Jumat, 18 Oktober 2013

FC LOVE (chapter 2)



Author              : Annisa Pamungkas
Main Cast          :
·        B2ST/Beast Lee Gikwang
·        Infinite Lee Howon (Hoya)
·        SNSD Im Yoona
Support cast     :
·        Other member B2ST/Beast
·        Other member Infinite
·        Yong Hwa CN Blue
·        Siwan Ze:a
·        Jonghyun, Minho Shinee
Genre               : romance, family
Length              : chapter

***

        “Dari mana lo dapet sepatu ini?” Howon mengulangi pertanyaannya. Kali ini sedikit lebih pelan, namun ia mengatakannya dengan penuh penekanan dalam tiap katanya.
        Chunji menarik-narik kaos kakaknya yang sudah mulai sedikit takut karena Howon sama sekali tidak mengubah tatapannya. Sementara itu, Siwan hanya melirik sesaat dan mengangguk sebagai tanda bahwa ia bisa mengatasi Howon.
        “Apa lo bener-bener mau denger penjelasan gue?” Siwan mengajukan penawaran terlebih dahulu karena ia meyakini bahwa pemuda di hadapannya kini adalah seseorang yang tau bahkan mungkin pemilik sebenarnya sepatu pemberian Yoona tadi.
        “Apa ada ibu-ibu yang bilang kalau dia mau membuang sepatu ini, lalu tanpa sengaja kalian bertemu dan akhirnya ibu itu justru lebih memilih untuk memberikannya ke lo?” cecar Howon.
        Siwan sampai mengerutkan keningnya karena terlalu bingung dengan cerita Howon tadi. “Yang ngasih sepatu itu temen gue. Dia emang bilang kalo sepatu itu sebelumnya di buang. Tapi sumpah gue nggak tau siapa yang ngebuangnya.”
        Lagi-lagi perasaan Howon mencelos. Ibunya benar-benar membuktikan ucapannya dengan membuang sepatu sepakbola miliknya.
        “Apa itu milik lo?” Tanya Siwan, namun Howon tak menjawab. “Kalo emang iya, lo boleh kok ambil lagi sepatunya. Dan maaf kalo udah sempet gue pake tadi.”
        “Nggak usah,” sambar Howon cepat-cepat sambil mengembalikan sepatu yang tadi ada di tangannya pada Siwan. “Maaf, bukannya apa. Tapi gue udah nggak bisa milikin sepatu itu lagi. Dan kalo lo mau, lo bisa pake kok sampe kapanpun. Tapi kalo boleh, gue mau minta satu permintaan ke lo.”
        “Apa?” seru Siwan tanpa pikir panjang. Biar bagaimanapun, Howon adalah pemilik sebenarnya dari sepatu itu.
        “Gue Cuma mau tau aja siapa yang ngasih sepatu itu ke lo.”

***

        Malam itu, Gikwang tengah duduk sendiri di kursi panjang dekat kolam renang pribadinya di rumah. Ia menyandarkan punggungnya di sana sambil menatap langit-langit malam. Ia juga tak pernah tertinggal dengan earphone yang menutup telinganya.
        Meski tengah mendengarkan lagu, tapi pikirannya tidak menikmati apa yang didengarkan telinganya. Tatapan Gikwang yang kosong mengingatkan kembali pada kenangan-kenangan yang terjadi di tempat itu, atau di rumah itu lebih tepatnya.
        Bertahun-tahun ia tinggal di sana, sejak ia kecil. Kebersamaan dengan ayahnya, atau dengan teman-temannya seperti Yong Hwa, Jonghyun, Sunggyu dan yang lainnya. Namun ada satu hal yang tidak bisa di kenang oleh seorang Gikwang. Yaitu kehadiran sesosok wanita yang bisa ia panggil dengan sebutan ‘ibu’.
        “Kenapa di luar? Udara di sini sangat dingin, nak!”
        Gikwang tersentak, bukan karena mendengar suara seseorang, melainkan sebuah tangan yang mengusap rambutnya dengan hangat. Saat menoleh, ia menemukan ayahnya sudah duduk di sana, di sampingnya sambil tersenyum. Meski hidup tanpa ibu, Gikwang tetap bersyukur karena masih memiliki ayah yang selalu ada di saat ia membutuhkannya.
        “Jangan melihat seperti itu. Papa tau kalau papa sangat tampan. Sampai-sampai kamu belum jawab pertanyaan papa.”
        Gikwang membulatkan matanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir ayahnya. Sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Kenapa papa jadi narsis gitu, sih? Pantesan aku juga sering gitu,” ujarnya sambil memegangi perut yang terasa sakit karena menertawai ayahnya.
        “Setidaknya ayah bukan playboy sepertimu,” sindir tuan Sungmin hingga sukses membuat putranya bungkam.
        “Akh, papa curang. Kalau mau adu ganteng tuh jangan pake ngatain anaknya playboy, donk!” protes Gikwang tak terima sambil membaringkan kepalanya di paha Sungmin.
        “Kamu kayak anak kecil aja deh?” goda Sungmin perihal kelakuan Gikwang.
        “Kalo emang menurut papa aku udah bukan anak kecil lagi, berarti aku boleh donk tau masalah-masalah yang papa lagi alamin sekarang ini,” ujar Gikwang dengan nada polos seolah itu benar-benar tanpa tujuan. Tapi di balik itu semua, Gikwang mengawasi perubahan raut wajah ayahnya. Tentu saja sebenarnya ia sudah tau jawaban dari permintaannya itu, namun ia ingin ayahnya yang lebih dulu menceritakan itu padanya.
        Sungmin menghela napasnya dengan keras hingga membuat Gikwang memutuskan untuk bangkit lalu menatap ayahnya, sendu. Sungmin sendiri tidak sanggup menatap balik ke mata anaknya itu.
        “Pa, maaf kalau aku lancang. Tapi aku udah tau apa yang lagi papa alami saat ini,” seru Gikwang akhirnya yang sudah tidak sabar jika menunggu sampai ayahnya yang berbicara duluan.
        “Gapapa,” kata Sungmin yang sudah meletakkan ke dua tangannya di pundak Gikwang. “Tapi memang tidak seharusnya kamu tau tentang ini.”
        Gikwang berdiri sambil cemberut. Pura-pura cemberut lebih tepatnya. “Kalo papa nggak nurutin permintaan aku, mending aku jadi anaknya om Changmin aja. Tinggal sama mereka juga sekalian,” ancam Gikwang yang sesekali juga mencuri-curi pandang pada Sungmin. Ia nyaris terkekeh melihat raut keterkejutan dari ayahnya.
        “Apapun yang kamu mau, papa pasti akan usahain buat memberikannya. Memangnya apa yang kamu mau?” Tanya Sungmin yang sudah sangat takut jika Gikwang benar-benar meluruskan ancamannya.
        Gikwang masih mempertahankan sikap acuhnya. “Jual rumah ini. Kita pindah ke rumah yang lebih kecil.”
        “Nggak bisa…”
        Gikwang menatap Sungmin, berusaha memberikan pengertian pada ayahnya dengan alasan-alasan yang logis. “Rumah kita terlalu besar untuk kita tempatin berdua. Kita juga sering nggak di rumah. Paling kalo udah malem aja, dan itu juga cuma buat tidur.”
        “Tapi bagaimana dengan…”
        “Papa ngeraguin apa lagi, sih?” protes Gikwang yang bahkan sudah menyelak ucapan ayahnya. “Masalah temen?”
        Sungmin memegang pundak anaknya. “Papa Cuma takut kamu nggak terbiasa dengan suasana di rumah baru nanti.”
        Gikwang menghela napas. Bukan untuk mengalah. Tapi hanya untuk menenangkan diri sekaligus berpikir dengan cepat agar Sungmin mau mempertimbangkan permintaan, atau lebih tepatnya ancaman dari Gikwang. “Ini sifatnya hanya sementara. Kalau keuangan perusahaan udah stabil lagi, papa bisa kembali nyicil untuk ngebeli rumah yang menurut papa layak untuk kita.”

***

        “Kok kamu nggak siap-siap?”
        Yoona tak melirik Doojoon. Ia tetap berusaha focus dengan tayangan televisi di depannya. “Apaan sih?” Yoona semakin menenggelamkan punggungnya ke sandaran sofa sambil memeluk bantal.
        Doojoon berdiri tepat di depan Yoona hingga menghalangi pandangan adiknya ke layar tivi sambil meletakkan ke dua tangannya di pinggang. “Lupa, sama janji gue tadi sore? Siwan udah nunggu tuh, ayo donk Yoon.” Doojoon berusaha merayu Yoona.
        Yoona hanya berdecak kesal. “Kalo mau ngerayu gue jangan pake jual nama bang Siwan segala, kek! Lagian juga, gue udah nggak marah kok sama lo.” Bilangnya nggak marah, tapi Yoona sama sekali nggak menatap Doojoon saat bicara.
        “Pokoknya gue tunggu di depan!” kata Doojoon yang terdengar setengah memaksa dan terkesan nggak mau tau, setelah itu ia meninggalkan Yoona.
        Yoona sendiri tak merubah posisinya yang masih tajam menatap layar tivi di depannya. Atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan Doojoon. Terutama ketika cowok tadi menyinggung nama ‘Siwan’.
        Tangan kanan Yoona meraba sofa kosong di sampingnya. Ia tadi meletakkan ponselnya di sana. Setelah mengirim sebuah pesan pada seseorang, Yoona menyeret kakinya untuk masuk ke kamar.

***

        Sementara itu di depan pagar sebuah rumah mewah, tampak Gikwang berdiri di sana. Tidak lupa, ia selalu menutup telinganya dengan sebuah earphone. Gikwang menatap jalanan yang membentang di hadapannya. Sesekali ia melambaikan tangan pada beberapa orang yang kebetulan lewat sambil menyapanya.
        Tak lama berhenti sebuah motor sport berwarna hitam, tepat di hadapan Gikwang. Gikwang memperhatikan gerak-gerik orang itu yang tiba-tiba sibuk dengan ponselnya.

Myung, culik gue donk di café ‘Destiny’.. setengah jam lagi gue nyampe sana.. plisss ya.. –YOONA-

        “Myungsoo?” tebak Gikwang setelah memperhatikan beberapa ciri orang tersebut yang sama persis seperti milik Myungsoo yang ia kenal.
        “Eh, bang Gikwang?” orang itu justru terkejut dengan suara pelan Gikwang dan langsung melepaskan helmnya.
        Gikwang menggeleng pelan. “Kenapa sih?”
        “Nggak ada kok,” kata cowok itu yang ternyata benar-benar Myungsoo. Buru-buru Myungsoo mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana.
        “Dari mana, lo?” Tanya Gikwang karena nggak biasanya Myungsoo lewat sana. “Nggak jalan sama pacar?” ledeknya kemudian.
        Myungsoo langsung pasang tampang murung. “Gue nggak punya pacar, bang,” ujar Myungsoo dengan nada malas. Seolah itu adalah pertanyaan yang paling ia hindarin. “Nah, lo sendiri ngapain di depan rumah? Bang Sunggyu sama bang Yong Hwa aja lagi pada ngapel. Apa justru lo yang lagi nunggu di apelin cewek, ya?” balas Myungsoo.
        “Bisa aja, lo.” Gikwang terkekeh mendengarnya. “Eh, lo dari mana?” Gikwang mengulangi pertanyaannya yang tadi belum sempat terjawab.
        “Oh, ini. Gue abis kerja kelompok,” jawab Myungsoo dengan tidak semangat.
        “Rumah Naeun, ya?” tebak Gikwang karena kebetulan, tetangganya yang sekelas dengan Myungsoo hanya cewek bernama Naeun itu. Dan analisisnya cukup tepat. Namun Myungsoo tak terlalu merespon dengan antusias. “Kok malem minggu gini sih ngambil waktunya?”
        Myungsoo menghela napas. Sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan tadi. “Gitu deh, bang. Oiya, maap banget nih ya, gue nggak bisa nemenin. Temen gue tadi sms, nyuruh gue nemuin dia.”
        “Cewek apa cowok Myung temennya?” Tanya Gikwang seolah penuh minat.
        “Cewek. Kenapa? Mau minta gue kenalin? Cieee… udah move on, nih?” goda Myungsoo.
        “Hahaha…” Gikwang tertawa. “Kalo cakep, boleh tuh,” candanya.
        “Tapi si dia nih yang belom move on kayaknya,” kata Myungsoo yang langsung membuat Gikwang kehilangan sedikit semangatnya. “Nyantai aja, bang. Nanti juga lo bakal nemu kok cewek yang bisa gantiin mbak Taeyeon di hati lo.”
        “Kebanyakan maen sama Sunggyu nih lo, Myung!”
        “Lha, bang Sunggyu kan kakak gue. Ya udah deh, lain waktu kita ngobrol lagi. Gue balik ya,” pamit Myungsoo yang tak lama meninggalkan Gikwang yang kembali sendiri seperti beberapa saat yang lalu.
        Gikwang sendiri hendak kembali ke dalam rumah. Tepat ketika sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.

Kwang, bisa ketemu nggak? Gue udah di jalan ke arah rumah lo.. dan setelah itu anggep aja jadwal kencan kita nanti di batalin. –Hara-

        Baru saja Gikwang akan membalas pesan tadi, sebuah mobil sudah berhenti tepat di depan rumahnya. Seorang cewek muncul dan langsung menghampiri Gikwang.
        “Hara?” seru Gikwang sambil bergegas ke depan pagar. “Baru aja gue mau bales sms dari lo.”
        “Gue nggak ganggu, kan?” cewek bernama Hara itu justru balas bertanya.
        “Nggak kok. Ada yang mau lo omongin atau sekalian kita jalan ke luar?” tawar Gikwang karena itu sama saja ia ingin menepati janji pada cewek yang sudah mengantri untuk bisa menjadi teman kencannya.
        Hara buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Kwang. Di sini aja. Gue juga nggak lama kok.” Setelah Hara selesai bicara, mereka cukup lama saling diam.
        “Kalo emang nggak mau jalan sama gue, kenapa lo justru…”
        “Tentang Junhyung,” sambar Hara sebelum Gikwang menyelesaikan kalimatnya.
        Gikwang mengerutkan dahi. “Kenapa tiba-tiba lo nanyain Junhyung ke gue? Padahal lo bisa aja Tanya melalui Hyunseung. Mereka teman sekelas.”
        Hara mengangkat bahu. Bingung sebenarnya dengan apa yang ia lakukan saat ini di rumah Gikwang. “Emang lo nggak deket ya sama Junhyung?”
        Gikwang tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sambil sesekali melirik Hara. Cewek itu tampak sangat mengharapkan sesuatu dari Gikwang. “Gitu deh,” kata Gikwang nggak yakin. “Gue deket sama dia Cuma kalo latihan bola aja di sekolah. Di luar itu, ya biasa aja. Nggak deket-deket banget,” jawabnya jujur.
        Hara kembali diam.
        “Gini deh, Ra. Lo omongin aja apa yang pengen lo omongin tentang Junhyung. Gue pasti bakal dengerin kok.”
        Hara menunduk dalam-dalam. Ia bahkan sampai meremas ke dua tangannya. “Sebenernya, udah lama gue suka sama Junhyung.”
        Sebenarnya Gikwang cukup terkejut dengan apa yang didengarnya tadi. Namun ia berusaha menyembunyikannya dari Hara.
        “Rencananya, setelah lulus nanti gue mau pindah ke luar kota. Dan kalo semisal perasaan gue ini belum sampai diketahuin sama Junhyung, gue harap lo mau nyampein itu ke Junhyung.”
        Gikwang menghela napas pelan. Lega rasanya karena permintaan Hara ternyata nggak seberat apa yang ia pikirin. “Ada lagi?” Tanya Gikwang antusias. Ia menjadi cukup bersemangat. Apalagi jika nanti ia benar-benar menjalankan amanat dari Hara.
        Hara menggeleng. Sangat kontras dengan semangat yang di tunjukkan Gikwang. “Hanya saja, jangan sampai ada orang lain lagi yang tau selain kita.”
        “Tenang aja,” seru Gikwang santai. “Lo sibuk nggak nih? Gimana kalo kita jalan?” ajakan Gikwang seperti itu membuat Hara menatapnya dan dengan isyarat mengingatkan bahwa ia telah membatalkan kencan mereka. “Cuma jalan doank, kok, bukan kencan,” ujarnya yang telah menangkap maksud Hara. “Dan kalo perlu kita bawa kendaraan sendiri-sendiri aja. Anggap aja Cuma jalan-jalan biasa layaknya temen.”
        “Di dekat café ‘Destiny’ ada lapangan. Dan biasanya ramai kalo malam minggu seperti ini. Bagaimana kalau kita ke sana?”
        Gikwang mengangguk setuju.

***

        Yoona tampak duduk sendiri di sebuah halte biasa. Ia juga telah menghubungi Myungsoo dan mengatakan bahwa ia menunggunya di sana. Dan benar saja, tak lama tampak sebuah motor sport berhenti tepat di depan cewek itu.
        “Lo kenapa sih?” cecar Myungsoo setelah membuka kaca helmnya.
        “Bang Doojoon ngajak gue makan. Ternyata dia ngajak ceweknya dan bang Siwan juga,” jelas Yoona.
        “Lho? Kok lo malah kabur sih? Bukannya malah seneng bisa makan bareng bang Siwan juga? Aneh deh lo,” komentar Myungsoo yang menangkap sedikit kejanggalan pada Yoona malam ini.
        Raut wajah Yoona berubah murung. “Patah hati gue, Myung.”
        Myungsoo sedikit menegakkan badannya. Cukup terkejut dengan pengakuan Yoona. “Kok sama?” serunya dalam hati. “Kok bisa?” pertanyaan yang terlontar berbeda, padahal Myungsoo juga yang ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa ia juga tengah merasakan hal yang sama saat itu.
        Yoona menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Myungsoo. “Ternyata bang Siwan udah punya cewek. Tadi juga dia ajak tuh ceweknya.”
        Myungsoo menggenggam salah satu tangan Yoona sebagai ungkapan rasa simpatiknya. Namun cewek itu tak terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Myungsoo karena ia benar-benar hanya menganggap Myungsoo sebagai temen aja.
        “Yaudah, kita jalan aja yuk,” ajak Myungsoo seolah ingin membantu mengalihkan pikiran Yoona dari Siwan.
        “Kemana?” Yoona tak langsung mendapatkan jawaban dari Myungsoo. “Jangan bilang lo ngajakin gue ke lapangan sana ngajakin buat nonton anak-anak main bola?” kata Yoona dengan nada tinggi seolah bisa menebak isi kepala Myungsoo. Ia juga sempat menunjuk ragu ke salah satu arah.
        “Udah deh, seenggaknya kan lo nontonnya sama gue. Nggak akan gue tinggalin kok. Bener deh.” Myungsoo langsung mengumbar janji karena ia tau bahwa Yoona tidak terlalu menyukai sepakbola.
Karena sepakbola itulah Yoona harus hidup terpisah dari kedua orang tuanya. Termasuk kakaknya, Doojoon, yang juga selalu sibuk dengan kegiatannya bermain sepakbola.
        Yoona menatap wajah Myungsoo penuh selidik. Kali ini ia yang menemukan kejanggalan pada diri Myungsoo. Seakan ada sesuatu yang ditutup-tutupi oleh cowok itu. “Patah hati juga, ya?” Tanya Yoona langsung ke inti masalah yang ia curigai dan sukses membuat Myungsoo membeku.

***

        Di sebuah lapangan futsal yang sudah ramai, terlebih sedang berjalan sebuah pertandingan, tampak Gikwang bersama Hara berdiri di luar pagar dan menyaksikan pertandingan itu. Gikwang yang juga mengerti sepakbola juga futsal, tampak tak melepas tatapan pada salah seorang pemain yang bertubuh cukup tinggi dan saat itu tengah mengenakan kaos berwarna putih dengan nomor punggung 11.
        Gikwang sempat melirik sesaat pada cowok di sampingnya yang juga tengah serius menyaksikan jalannya pertandingan. “Yang pake nomor 11 itu siapa? Mainnya bagus.”
        Cowok yang diajak bicara oleh Gikwang itu sebenarnya adalah Sungyeol, tapi saat itu mereka belum saling kenal. “Namanya Choi Minho. Dari SMA Sun Moon. Padahal dia baru kelas 1 SMA loh.”
        Di sisi lain, Hara menarik-menarik ujung jaket olahraga milik Gikwang. “Kwang, itu kayak anak dari SMA kita,” tunjuknya pada salah satu pemain yang menjadi lawan dari tim tempat Minho berasal.
        “Lah, iya. Itu kan si Dongwoo,” seru Gikwang saat menyadari bahwa cowok yang ditunjuk Hara adalah salah satu anggotanya di klub sepakbola sekolah.
        Di saat yang bersamaan, Dongwoo ternyata menyadari keberadaan Gikwang. Iapun segera menghampiri cowok yang juga kakak kelasnya di sekolah itu. “Bang, ikut main, yuk. Temen gue gak bisa lanjut tuh. Gantiin dia,” kata Dongwoo sambil salah satu temannya yang sedikit tergeletak di tepi lapangan. “Lo liat yang pake baju nomor 11 itu, kan? SMA dia bakal jadi lawan kita di kompetisi antar SMA nanti,” bisik Dongwoo seolah tengah berusaha mempengaruhi Gikwang.
        “Udah sana main,” goda Hara sambil menyenggol lengan Gikwang.
        “Eh, lo lagi kencan ya, bang?” Tanya Dongwoo gugup karena ia baru menyadari bahwa Gikwang tidak sedang sendiri. Ia menjadi sedikit merasa bersalah pada Hara.
        “Nggak, kok.” Hara menjawab pertanyaan Dongwoo bahkan sebelum Gikwang sempat merespon. “Udah sana cepet. Nanti gue beliin minum buat lo,” ujar Hara penuh semangat. Bahkan ia juga ikut membantu mendorong tubuh Gikwang ke samping karena pintu masuk lapangan ada di ujung sana.

***

        Pertandingan sudah kambali berlanjut ketika Yoona dan Myungsoo baru sampai. Yoona mengambil tempat di samping Hara yang belum ia kenal sebelumnya. Sementara Myungsoo berdiri di sisinya satu lagi.
Di tengah lapangan, sosok Gikwang cukup mencolok. Karena hanya dia yang mengenakan jins dan kaus hitam polos yang cukup membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas. Selain itu permainannya yang bagus membuat orang-orang yang melihatnya langsung berdecak kagum.
Baru saja Myungsoo ingin menikmati jalannya pertandingan, ia harus segera menyingkir dari kerumunan untuk menerima telpon. Ia sempat mengatakan hal tadi, namun tampaknya Yoona sudah terlanjur tenggelam dengan jalannya pertandingan. Tapi lama-kelamaan, bukan pertandingannya yang membuat Yoona sampai tak berkedip, melainkan karena permainan seorang Lee Gikwang yang mempesona. Bahkan kharismanya bisa menandingi Minho yang menjadi bintang di pertandingan tersebut bahkan sebelum Gikwang datang bergabung.
        Salah satu tim meminta time out. Lalu Gikwang memilih menyingkir ke arah berlawanan dengan yang lain. Dan itu membuat Yoona tanpa sadar memegangi dada kirinya yang tiba-tiba berdegup ketika melihat sosok Gikwang semakin mendekat.
        Bukan. Bukan mendekat ke Yoona, melainkan mendekat pada cewek di samping Yoona, yaitu Hara. Cewek itu bahkan sudah menyodorkan sebotol air mineral melalui celah-celah pagar untuk Gikwang.
        Gikwang tersenyum sambil menerima minuman dari tangan Hara lalu berkata, “makasih ya.”
        Mendengar itu, Yoona pura-pura tak peduli. Lagipula, ia memang nggak kenal sama keduanya. Setelah menyadari kembalinya Myungsoo, Yoona langsung menarik tangan cowok itu untuk di ajaknya pergi dari sana.
        “Eh, Yoona kok…” Myungsoo sedikit terkejut namun nggak melanjutkan ucapannya karena menyadari kehadiran Gikwang di sana. Begitu pula Gikwang cukup terkejut mendapati Myungsoo bersama seorang cewek ke sana. Dan mereka hanya bisa saling menunjuk karena Myungsoo sudah terlanjur di bawa Yoona kabur dari sana.

***

        Tak lama setelah pertandingan selesai, Hara berjalan masuk ke dalam lapangan untuk menghampiri Gikwang yang tengah duduk beristirahat bersama Dongwoo.
        “Kwang,” panggil Hara sampai cowok itu menoleh. Tak hanya Gikwang, Dongwoopun ikut melirik ke arah Hara datang.
        “Eh, udah mau pulang? Apa mau duluan?” Tanya Gikwang.
        Hara menggeleng. “Belom pengen pulang sih. Tapi aku mau ke café depan sana. Mau numpang ke toilet sekalian.”
        “Oh, yaudah ayo gue temenin.” Gikwang langsung berdiri.
        Hara buru-buru mengibaskan tangannya sebagai tanda menolak. “Gak usah, lo masih capek kan abis main?”
        “Udah, gapapa. Tadi kan lo udah nemenin gue, sekarang gantian. Ayo gue temenin aja,” kata Gikwang setengah memaksa. Ia hanya ingin membalas perbuatan baik dari Hara. “Gue duluan ya,” pamitnya pada Dongwoo.
        “Oke, bang. Kita lanjutin besok aja obrolan yang tadi.”
        Setelah itu, Gikwang berjalan mengikuti langkah Hara yang sudah lebih dulu menjauh. Tak terlalu lama mereka sampai di sebuah café yang memang letaknya berseberangan dengan lapangan tadi.
        “Gue tunggu sana, ya?” kata Gikwang yang telah menunjuk satu meja yang letaknya cukup dalam dari pintu utama café.
        “Oke,” jawab Hara singkat yang langsung saja melesat ke dalam mencari toilet.
        Sementara Gikwang berjalan ke arah yang berlawanan dengan Hara. Dari salah satu kursi, Gikwang melihat seorang cowok yang berdiri dan meninggalkan seorang cewek yang tadi tengah bersamanya. Untuk sesaat Gikwang membeku. Tepat ketika ia bisa melihat jelas sosok cewek bersama cowok tadi yang ternyata Doojoon itu.
        Cewek itu sepertinya menyadari keberadaan Gikwang. Karena ia langsung mengulas senyum di bibir tipisnya. “Gikwang?” serunya sambil melambai agar Gikwang menyadari keberadaannya.
        “Taeyeon?” terlihat bibir Gikwang bergerak menyebut sebuah nama, namun tanpa suara. Dan tanpa pikir panjang lagi, Gikwang mendekati cewek itu lalu duduk di kursi yang tadi ditinggalkan Doojoon. Ia bahkan tak peduli bahwa tadi cewek itu bersama kekasihnya.
        “Hai, apa kabar? Waktu itu aku main ke sekolah, tapi tidak bisa bertemu denganmu,” kata Taeyeon penuh keceriaan. “Apa jangan-jangan, sekarang kamu udah punya cewek, ya?” Tanya Taeyeon lagi setengah menggoda. Ia belum menyadari perubahan raut wajah Gikwang ketika bertemu dengannya tadi. “Kayaknya sibuk banget.”
        “Aku…” Gikwang tak melanjutkan ucapannya. “Tadi itu pacarmu?”
        “Iya. Namanya Doojoon. Kayaknya kalian udah pernah ketemu. Dia dulu sekolah di SMA Sun Moon.”
        Deg. Gikwang menghela napas untuk mengatur irama jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. “Ah, iya. Dia memang pantas untuk mendepatkanmu,” ujar Gikwang membuat Taeyeon tersenyum malu. “Boleh aku mengatakan sesuatu? Aku tau ini udah telat banget. Tapi aku bener-bener…”
        “Ngomong aja, Kwang.” Taeyeon merespon santai.

***

        Yoona yang sedang memanggang roti di dapur, harus meninggalkan kegiatannya sebentar karena ada seseorang yang menekan bel rumahnya. Yoona bergegas ke luar untuk menemui tamu itu. Ia juga sempat melirik jam yang bertengger di ruang tamu saat ia melintas. Dan saat itu masih menunjukkan pukul 8 pagi.
        Saat membuka pintu, Yoona menemukan seorang cowok yang sudah berdiri di sana. “Bang Doojoon lagi latihan bola. Kalo pulang biasanya jam Sembilan atau setengah sepuluhan,” sela Yoona bahkan sebelum cowok itu memperkenalkan diri apalagi mengatakan tujuannya datang ke sana. Ia hanya menebak bahwa cowok itu adalah teman kakaknya. Karena ia sendiri merasa tidak mengenal cowok yang datang itu.
        Sementara itu, cowok tersebut hanya tercengang dengan perkataan Yoona. Cowok yang ternyata Howon itu segera menyadarkan pikirannya sendiri. “Gue ke sini bukan nyari Doojoon,” jelasnya.
        Yoona mengerutkan dahinya, bingung. “Terus? Lo nggak mungkin nyari bokap gue, kan? Apalagi nyokap.”
        “Gue nyari cewek yang namanya Yoona.”
        Mendengar namanya di sebut, Yoona langsung membeku sesaat. “Nya… nyari gue?” ujar Yoona gugup saat mengulangi perkataan Howon. “A… ada apa?” entah kenapa perasaannya tiba-tiba tak enak.
        Howon menatap Yoona dari atas ke bawah. “Gue Cuma mau bilang. Kalo sepatu warna ungu yang lo dapet dari ibu-ibu yang katanya ngebuang sepatu itu adalah milik gue.”
        “Oh…” kata Yoona pendek sambil mengangguk kecil.
        “Dan lo, harus bertanggung jawab.”
        “Hah!” pekik Yoona membuat Howon harus sedikit menjauhkan wajahnya karena suara Yoona yang cukup nyaring itu. “Tanggung jawab gimana maksud lo?” Tanya Yoona sedikit panic. “Lagian, dari mana lo tau rumah dan cewek yang dikasih sepatu sama ibu lo itu?”
        “Intinya, gue tau karena kemaren gue ketemu sama cowok yang lo kasih sepatu itu. Dan gue juga minta pertanggung jawaban dari lo.”
        “Jadi lo ketemu sama bang Siwan? Ya udah kalo emang lo mau sepatu lo balik, biar nanti gue yang minta lagi sama bang Siwannya.” Yoona sudah hampir meninggalkan rumahnya jika tidak lebih dulu di tahan oleh Howon.
        “Sepatu itu kan udah lo kasih ke orang. Ya kali gitu mau lo minta lagi. Nggak usahlah. Lagian, emang bukan itu pertanggung jawaban yang gue minta dari lo,” kata Howon panjang lebar sambil melirik jahil pada Yoona.
        Yoona memundurkan badannya selangkah untuk memperbesar jarak antara dirinya dengan Howon. “Apa?” tanyanya galak namun dengan tatapan waspada.
        Howon hanya terkekeh melihat reaksi Yoona. “Nanti aja gue kasih tau,” ujarnya santai lalu berbalik dan berniat meninggalkan rumah Yoona.
        Yoona sendiri hanya mengarahkan kepalan tangannya dengan kesal pada Howon yang bahkan sudah menghilang di luar pagar. Setelah itu Yoona kembali ke dalam rumah masih dengan perasaan kesalnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar