mengambil sesuatu di dalamnya. Sebuah buku file.
“Itu kan…?” Nalula hendak merebut benda itu. Tapi sayang, Danu langsung memasukkannya kembali ke dalam tas sebelum dapat di rebut Nalula. “Kok bisa ada di lo?”
“Kan waktu itu lo yang ninggalin di balkon sana. Karena gue tau itu punya lo, ya gue bawa pulang aja. Dari pada ilang.” Jelas Danu.
“Tapi kenapa gak boleh gue ambil?”
“Gue pasti bakal balikin kok, Nal. Tapi gak sekarang ya. Kecuali…” Danu sengaja menggantungkan kata-katanya.
“Kecuali apa?” Tanya Nalula cepat-cepat.
“Tapi maaf ya sebelumnya. Gue terpaksa manfaatin file ini untuk…” Danu kembali menggantungkan kata-katanya.
Nalula berdiri. Danu sampai kaget dibuatnya. Nampaknya ia telah menyadari maksud dan arah tujuan pembicaraan Danu. “Kalo itu maksud lo? Sorry, gue gak bisa.”
Danu ikutan berdiri.
“Lo boleh manfaatin buku file itu. Bahkan isinya sekalipun. Asal lo gak minta gue buat buat jadi asistenya Kharis.” Kata Nalula sebelum akhirnya meninggalkan Danu tanpa menunggu respon apa-apa dari Danu.
Danu sendiri tak bisa menahan Nalula. Ia hanya bisa menghela napas dan kembali menyandarkan badannya ke kursi.

@@@

Sebelum mulai latihan, seperti biasa anak-anak SMA Rosengard mengadakan rapat kecil di ruang secretariat. Hampir semua yang terlibat di kepengurusan, termasuk Kharis, Reva dan Riva. Kharis juga Cuma ngomong sebentar mengenai materi latihan hari ini. Abis itu satu persatu dari mereka mulai meninggalkan ruangan.
Lingga sendiri awalnya udah bangkit.tapi begitu melihat Ilan masih sibuk memakai sepatu, Lingga malah menghampirinya.
“Lo udah ngomong ke Nalula?” Tanya Ilan begitu Lingga duduk di sampingnya.
“Belum nih. Tapi gue udah punya rencana sih.”
“Danu gimana?”
“Tanya aja sama anaknya.”
Ilan mendongak, dilihatnya Danu yang baru aja datang.
“Ngancem tuh anak pake buku file itu juga ternyata gak mempan.” Ujar Danu yang seolah tau denagn arah obrolan Ilan dan Lingga.
“Masa sih gak bisa juga? Gue jadi makin bingung sama tuh anak.” Keluh Ilan yang baru menyelesaikan ikatan terakhir sepatunya.
“Lo aja yang udah lama kenal sama Nalula masih bingung, gimana gue sama Lingga?” Balas Danu.
“Pegangan bareng-bareng.” Celetuk Ilan.
“Gih dah. Lo aja.” Komentar Danu.
“Emang Nalula ngomong apa aja sih?” Gantian Lingga yang penasaran.
“Nyuruh gue manfaatin buku file itu.”
“Apa dia juga rekomendasiin Diaz buat jadi asistennya Kharis?” tebak Ilan.
“Diaz?” Ujar Lingga dan Danu bersamaan.
“Iya.” Ilan memperjelas. “Tapi gue pikir, apa yang diomongin Nalula ada benernya juga. Dengan masih terlibatnya Diaz di klub, bikin dia tambah semangat juga buat sembuh.”
“Bukannya Diaz lagi dilarang nyokapnya buat main bola ya?” Danu pasang tampang bingung.
“Emang.” Jawab Ilan.
“Lagian, siapa juga yang nyuruh Diaz main bola?” Lingga menimpali.
“Terus, maksudnya ngapain ngajak Diaz? Kasian juga kali kalo tuh anak Cuma disuruh nonton doank. Mending kalo terlibat juga. Lebih bagus lagi kalo jadi asistennya Kharis.” Jadi dari tadi Danu gak nyimak omongan Ilan, ampe bikin kedua temannya geregetan aja.
“Maksud gue dari tadi juga itu, DANU FIRMANSYAH.” Ilan tampak nya mulai tak sabar.
“Gitu ya?” ujar Danu sambil mengacak-ngacak rambutnya.
“Dan, itu gaya gue!” celetuk Lingga karena kebiasaanya ditiru.

@@@

“Gimana, Nal anak-anak Rosengard?” Tanya Farlan di tengah makan malam mereka yang juga bersama Gita.
 “Anak-anak yang mana?” Nalula yang memang sedang di rumah Farlan, malah balik bertanya.
“Siapa lagi kalo bukan anak-anak sepakbolanya? Kamu pasti terlibat lagi kan?” kata Farlan dengan santainya.
Sementara Nalula terasa tercekat dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.
“Posisi kamu sebagai apa sekarang? Jadi asisten pelatih lagi kayak waktu di Bandung atau yang lain? Tapi denger-denger, yang ngelatih sekarang Kharis ya? Keren juga tuh anak.”
Yang pertama aja belom sempet di jawab sama Nalula, udah nambah lagi aja yang lainnya. Bikin Nalula ingi teriak. ‘Dosa apa gue hari ini? Semua orang ngebahas masalah ASISTEN PELATIH.’ Keluhnya dalam hati.
Kondisi berbalik untuk Lingga yang ternyata juga berada di sana. Ia berdiri di ambang pintu yang mengarah ke ruang makan dengan sedikit terkekeh  menyaksikan semuanya. Lingga mencoba menahan tawanya sebelum menghampiri meja makan. Nalula yang lebih dulu menyadari kehadiran Lingga, langsung menatapnya tajam. Lingga sendiri sadar sesadar sadarnya dengan apa yang dilakukan Nalula. tapi gak begitu berpengaruh dengannya yang langsung menghampiri Farlan dan Gita untuk menyalami mereka.
“Ayo, Ga. Makan dulu.” Ajak Gita.
Lingga yang juga masih mengenakan kostum bola, meletakkan ranselnya di kursi sebelah Gita. “Bentar lagi deh kak, masih gerah soalnya.”
“Mulai pertandingan kapan, Nal?” lagi-lagi pertanyaan Farlan perihal sepakbola tertuju pada Nalula.
“Em…” Lingga berniat menjawab pertanyaan Farlan sebelum Nalula menyambarnya.
“Empat belas Agustus besok.” Ujar Nalula. Bersamaan dengan lirikan Lingga. Ekpresi Nalula menggambarkan sesuatu. Mungkin kalau bisa diungkapkan dengan kata-kata, Nalula akan bilang, ‘jangan pikir gue gak tau?’.
“Dua minggu lagi donk. Persiapannya bagaimana?” lanjut Farlan lagi.
“Udah tujuh puluh persen. Materi pemain juga udah lengkap. Ya kan, Nal?” Lingga seolah memancing Nalula berkomentar.
‘Kalo gak dijawab, Kak Farlan pasti bakal nanya yang aneh-aneh lagi’. Pikir Nalula dalam hati. Nalula pun teringat dengan kertas-kertas catatan Kharis yang sempat berserakan di meja ruang tivi. “Komunikasi masih ancur gitu, udah dibilang siap tujuh puluh persen!”
“Gimana sih? Kok kalian gak kompak?” komentar Gita.
Lingga lagi-lagi ngelirik ke Nalula yang dengan sangat santai duduk diseberangnya sambil sambil menikmati makan malamnya. ‘Gak bisa diajak kerja sama banget sih?’ gerutu Lingga dalam hatinya. Tapi Lingga gak boleh kalah. “Pendapat orang kan beda-beda kak. Tapi tenang aja kak, Nalula tuh banyak ngebantu.” Masih tetap melirik Nalula, Lingga menunggu Nalula bereaksi. Tapi ternyata tak seperti yang diharapkan. Nalula cuek, karena ia menyadari kalau apa yang dilakukan Lingga padanya adalah salah satu strategi untuk benar-benar menyeretnya ke klub.
“Pokoknya pas pertandingan nanti, kakak jangan ampe pada nggak nonton ya?” Pinta Lingga dengan sedikit memaksa.
“Insya Allah. Tapi tetep kakak usahain lah buat kalian berdua.” Kata-kata Gita membuat Lingga sumringah.
“Kamu pasti ikut kesana juga kan, Nal?” sekali lagi. Farlan melontarkan pertanyaan yang sangat tak diharapkan Nalula.
“Pasti lah kak. Posisi Nalula tuh gak ada yang bisa gantiin.” Dan lagi-lagi Lingga mengeluarkan kata-kata yang bisa menjebak Nalula.
Nalula ngelirik Lingga yang masih duduk di seberangnya. Berharap Lingga ngerti posisinya. Tapi bukan itu yang ia dapat. Justru Lingga terlihat menang sambil mengedipkan sebelah matanya ke Nalula tanpa sepengetahuan Farlan dan Gita.
Nalula berdiri.
“Mau kemana, Nal?” Tanya Gita cepat-cepat sebelum Nalula terlanjur meninggalkan meja makan.
“Kebelakang bentar kak.” Nalula beralasan, karena langkahnya mengarah ke ruang keluarga.
“Lingga juga mau mandi dulu ya kak.” Lingga juga cepat-cepat melangkah ke arah yang tadi dilalui Nalula.
Dan tepat, Nalula berdiri di sana menunggunya. Tapi Lingga udah gak mau ngebahas apa-apa lagi ke Nalula. Ketika Nalula berdiri tepat di tengah-tengah, Lingga langsung berinisiatif untuk berjalan ke sebelah kanan Nalula. Tak semudah itu melewati Nalula yang juga ikut bergerak untuk menghalangi Lingga.
Lantas, Lingga sendiri tak mudah putus asa. Masih ada jalan lain yang bisa ia lewati, kini berada disebelah kiri Nalula. Dan kembali terjadi, Nalula lagi-lagi menghalangi langkah Lingga.
Sekali lagi. Lingga mencoba jalan di sebelah kanan Nalula. Gak ada hasil lain. Semua sama aja. Nalula nggak ngebiarin Lingga dengan mudah melewatinya. Sementara matanya, tersorot tajam ke mata Lingga.
“Nal, gue mau lewat.” Ucap Lingga hati-hati. Karena ia tau sudah tak ada cara lain selain bicara baik-baik dengan Nalula.
Nalula hanya tersenyum menanggapinya.
“Nal.”
“Apa lo gak pernah berfikir seandainya gue orang jahat?”
“Apa?”
Mata Nalula terlihat mengancam. “Gue punya banyak temen dari klub lain.” Ekspresi Nalula sama sekali diluar perkiraannya. “Dengan lo ngelibatin gue di klub, itu sama aja lo udah ngebuka akses jalan gue buat ngancurin Rosengard.”
Lingga diam. Apa yang dikatakan Nalula sama sekali tak bisa diterkanya. Ia tak bisa bicara sepatah kata pun.
Satu langkah, Nalula mendekati Lingga lalu mengalihkan wajahnya kesamping wajah Lingga. Dengan sedikit berbisik dan sedikit misterius, Nalula berkata. “Gue bisa kapan aja ngancurin lo atau pun Rosengard kalau lo masih ngusik hidup gue.” Begitu selesai, Nalula kembali mundur selangkah, lalu berbalik meski tak langsung meninggalkan Lingga. Ia menunggu.
Lingga tersenyum meski tatapannya tak focus ke satu titik. Nalula masih menunggu. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Lingga tetap tak merespon seperti yang diharapkannya.

@@@

Apa yang didapati Lingga begitu cerita tentang perlakuan Nalula terhadapnya? Sama sekali tak seperti yang diharapkan. Lingga dihujani tawaan oleh teman-temannya. Danu, Bintang, Garra, Irham, Hexa dan Tegar.
“Coba deh lo semua bayangin. Gue sendirian acting di depan kakak-kakak gue, bikin seolah-olah Nalula bagian dari kita. Itu semua gak gampang.” Lingga membela diri.
Garra yang duduk di samping Lingga, menepuk-nepuk pundak temennya. “Kita semua tau lo paling gak suka acting. Tapi kita ngehargain kok apa yang udah lo lakuin.” Hanya itu yang bisa dilakukan Garra untuk menghibur Lingga.
Tiba-tiba pintu ruang secretariat itu terbuka menjeblak. Kedatangan Ilan mengejutkan semua yang berada di dalamnya. Serta merta Ilan menggeser paksa posisi duduk Garra di samping Lingga untuk bisa ia tempati. “Gimana, Ga? Hasil pembicaraan lo ke Nalula?” Rasa penasaran Ilan terlihat maksa.
Lingga tampak tak bersemangat menanggapinya. “Ya gitu deh.” Jawaban Lingga udah jelas mewakili semuanya.
“Emang Nalula ngomong apa aja?” Tapi Ilan masih semangat dengan rasa penasaran yang dimilikinya.
Kali ini Lingga pasang tampang serius. “Apa lo semua pernah kepikiran kalo Nalula itu orang jahat yang ingin ngancurin Rosengard. Temen-temennya yang dari klub lain kan banyak banget tuh.” Tutur Lingga yang sengaja dibuat sedramatisir mungkin.
“Kalo emang Nalula begitu, apa kabarnya sama gue?” Semua menoleh ke Ilan. “Gue kan sekomplotan sama Nalula.” tapi Ilan dengan santai meladeni tatapan orang-orang yang kini menatap curiga padanya. Terkecuali Danu.
Tampaknya Tegar yang paling terpengaruh. “Lo serius, Lan? Punya rencana ngancurin kita?” tampangnya terlihat cukup panic.
Ilan tertawa dibuatnya. “Atas dasar apa gue sama Nalula punya pikiran picik kayak gitu?”
“Mungkin aja Nalula pernah sakit hati cintanya ditolak sama salah satu dari anak-anak Rosengard yang ada.” Tegar masih tetap pada pendiriannya. Terpengaruh.
“Gue rasa pemikiran lo salah, Gar.” Kata Garra menengahi. “Nalula bukan tipe cewek kayak gitu. Gue liat dia punya karisma tersendiri. Jadi pasti banyak cowok yang naksir sama dia.”
“Apa lo termasuk yang naksir Nalula?” Ujar Lingga yang langsung mengawasi sosok Garra.
“Gak munafik lah gue.” Garra kelihatannya membenarkan. “Nalula cakep. Sayang buat dilewatin.” Ekspresi Garra berubah karena hampir semua yang ada di sana mengawasinya. Ia buru-buru meralat ucapannya. “Tapi gue gak segila itu. Gue masih inget lah sama cewek gue.”
Suasana kembali kondusif. Mereka mempersiapkan diri untuk latihan sore ini. Tersisa hanya Lingga dan Ilan yang masih duduk di sana.
“Tapi, Ga.” Masih ada hal yang dipikirkan Ilan nampaknya. “Kalo emang bener Nalula bilang gitu, gue harus bertindak.” Ilan langsung berdiri.
“Lo mau ngapain, Lan?” Lingga menghentikan Ilan yang hampir mencapai pintu. “Lo gak punya pikiran gila buat ngelabrak Nalula kan?”
“Tenang aja, gue tau apa yang harus gue lakuin.” Ilan meyakinkan Lingga.
Tepat bersamaan ketika tangan Ilan hampir mencapai gagang pintu, seseorang terlebih dulu membukanya perlahan dari luar. Ilan menunggu sampai seseorang muncul dari baliknya.
“Hai.” Kata orang itu.
Ilan memiringkan kepalanya untuk bisa melihat orang itu dengan jelas. “Diaz? Kok lo ada di sini?”
“Bukannya kalian yang minta gue kesini?” Diaz malah balik bertanya.
“Siapa?”
Lingga berdiri lalu menghampiri ke tempat Ilan dan Diaz berada. “Lagian, bukannya kita gak suka lo di sini, tapi kita masih gak enak aja sama nyokap lo…”
“Nyokap udah ngizinin kok buat gue jadi asistennya Kharis.” Diaz buru-buru menyambar perkataan Lingga.
Ilan dan Lingga saling melempar pandang. Mereka mungkin masih bingung, bagaimana Diaz tau perihal asisten Kharis. Sedangkan tak satupun dari mereka yang memberi tahu hal ini ke Diaz.
“Ngizinin gimana maksudnya?” Ilan hanya ingin memastikan.

Diaz sambil berjalan masuk. Diikuti yang lain. Langkahnya pun sudah terlihat normal. “Semalem ada cewek yang kerumah nemuin nyokap.” Diaz memulai. “Gue sendiri gak tau apa yang mereka bicarain. Tapi intinya, nyokap tiba-tiba nyuruh gue buat kesini. Buat jadi asistennya Kharis seperti apa yang kalian minta.”
“Kita emang punya rencana kayak gitu. Tapi salah satu dari kita belum ada yang bergerak.” Jelas Lingga.
“Apa mungkin antara Reva dan Riva?” tebak Danu yang muncul dari arah dalam. Membuat Lingga melempar pandangan ke Ilan.
Seolah tau dengan apa yang dipikirkan temannya, Ilan menggeleng. “Gue sama sekali belum cerita apa-apa ke mereka.”
Diaz yang tampak bingung, memperhatikan satu persatu wajah sahabatnya. “Kok jadi nuduh Reva sama Riva sih?” pernyataan Diaz mengundang beribu pertanyaan di antara teman-temannya. “Yang nemuin nyokap bukan salah satu dari mereka.”
“Terus?”
“Apa Nalula?” Lingga menerka-nerka.
“Ya gak mungkin lah, Ga.” Danu kurang yakin dengan tebakan Lingga.
“Tapi emang bener kok, itu Nalula.”       
“Hah?” Ilan terlihat paling terkejut dengan pengakuan Diaz. Ia langsung terlihat panic. “Gak bisa dibiarin. Gue harus bertindak.” Ilan meninggalkan ruangan serta meninggalkan teman-temannya dengan rasa penasaran.

@@@

Pagi hari Nalula yang siap berangkat sekolah dengan mengendarai motornya, dikejutkan dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba duduk di jok belakang motornya. Sontak ia menoleh. Betapa kagetnya Nalula begitu tau orang itu adalah Zagar. Nalula langsung turun dari motornya dan berdiri di samping Zagar yang juga ikut turun dari atas motor.

“Zagar! Kok lo ada di sini?” Nalula mengawasi kehadiran temannya, mulai dari ujung rambut hingga kaki. “Turnamen kan udah deket, apa lo…”
       
“Gak usah banyak Tanya.” Zagar menyambar kata-kata Nalula dengan tatapan penuh kecewa. “Ambilin helm buat gue.”

Tanpa komentar apa-apa degan sikap Zagar yang sangat aneh, Nalula menuruti. Zagar yang mengendarai motor Nalula, membawanya ke sekolah. Selama perjalanan, mereka saling diam. Ia menurunkan Nalula di sana. “Motor gue bawa.” Katanya sambil meraih helm yang disodorkan Nalula. “Pulang sekolah, lo gue jemput lagi.” Tanpa menunggu respon Nalula, Zagar pergi meninggalkan Nalula di depan pintu gerbang.

Tak sengaja, Nalula melihat Ilan keluar dari kelasnya. Ia pun sadar kalau Ilan pun pasti melihatnya, namun Ilan mungkin sengaja memilih jalan yang berlawanan dengan posisi Nalula berdiri sekarang. Ia sempat meneriakkan nama Ilan, namun Ilan semakin jauh melangkah. Nalula sangat kepikiran dengan sikap Zagar yang tiba-tiba aneh. Dan apa yang terjadi pada Ilan pun semakin meyakinkannya bahwa Ilan yang telah membeberkan sesuatu pada Zagar. Dan pasti semua ada hubungannya dengan ‘rencana’ anak-anak Dipokar. Tapi yang belum ia temukan jawabannya adalah, kenapa Zagar rela menuruti mereka dan bersikap gak adil kepadanya.
Saat pulang sekolah adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nalula. Begitu keluar gerbang, Zagar telah menunggunya di seberang jalan.
Begitu Nalula dihadapannya, Zagar tanpa basa-basi menyodorkan sebuah helm pada Nalula.
“Lo mau bawa gue kemana?” Tanya Nalula begitu ia telah duduk di jok belakang motornya. Tapi Zagar tak menjawab.
Kini Zagar memarkirkan motor di pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan. Sampai detik ini yang masih terjadi antara mereka berdua adalah saling diam. Zagar tak berujar, dan Nalula pun tak akan mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya saja Nalula masih setia mengikuti kemana arah langkah Zagar. Lama-kelamaan Nalula malah kesal dengan sikap Zagar yang seolah melangkah tanpa arah. Ia memilih berhenti.
Seolah bisa merasakannya, Zagar pun ikut berhenti. Ia berbalik dan menghampiri Nalula. Tanpa sabar, Zagar langsung menarik tangan Nalula hingga sampai di sebuah café yang saat itu suasananya cukup sepi. Mereka memilih tempat sedikit lebih dalam. Memungkinkan semua yang akan mereka bicarakan tidak terlalu banyak mendapat respon dari pengunjung café yang lain.
“Lo belom jawab pertanyaan gue.” Nalula memulai sesaat setelah Zagar memesan minuman pada pelayan yang ada.
“Yang mana?” balas Zagar cuek.
“Kenapa lo tiba-tiba muncul di sini?”
“Itu gak penting.”
“Tapi kan turnamen…” Nalula menggantungkan kata-katanya setelah Zagar menyelak.
“Peduli apa lo sama turnamen?” Suara Zagar masih terdengar kesal. Entah apa yang membuatnya kecewa dengan Nalula.
Mata Nalula melebar. Jelas, ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan Zagar. “Maksudnya?”
“Gue tau semua yang udah terjadi.” Kata Zagar. “Kenapa lo tolak semua tawaran anak-anak yang minta lo jadi asistennya Kharis?”
        Ternyata benar. Semua berita pasti dari Ilan. Nalula berfikir seperti itu. Ia berusaha tak kontak langsung dengan mata Zagar.
“Lo pikir lo hebat?”
Nalula terkejut dengan tuduhan Zagar.
“Lo pikir, masalah udah selesai? Setelah lo berhasil bawa Diaz ke klub jadi asistennya Kharis.” Lanjut Zagar. “Nggak, Nal.” Zagar memberi jeda pada kata-katanya. “Apa gak terlintas di benak lo? Brian masih menyimpan dendam ke lo. Ia bisa kapan aja muncul dan ngancurin semuanya. Lo sadar kan di sana ada sodara lo? Diaz dan Kharis. Apa lo rela mereka yang nanggung semua yang seharusnya terjadi pada lo?” ujarnya. “Rela lo, Nal?” kali ini Zagar terdengar lebih tegas.
Nalula tak berkutik dan tertekan dengan emosi Zagar.
“Yang gue pikirin tuh Cuma lo, Nal.” Suara Zagar terdengar lebih sabar. “Gue gak mau Brian bersikap seenaknya ke lo.”
“Gue gak peduli sama Brian!” Nalula menantang.
“Baguslah kalo gitu.” Pelayan datang membawa pesanan mereka. Zagar menahan ucapannya hingga pelayan itu pergi. “Tapi lo masih peduli sama gue kan?” Zagar seolah memohon.
“Plis jangan bersikap kayak gitu.”
“Terus apa yang lo mau?” Zagar kembai menantang. Nalula tak bisa menjawab. “Gue bersumpah, Nal. Lo gak akan liat gue selama turnamen, kalo lo juga gak berada di sana.”
Mata Nalula melebar. Ancaman yang berhasil diluncurkan Zagar. “Lo gak bisa bersikap kayak gitu.”
“Kenapa gak bisa?” Zagar menuntut penjelasan. “Gue tau itu bukan alasan utama lo nolak tawaran mereka.”
Nalula meyandarkan badannya ke kursi. Dan bukan Nalula namanya kalo langsung terlihat kalah. “Apa yang lo tau tentang alasan terbesar gue?”
“Kharis.” Tebak Zagar.
Nalula langsung bersikap waspada.
“Gue rasa lo jatuh cinta sama Kharis. Gak peduli kayak apa perasaan lo ke Dewa.”
Nalula tersenyum. “Kalo ternyata itu benar?”
“Hah?” Zagar tak mempersiapkan jawaban apapun. “Patah hati deh gue.”
Alis Nalula seperti terangkat.
“Tapi gue gak peduli apapun alasan lo. Karena yang gue mau, lo jangan ngibarin bendera putih ke hadapan Brian.”
Mendengar Zagar menyebutkan bendera putih, Nalula seolah mengkhayal sesuatu. Zagar mencurigai sikap Nalula. “Tau gak sih, gue jadi inget film ‘Merah Putih II’. Adegan di atas gedung ‘Lawang sewu’. Pas Dony Alamsyah (pemeran Thomas) ngerobek warna biru pada bendera Belanda.”

“Untung aja yang warna merah gak ikutan dirobek, jadi gak tersisa bendera putih. Itu kan maksud lo?”
Nalula hanya tersenyum menanggapi tebakan Zagar.
“Intinya, inget sama semua ancaman gue.” Zagar membuat senyum Nalula kembali memudar. “Gue serius, Nal.” Nalula sangat tak antusias menanggapinya. “Gue gak mau perjuangan gue, lo dan Ilan sia-sia.”
“Tapi kenapa lo tiba-tiba muncul di sini? Gue yakin semata-mata bukan hanya karena cerita dari Ilan tentang gue.” Nalula mengalihkan pembicaraan.
“Gue bakal cerita, asal lo mau janji.”
“Janji buat nerima tawaran Ilan dan kawan-kawan?” Nalula mengulangi. “Itu maksud lo?” Zagar malah mengangguk walau tak terlihat serius. Nalula menghela napas. “Gimana ceritanya, Gar? Gue harus mohon-mohon gitu? ‘Ilan, gue mau kok jadi asistennya Kharis, kemaren gue Cuma bercanda. Pliss, masukin gue lagi di kepengurusan klub’.” Nalula mencontohkan dengan berpura-pura seolah ia akan berbicara seperti itu ke Ilan. “Gitu?”
Zagar malah tertawa. “Iya, Nal. Lo bilang kayak gitu aja.”
Nalula menjadi jengkel dibuatnya. “Gak lucu ZAGAR PAMUNGKAS.”
Zagar langsung diem. Tak ada tawa yang tersisa. “Yang bilang itu lucu siapa, NALULA AIRLANGGA?” balas Zagar. Kecuali lo janji. Atau ancaman gue berlaku.”
“Apa untungnya ancaman lo buat gue?”
“Pasti ada untungnya lah. Seenggaknya gue gak bakal bersikap gila dengan nekat ngebantu Brian ngebalesin dendamnya ke lo.”
“Lo gak bakal berani ngelakuin itu.”
Zagar menghabiskan sisa minumannya. “Kata siapa?” lalu merebut gelas yang masih terisi penuh di depan Nalula.
“Eh, itu kan punya gue?”
“Kata siapa?”
Nalula hanya menghela napas dan pasrah menyaksikan minumannya mengalir ke dalam mulut Zagar. Rasanya percuma menghalangi niat Zagar.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar