Senin, 07 Oktober 2013

FC LOVE (chapter 1)


Author              : Annisa Pamungkas
Main Cast          :
·        B2ST/Beast Lee Gikwang
·        Infinite Lee Howon (Hoya)
·        SNSD Im Yoona
Support cast     :
·        Other member B2ST/Beast
·        Other member Infinite
·        Yong Hwa CN Blue
·        Siwan Ze:a
·        Jonghyun, Minho Shinee
Genre               : romance, family
Length              : chapter

***

        “Kwang,” panggil seorang cowok tampan yang memiliki mata agak sipit pada cowok di hadapannya.
        “Hmm…” cowok yang di maksud hanya menjawab seadanya. Ia sibuk mendengarkan music melalui ponselnya sambil bersandar di badan mobil, namun ia tetap bisa merespon ketika temannya mengajak bicara. Karena ini udah pulang sekolah, pakaian cowok itu juga udah seenaknya. Ia menyampirkan blazernya di tangan. Sedangkan kancing kemejanya udah ia buka dua lobang hingga dasinya juga sudah tidak beraturan.
        Cowok bermata sipit tadi mengedarkan pandangannya ke sekitar area parkir SMA mereka. “Jonghyun sama Yong Hwa ke mana sih?”
        “Lo aja nggak tau, apalagi gue!” jawab Gikwang asal.
        Tak lama, ada dua cowok yang bergabung dengan mereka.
        “Lo berdua dari mana aja, sih?” protes si cowok sipit yang udah tidak sabar menunggu kedatangan dua temannya itu.
        “Yaelah, kayak gak tau kelakuan temen lo aja tuh, si Gikwang!” seru salah satu cowok yang berdiri di dekat cowok bermata sipit.
        Cowok bernama Gikwang yang sedang dibicarakan itu tampak tak mempedulikan apapun. Ia tetap asik dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya, salah satu dari mereka, mencabut paksa kabel earphone dari telinga Gikwang. “Apaan sih, Jong!” protesnya tak terima.
        “Chorong daftar buat jadi temen kencan lo,” kata Jonghyun yak tak terlalu peduli dengan tatapan horror dari Gikwang.
        “Yaudah tulis aja,” putus Gikwang dengan santainya sambil memasang kembali earphone-nya. “Siapa yang megang agenda gue?” tanyanya pada siapa saja yang ada di sana, namun tidak sambil menatap.
        “Tuh, di Sunggyu.” Jonghyun menunjuk cowok bermata sipit itu.
        Si cowok sipit bernama Sunggyu itu segera memeriksa ranselnya lalu mengeluarkan sebuah buku seperti diary. “Chorong anak kelas… Apa?” seru Sunggyu heboh sendiri bahkan sebelum mengakhiri ucapan sebelumnya membuat ke-tiga temannya sampai sedikit terlonjak. “Siapa yang masukin Hayoung ke daftar antrian teman kencannya Gikwang juga?” hardiknya untuk Jonghyun dan Yong Hwa sambil menunjukkan sebuah tulisan nama pada buku yang ia pegang.
        “Tulisannya Yong Hwa tuh,” kata Jonghyun enteng sambil menunjuk cowok di sampingnya. Seolah tak ingin di salahkan.
        Gikwang tampak tak ingin ambil pusing. Sementara Yong Hwa hanya menatap Sunggyu bingung. “Emang kenapa sama si Hayoung?” Tanya Hong Hwa dengan tampang polosnya.
        “Dia tuh gebetan gueee!” jelas Sunggyu tepat di depan wajah Yong Hwa sambil menahan kesal.
        “Lha? Udah ganti? Bukannya Hayoung yang lo suka itu temen sekelas gue ya?”
        Sunggyu melirik Jonghyun dengan tatapan penuh arti. “Jadi, yang pengen kencan sama Gikwang itu Hayoung anak kelas dua, kan?” tanyanya penuh harap dengan wajah berbinar.
        “Hah! Apaan?” diam-diam Gikwang sebenarnya mengawasi apapun yang dilakukan teman-temannya itu. Terutama yang menyangkut tentang dirinya juga. “Hayoung anak kelas dua? Gue kagak mau akh kalo sama ade kelas,” putusnya yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Sunggyu yang sudah berusaha keras membuat matanya sedikit melebar meski masih terlihat sipit.
        “Kwang!” desis Jonghyun sambil mencolek lengan Gikwang. Berusaha menyadarkan temannya itu. Bukan karena tatapan Sunggyu benar-benar seram, tapi lebih karena mereka tidak ingin Sunggyu kehilangan mata sipit yang sudah menjadi cirri khasnya.
        Gikwang langsung tersentak dengan perbuatan Jonghyun. “Yang nggak mau masuk, gue tinggal,” putus Gikwang seorang diri. Cowok itu langsung masuk ke dalam mobil tempat pengemudi.
        Jonghyun sendiri langsung memutari belakang mobil dan masuk ke dalam pintu belakang. Sementara Yong Hwa harus bernasib sial karena Sunggyu menahan tangannya. Seakan ia tak membiarkan Yong Hwa bebas.
        “Apa lagi sih, Gyu?” Tanya Yong Hwa memberanikan diri.
        “Lo duduk di samping Gikwang!” putus Sunggyu secara sepihak karena ia masih kesal dengan dua temannya itu.
Dan dengan terpaksa, Yong Hwa duduk di depan. Lagipula, ia memang tidak sedang memiliki masalah apapun dengan Gikwang.
        “Eh, ntar sore ada rencana ke mana?” Tanya Yong Hwa sambil memasangkan sabuk pengamannya. Gikwang sendiri sudah membawa mobilnya meninggalkan sekolah. Sementara Jonghyun dan Sunggyu yang duduk di kursi belakang, ikut memperhatikan obrolan Yong Hwa dengan Gikwang. “Maen futsal, yuk. Mumpung nggak ada latihan bola,” ajaknya setengah memaksa. Maklumlah, mereka berempat ini adalah pemain inti klub sepakbola sekolah mereka, SMA Paradise.
        “Inget loh, Kwang. Nanti sore jadwalnya lo jalan sama Hara. Kasian dia udah nunggu nyampe hampir sebulan,” Jonghyun sedikit mengintimidasi pikiran Gikwang yang kebetulan tadi belum sempat merespon ucapan Yong Hwa.
        “Duh, gimana ya?” Gikwang yang benar-benar bingung sekarang ini, justru balik bertanya sambil melempar tatapan memohon pada tiga temannya. “Jangan tinggalin gue donk kalo maen bola.”
        “Masalahnya rencana kita tuh dadakan. Jadi biar bagaimanapun, lo harus tetep pentingin nasib cewek-cewek yang ngefans sama lo.”
Gikwang tertegun mendengar ucapan Jonghyun tadi. Dia yang pertama kali mengusulkan jika ada fans yang ingin berkencan dengannya, maka cewek itu harus menunggu giliran. Karena maklum saja, fans Gikwang di sekolah memang banyak banget. Tapi sayangnya, Gikwang hanya menerima kencan dengan teman seangkatannya saja.
        “Gimana nih, Gyu?” Gikwang melirik Sunggyu melalui kaca, sejak tadi cowok itu sibuk dengan ponselnya.
        Meski sibuk sendiri, tapi Sunggyu sangat menyimak obrolan Yong Hwa, Jonghyun dan Gikwang. “Waah, rejeki lo nih mas bro!” seru Sunggyu tiba-tiba, dan langsung menjadi pusat perhatian. “Hara ngebatalin kencan kalian. Katanya di undur aja minggu depan,” jelasnya yang langsung di renspon kegirangan oleh Jonghyun dan Yong Hwa. Termasuk pula Gikwang.
        “Terus, mau ngajak siapa nih buat sparing nanti?” Tanya Gikwang yang sudah terlampau semangat.
        “Yaelah. Otak lo tanding mulu sih! Mentang-mentang sekarang jadi kapten!” protes Yong Hwa yang saat itu merasa sedang berbeda misi dengan Gikwang. “Maen biasa aja. Ajak sepupu lo tuh si Chunji sama bang Siwan.”
        “Bener tuh,” sambung Jonghyun menyetujui saran dari Yong Hwa. “Nanti gue ajak Woohyun sama Dongwoo deh.” Lalu Jonghyun menatap Sunggyu yang duduk di sampingnya. “Lo ajak adek lo juga tuh si Myungsoo sama suruh aja dia ajak temen.”
        Sunggyu mengangguk setuju. “Paling Myungsoo Cuma ngajak Sungjong aja.”
        Gikwang menyodorkan ponselnya pada Yong Hwa. “Ya udah nih. SMS-in Chunji, sekalian lo sewa lapangan.”

***

        “Bang Siwan!” teriak seorang cewek yang sejak sampai di taman itu mendorong sepedanya.
        “Yoona?” balas pemuda tampan itu setelah menoleh.
        Cewek cantik yang sedikit tomboy itu mempercepat dorongan terhadap sepedanya. “Mau ke café ya, bang?” Tanya cewek itu sedikit berbasa-basi. Ia akan selalu gugup jika sudah berhadapan dengan Siwan.
        “Iya,” jawab Siwan. “Kamu sendiri mau ke mana?”
        “Mau ketemu bang Siwan.”
        Siwan menautkan alisnya karena bingung. “Ada apa?” cowok itu tak bisa menahan penasarannya. Di sela-sela rasa penasarannya, Siwan memperhatikan gerak-gerik Yoona yang sibuk melepaskan tali sepatu yang ia ikatkan ke stang sepedanya.
        “Ada orang kaya yang buang sepatu bola,” jelas Yoona enteng. “Buat bang Siwan aja, nih. Lumayan bisa di pake maen bola.” Cewek itu dengan semangatnya menyodorkan sepatu tersebut pada Siwan.
        Dengan sedikit ragu, Siwan menerima benda tersebut yang langsung ia amati secara detail. Kemudian ia melirik cepat ke arah cewek yang masih di hadapannya ini. “Jangan bercanda, Yoon. Siapa yang mau buang sepatu bagus kayak gini? Terus, kenapa nggak kamu kasih kakak kamu aja?”
        “Yaelah, bang.” Yoona memutar bola matanya. Kesal karena sepertinya Siwan tidak terlalu menyimak apa yang ia katakan. “Kan tadi Yoona udah bilang. Ada orang kaya yang buang sepatu,” ulangnya. “Lagian, bang Doojoon baru beli sepatu seminggu lalu.”
        “Oh…” Siwan hanya mengangguk saja. “Eh, ada namanya,” pekik Siwan ketika melihat sebuah tulisan di bagian dalam sepatu. “Hoya? Kamu kenal?”
        Cewek yang di ajak bicara oleh Siwan hanya menggeleng. “Ya udah deh, bang. Yoona balik ya. Kasian bang Doojoon di rumah sendirian,” pamit Yoona buru-buru yang sudah memutar arah sepedanya dan segera melesat meninggalkan Siwan sebelum pemuda itu sempat mengucapkan terima kasih ataupun responnya ketika Yoona berpamitan.

***

“Ibuuu! Kembalikan sepatu bola ku…” rengek seorang pemuda sambil memegangi ujung baju belakang ibunya dan mengikuti ke manapun ibunya melangkah. Bahkan sampai ke dapur seperti sekarang ini.
        “Lepas, Howon!” nyonya Ga In menepiskan tangan Howon dan kini menatap tajam anak laki-lakinya itu. “Ibu tuh capek tau gak sih ngasih tau kamu! Kalo masih mau maen bola, nilai-nilai sekolah kamu juga harus baik. Bukannya malah maen bola terus kerjaannya nggak pernah belajar,” cerocos nyonya Ga In mengomeli anaknya.
        “Tapi kembaliin dulu sepatu bola Hoya…” Howon yang memiliki nama panggilan ‘Hoya’, masih merengek di hadapan ibunya.
        Nyonya Ga In melengos menuju rak piring dan berusaha sedikit mengabaikan keberadaan Howon, namun anaknya itu masih tak lelah untuk membuntuti. “Nggak ada. Sepatunya udah ibu buang!”
        Howon terbelalak mendengar ucapan ibunya. “Yaelah, bu! Masa’ di buang? Tega amat sama anaknya yang ganteng ini!” protesnya tak terima karena sang ibu telah membuang sepatu kesayangannya tanpa ijin.
        “Salah kamu sendiri. Kenapa nggak mau belajar?” nyonya Ga In memberikan tatapan galaknya. Namun bukan Howon jika begitu saja sudah terpengaruh.
        “Kenapa Minho masih boleh maen bola?” kali ini Howon menyudutkan saudara tirinya itu karena tidak mendapat larangan seperti dirinya.
        “Itu karena Minho nggak malas belajar seperti kamu. Nilai-nilainya juga…”
        Howon memutar bola matanya. Malas menanggapi ibunya yang pasti akan selalu membela anak tirinya itu. “Nilai-nilainya juga lebih bagus dari pada kau, Howon…”
        Nyonya Ga In semakin menatap horror anak laki-lakinya itu yang dengan tidak sopannya mengikuti kata-katanya dengan tepat ketika sedang memarahinya tadi. Nyonya Ga In memang hampir selalu mengatakan hal yang sama.
        “Udah, nggak usah di lanjut.” Howon menyelak bahkan sebelum ibunya berbicara sepatah-katapun. “Ibu kalo ngomel nggak kreatif!”
        “Howon!” pekik nyonya Ga In yang udah bener-bener kesal dengan tingkah anaknya yang ajaib itu. “Awas kau!” wanita itu hanya bisa mengancam dari jauh karena kini Howon sudah melesat pergi tanpa ada rasa berdosa.

***

        Jonghyun dan Yong Hwa yang sudah sampai di lapangan futsal, tengah sibuk mempersiapkan diri mereka. Sementara Gikwang, memilih tempat yang sedikit jauh. Ia masih sibuk mendengarkan music. Bahkan ia belum mengganti pakaiannya.
        Tak lama, Sunggyu muncul bersama tiga pemuda lagi yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung membaur dengan Jonghyun dan Yong Hwa. Sementara salah satu dari mereka berjalan menghampiri Gikwang.
        “Sendirian aja, bang?” sapanya yang langsung membuat Gikwang sedikit terkejut.
        “Eh, Myungsoo?” seru Gikwang sambil melepas kabel earphone yang menggantung di telinganya. “Waah… tambah ganteng aja lo. Bisa-bisa gelar ‘pangeran’ gue jatoh ke tangan lo nih kalo gue udah lulus nanti.”
        “Yaelah. Bisa aja lo, bang,” kata Myungsoo agak tersipu. “Lagian juga, gue nggak kayak lo yang mau ngajakin cewek-cewek kencan.”
        Gikwang terkekeh mendengar ucapan Myungsoo yang sedikit banyak menyindir dirinya. Tapi cowok ini nggak mau terlalu ambil pusing. “Buat hiburan aja, Myung. Tapi lo tetep harus jual mahal lah. Jangan mau di ajak yang aneh-aneh.” Gikwang bicara sambil mengganti kaosnya dengan kostum bola.
        Myungsoo tak mau terlalu ambil pusing dengan ucapan Gikwang. “Masih sixpack aja tuh perut. Nggak nambah-nambah perasaan kotaknya,” seru Myungsoo jahil saat tak sengaja melihat tubuh atletis milik Gikwang saat cowok tadi mengganti pakaian. Ia sudah tak ingin membahas tentang kencan gila yang di cetuskan bahkan di lakukan sendiri oleh seorang Gikwang.
        “Apa kata lo? Nggak nambah-nambah?” Gikwang mengulangi ucapan Myungsoo. “Lo kira perut gue papan catur yang kotaknya banyak?”
        Myungsoo tertawa mendengar balasan dari Giwang. “Udah akh, bang. Makin gila gue deket-deket sama lo,” canda Myungsoo yang kini sudah berjalan menjauh dari Gikwang.
        “Yaudah sana lo jauh-jauh dari gue,” balas Gikwang dengan candaan juga sambil terkekeh dan tangannya bergerak-gerak seakan benar-benar mengusir keberadaan Myungsoo dari hadapannya.

***

        Howon membanting keras pagar rumahnya yang tinggi itu. Ia melangkah cepat dan tanpa arah meninggalkan rumah. Masih sambil menahan kekesalan pada ibunya tadi.
        Jauh di belakangnya, ada tiga cowok seumuran Howon berusaha mengejar cowok tadi. Langkah mereka sedikit terganggu karena harus membawa tas olahraga. Di tangan kanan dan kiri mereka juga penuh dengan sepatu serta bola sepak.
        “Howon! Lee Howon! Berhenti wooy!” teriak tiga cowok itu berusaha menghentikan langkah Howon.
        Sementara Howon sendiri juga merasa ada yang meneriaki namanya. Tapi ia tak langsung berbalik. Hanya berhenti saja di tempatnya berada. “Kayak suara Sungyeol, Dongwoon sama Yoseob,” pikir Howon. Ia lalu menggeleng, mencoba membuyarkan pikirannya dan kembali melanjutkan langkahnya.
        “Denger kagak sih tuh anak?” kesal Sungyeol. Cowok yang paling pendek di sana.
        “Udah ayo kejar lagi.” Kali ini suara cowok yang tubuhnya paling pendek terdengar mengkomandoi. Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk kembali mengejar.
        “Eh, Hoya! Berenti kagak lo!”
        Kali ini Hoya benar-benar menghentikan langkahnya. Dengan enggan, cowok ini terpaksa membalikkan badannya. “Pantesan cempreng banget tuh suara. Ternyata beneran mereka.”
        “Dipanggilin juga dari tadi,” semprot Dongwoon yang sudah cukup kesal karena di acuhkah Howon sejak tadi.
        “Mau ke mana sih lo? Kok nggak bawa tas?” Tanya Yoseob penuh selidik karena Howon tak membawa barang-barang seperti yang mereka bawa. “Kita mau sparing lawan SMA Quality nih!” lanjutnya mengingatkan.
        “Lo mau, liat sodara tiri lo si Minho semakin sombong karena kepilih jadi tim inti sekolah?” seru Sungyeol berusaha mengintimidasi pikiran Howon.
        “Malah bakal jadi kandidat calon kapten baru tau, Yeol.” Suara Dongwoon menambahi kalimat Sungyeol.
        “Bener tuh kata Dongwoon,” seru Yoseob.
        Howon hanya bisa menghembuskan napasnya, keras. “Percuma deh. Lo pada nggak tau, kan? Kalo seragam bola gue di sita. Udah gitu sepatu kesayangan gue di buang. Nggak tau deh tuh di buang ke mana!”
        “Hah!” pekik Sungyeol, Yoseob dan Dongwoon serempak.
        “Akh, jangan bercanda lo!” Yoseob menyikut lengan Howon sambil menatap tajam karena menganggap temannya itu hanya bergurau.
        “Yaelah! Ngapain juga bercanda!” Howon tampak berdecak kesal karena tak ada yang mempercayai ucapannya. “Lo periksa sana di rumah gue,” tantang Howon sebelum akhirnya kembali berjalan dan berniat meninggalkan tiga temannya yang kini membeku karena mendengar cerita darinya.
        “Gimana nih?” bisik Dongwoon pada dua temannya. Merek tak langsung mengejar Howon.
        “Tapi lo tetep dateng buat nonton, kan?” teriak Yosoeb pada Howon yang semakin berjalan menjauh.
        “Kagak!” balas Howon cepat. Bahkan sampai tak berniat untuk berbalik sedikitpun.
        Sungyeol, Dongwoon dan Yoseob hanya menghela napas. Pasrah dengan keputusan Howon. Mereka juga tidak bisa memaksa karena seprtinya masalah yang tengah Howon hadapi bukan hal yang sepele.

***

        “Hai, Kwang!”
        Gikwang terlonjak kaget setelah ada sebuah tangan menepun pundaknya. “Akh, bang Siwan.” Ia menghela napas lega karena orang itu adalah Siwan yang kini sudah duduk di sampingnya yang tengah memakai kaos kakinya. “Maaf ya, gue ngajakinnya mendadak. Emang belom ada rencana buat main juga sih,” jelas Gikwang.
        “Nyantai aja lah. Mumpung gue juga lagi nggak sibuk,” kata Siwan sambil mempersiapkan perlengkapan untuk bermain futsal. Ia juga mengeluarkan sepatu pemberian Yoona tadi siang untuknya dan meletakkannya tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Gikwang. Mereka memang akan bermain futsal, namun lapangannya beralas rumput, persis seperti lapangan sebakbola sungguhan.
        Di sisi lain, Yong Hwa, Jonghyun dan Myungsoo sudah mulai memasuki lapangan untuk melakukan pemanasan ringan.
        “Eh, itu Woohyun, kan? Dongwoo nggak di ajak?”
        Suara Sunggyu yang duduk tak jauh dari tempatnya membuat Gikwang mengalihkan sedikit aktifitasnya untuk melihat cowok yang Sunggyu maksud. “Dongwoo nanti nyusul,” seru Gikwang, dan Sunggyu hanya menggangguk menanggapinya. Sedetik kemudian, Gikwang kembali melanjutkan kegiatannya yang sedikit tertunda tadi.
Ketika tengah mengikat tali sepatunya, tatapan Gikwang jatuh pada sepatu yang baru saja dikenakan oleh Siwan. “Waah, sepatu baru tuh, bang?” goda Gikwang.
        “Bukan. Tapi ada yang ngasih,” jawab Siwan seadanya.
        Gikwang menatap Siwan heran. “Sepatu masih bagus gitu. Akh, pasti baru deh! Dari cewek lo, ya?” Gikwang semakin semangat menggoda kakak sepupunya itu.
        “Emang cewek sih yang ngasih. Tapi dia bukan cewek gue,” jelas Siwan dan berusaha sebiasa mungkin ketika menjawabnya.
        “Cieee…!” ledek Gikwang sambil berusa menjawil pipi Siwan, namun tangannya lebih dulu di tepiskan Siwan. Gikwang semakin terkekeh menanggapinya. “Udah, gapapa ngaku aja.”
        “Gue juga bingung sih sebenernya. Dia bilang ada orang kaya yang buang sepatu. Lumayan juga sih. Kebetulan gue emang belom sempet beli sepatu baru.”
        “Waah, gue juga mau kalo kayak gitu mah, bang.”
        Siwan melirik Gikwang cepat. “Lo kan anak orang kaya. Pasti bisa lah beli sepatu model kayak gini.”
        Gikwang langsung diam dan tak merespon ucapan Siwan. Ia langsung pura-pura sibuk membereskan barang-barangnya yang lain.
        “Kwang, maaf ya.” Siwan menyentuh pundak Gikwang dan sedikit merasa bersalah setelah perubahan waut wajah Gikwang tadi. Gikwang sendiri langsung menoleh sambil mengangguk untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. “Dan itu berarti, semua yang gue denger dari ortu gue itu bener?”
        “Jadi, bang Siwan tau kalo papa…” Gikwang tak melanjutkan ucapannya karena Siwan sudah lebih dulu mengangguk. Dan kini Gikwang langsung sedikit tertunduk.
        “Gue udah denger kalo om Sungmin kena tipu ratusan juta. Terus, gimana jadinya?”
        “Gitu deh. Papa udah hampir mau ngejual mobilnya gue rasa. Dan kalaupun gue yang maksa agar mobil gue aja yang di jual, papa pasti nggak akan ngijinin.”
        Siwan turut merasakan apa yang terjadi pada keluarga Gikwang. Biar bagaimanapun, ayahnya Gikwang adalah adik kandung dari ayahnya Siwan dan Chunji. Dan Siwan juga sudah menganggap Gikwang seperti adiknya sendiri. “Apa ayah nggak bisa bantu om Sungmin, ya?” gumam Siwan pelan sambil berpikir.
        “Jangan, bang!” sambar Gikwang yang mendengar suara Siwan meski tadi cowok itu mengatakannya dengan pelan. “Bukannya gue ngeremehin keluarga kalian, tapi uang yang harus papa ganti ke perusahaan itu nggak sedikit. Lagipula, masih ada tabungan gue yang bisa buat bantuin papa juga.”
        “Eh, jangan ngaco lo! Uang itu dipersiapin om Sungmin untuk pendidikan lo. Dan untuk masa depan lo juga. Gue yakin beliau juga pasti akan menolak mentah-mentah,” kata Siwan sambil mengingatkan kembali pada Gikwang.
        “Masalahnya kalo papa jual mobil, dia ke mana-mana kan masih butuh kendaraan juga. Apa gue saranin buat jual rumah aja, ya?”
        “Heh! Makin ngaco aja lo! Kalo rumah lo di jual, kalian mau tinggal di mana?” protes Siwan yang kembali tak menyetujui ide gila sepupunya itu. Beruntung ia tak sampai mendaratkan sebuah jitakan di kepala Gikwang.
        “Gue kan bisa tinggal di rumah yang lebih kecil. Lagian, percuma tinggal di rumah sebesar itu kalo penghuninya Cuma dua orang. Kecuali kalo om Changmin, tante Sooyoung, bang Siwan sama Chunji mau tinggal di rumah gue juga sih gapapa. Kalo perlu ajak juga keponakannya tante Sooyoung,” kata Gikwang panjang lebar sambil menatap Siwan penuh arti.
        “Maksud lo Krystal?” Siwan membulatkan matanya.
        “Hehehe…” Gikwang hanya terkekeh dibuatnya.
        “Akh, lo sih emang modus mulu sama cewek-cewek. Inget tuh sama gebetan lo yang dulu,” sindir Siwan.
        Tawa Gikwang langsung benar-benar terhenti. “Taeyeon? Udah punya pacar dia, bang,” kata Gikwang lemas.
        “Panggilnya mbak Taeyeon donk, kan dia lebih tua dari lo,” goda Siwan.
        Gikwang memutar bola matanya, kesal. “Kagak!”

***

        Yoona baru saja memarkirkan sepedanya di halaman rumah. Tak lama muncul seorang cowok yang sudah berpakaian sepakbola lengkap. Namun sepatunya masih dia pegang di tangan.
        “Bang, tadi bilangnya nggak mau ke mana-mana? Kenapa sekarang malah pergi main bola sih?” protes Yoona pada kakak laki-lakinya itu. Ia merasa seperti kakaknya mengingkari janji.
        “Mendadak nih di ajakin Yoseob. Si Howon nggak bisa soalnya,” jelas Doojoon.
Tapi sepertinya cowok itu sudah benar-benar membuat adiknya kecewa. Yoona sampai tega menghiraukan kakaknya dan masuk ke dalam rumah. Bahkan sampai membanting pintu hingga membuat Doojoon sedikit terlonjak, dan kini pemuda itu hanya bisa menyuruh dirinya bersabar menghadapi Yoona seperti tadi.
        Sementara di dalam rumah, Yoona segera mengurung dirinya di kamar. Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Kenapa semua orang lebih memilih sepakbola di banding keluarga? Ayah milih ngelatih sepakbola di Surabaya. Sementara ibu lebih milih ngurus sekolah sepakbola milik ayah di Bandung dan ninggalin gue di Jakarta. Lalu bang Doojoon? Argh! Kenapa nggak pada kawin aja sekalian sama bola!”
        “Yoon, gue denger loh apa yang lo omongin!”
        “Astaghfirullah!” seru Yoona yang terkejut karena tiba-tiba ada yang menyahut ucapannya. Ternyata Doojoon yang mengintip dari luar jendela kamar Yoona. “Ngapain lo masih di sini?” omel Yoona setelah membuka jendela kamarnya.
        “Lo marah banget sama kakak lo yang ganteng ini?” Tanya Doojoon. Yoona menatap Doojoon jijik. “Maaf ya. Emang mendadak. Dan sebagai gantinya, nanti malem kita jalan deh. Terserah lo mau ke mana, biar semuanya gue yang bayarin.”
        “Nggak butuh! Gue masih punya uang,” desis Yoona dengan nada merendahkan. “Udah sana pergi! Pacar lo udah nunggu tuh!”
        Doojoon menahan napasnya karena Yoona tiba-tiba menutup jendela dengan kasar. Setelah itu ia menghembuskannya. Lega karena setidaknya tidak ada bagian tubuhnya terkena bagian dari jendela. Lalu Doojoon berbalik dan berniat meninggalkan halaman rumahnya bagian samping itu. Belum sempat melangkah, Doojoon langsung kembali mendekati jendela dan menggetuknya dari luar.
        “Tadi lo ngomong apa, Yoon? Pacar gue? Maksud lo Taeyeon? Lo ketemu dia di mana?” Tanya Doojoon sumringah setelah melihat pantulan wajah Yoona dari balik kaca jendela. Dan Yoona ternyata hanya menunjukkan kepalan tangannya sebagai tanda ancaman untuk Doojoon.

***

        “Eh, itu oper ke depan!” teriak Howon memberi instruksi pada rekan-rekan timnya. Ia bukan tengah bermain dengan Sungyeol, Yoseob dan Dongwoon di lapangan sebakbola sesungguhnya seperti apa yang seharusnya ia lakukan sekarang. Tapi Howon hanya berada di lapangan kecil yang terletak di sebuah taman kota, bersama teman-teman kecilnya.
        “Itu yang pake baju biru siapa namanya tadi?” Tanya Howon pada salah satu bocah yang bermain bersamanya.
        “Namanya Yoogeun, bang,” jawab anak itu.
        “Oke.” Kini Howon yang menguasai bola. “Yoogeun sundul bolanya!” teriak Howon seraya mengoper bola pada anak yang di maksud. Dan… GOOOL… “Kerja bagus, bro!” Howon mengacak puncak kepala Yoogeun dengan gemasnya. Sesekali Howon melirik jam tangannya. “Waah, udah mau maghrib nih. Bang Hoya udahan dulu ya. Besok-besok kita main lagi.”
        “Janji ya, bang?” kata Yoogeun penuh harap.
        “Sekalian ajarin kita main bola yang keren juga ya kayak bang Hoya tadi,” sambung yang lainnya.
        Howon mengangguk menanggapi teriakan-teriakan teman kecilnya. Kesenangan tadi bisa sesaat melupakan kesedihannya karena sang ibu menyita seragam bola sekolah bahkan membuang sepatu sepakbola kesayangannya. Setelah berpamitan, Howon segera meninggalkan taman itu. Meski sebenarnya ia masih kesal dengan tindakan ibunya. Namun, tawa-tawa polos anak kecil yang bermain bersamanya tadi, membuat Howon tak berhenti tersenyum.
        Howon pulang dengan berjalan kaki. Langkahnya melewati sebuah perumahan yang tidak terlalu besar. Di ujung sana, Howon melihat dua cowok yang berjalan ke arah berlawanan dengannya. Howon tidak terlalu mengenali dua cowok itu, namun yang membuatnya membulatkan mata adalah karena salah satu dari mereka membawa sepatu milik Howon yang tadi siang di buang oleh ibunya.
        Dengan langkah cepat, Howon menghampiri dua kakak beradik yang ternyata Siwan dan Chunji. Mereka tampak asik mengobrol sampai-sampai tidak terlalu menyadari ada seseorang yang berjalan ke arah mereka.
        “Temennya bang Siwan?” bisik Chunji sambil mengawasi sosok Howon yang sudah berdiri tepat di hadapan mereka meski tidak mengatakan apa-apa.
        Siwan melirik ke Chunji sesaat lalu menggeleng. “Ada apa?” Tanya Siwan pada Howon.
        Howon tetap menatap sinis ke arah benda yang ia yakini miliknya. “Boleh liat sepatunya sebentar?”
        Siwan dan Chunji yang heran dengan permintaan Howon, hanya bisa saling melempat tatapan tanpa ada yang bisa memberikan saran. Karena sudah tidak sabar, Howon merebut paksa sepatu di tangan Siwan, membuat Siwan sendiri tersentak seketika dan tidak bisa melakukan perlawanan sedikitpun.
        Seketika hati Howon terasa mencelos. Dengan perlahan ia mengangkat wajahnya sambil menunjukkan tatapan membunuhnya untuk Siwan. “Dari mana lo dapet sepatu ini?” Tanya Howon yang sebelumnya sempat menghela napas sesaat.
        Siwan sendiri hanya bisa meneguk ludahnya. Seketika tenggorokkannya juga terasa tercekat.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar