Rabu, 30 Oktober 2013

FC LOVE (chapter 4)


Author              : Annisa Pamungkas
Main Cast          :
·        B2ST/Beast Lee Gikwang
·        Infinite Lee Howon (Hoya)
·        SNSD Im Yoona
Support cast     :
·        Other member B2ST/Beast
·        Other member Infinite
·        Yong Hwa CN Blue
·        Siwan Ze:a
·        Jonghyun, Minho Shinee
·        All member A-Pink
·        Hara KARA
·        Sulli F(x)
Genre               : romance, family, friendship
Length              : chapter

***

Ketika sampai di lapangan sepakbola pribadi milik SMA Paradise, Gikwang hanya tinggal mengganti pakaiannya dengan seragam klub karena ia sudah melakukan pemanasan mulai dari rumah hingga sekolah. Setelah itu, Gikwang bergabung dengan Jonghyung, Yong Hwa dan Sunggyu yang tengah melakukan peregangan.
        “Lemes banget lo bro,” sapa Jonghyun ketika melihat Gikwang mendekat.
        “Belom pindah rumah ke tempat yang lebih jauh kan, lo?” ledek Yong Hwa.
        Tentu saja mereka hampir sependapat karena melihat semangat Gikwang yang tampaknya agak sedikit menurun. Belum lagi wajah cowok itu terlihat cukup kelelahan. Padahal ia melakukan jogging dari rumah hingga sekolah bukan untuk kali pertama.
        “Jangan lemes gitu, Kwang. Sore ini ada orang-orang dari pihak klub sepakbola ‘Dream Boys’. Mereka akan ngawasin latihan kita. Dan yang terpilih bisa ikut seleksi untuk gabung di klub mereka,” jelas Sunggyu.
        “Akh, serius lu?” Tanya Gikwang memastikan.
        “Ngapain juga gue bohong?” protes Sunggyu yang merasa ucapannya hanya di anggap lelucon oleh Gikwang.
        “Pelatihnya Im Seulong, bukan?” Gikwang mulai penasaran.
        “Im Seulong masih ngelatih ‘Locket Boys’ di Surabaya,” jelas Yong Hwa yang langsung membuat Gikwang kehilangan semangatnya lagi.
        “Ayolah, Kwang. Gue denger ‘Dream Boys’ juga ngelakuin hal yang sama ke anak-anak di SMA Sun Moon. Kita jangan kalah dari mereka. Susah lo bisa lolos ‘Dream Boys’,” timpal Jonghyun mengintimidasi.
        “Kali aja pelatih favorit lo si Im Seulong itu kepincut sama permainan lo, terus dia pengen pindah ke ‘Dream Boys’ deh biar bisa ngelatih seorang Lee Gikwang,” sambung Sunggyu.
        Gikwang terkekeh mendengar rayuan tiga temannya. “Bisa aja lu sipit,” goda Gikwang sambil menyikut lengan Sunggyu dengan ekspesi malu yang dibuat-buat. Jonghyun dan Yong Hwa memasang tampak pura-pura ingin muntah. Sementara Sunggyu melotot ke arah Gikwang meski sebenarnya ia tidak terlalu bisa melakukan itu.
        PRIIITTT…!!!
        Gikwang, Sunggyu, Yong Hwa dan Jonghyun terlonjak mendengar suara peluit milik Leeteuk, pelatih klub sepakbola SMA Paradise yang ternyata memang ditujukan untuk mereka berempat yang masih saja asik mengobrol. Padahal rekan-rekan yang lain sudah pada berkumpul untuk menerima arahan sebelum memulai latihan yang katanya di saksikan langsung oleh orang-orang penting di salah satu klub sepakbola terbesar di ibukota.
        “Kapten tuh ngasih contoh yang baik donk,” sindir Junhyung ketika Gikwang dan tiga temannya sudah bergabung. Terlebih saat itu Gikwang mengambil tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat Junhyung berdiri.
        “Diem lu!” bentak Jonghyun tak terima jika temannya di remehkan seperti tadi.
        “Sssttt…” desis Gikwang mengingatkan. “Udah deh, Jong.” Ia sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan perlakuan Junhyung padanya. Sementara Yong Hwa dan Sunggyu hanya menggeleng melihat kelakuan temannya itu.
        “Bang, itu Lee Donghae,” bisik Myungsoo yang ketika Gikwang datang langsung mendekati sahabat kakaknya itu.
        Mata Gikwang langsung mencari-cari orang yang di maksud Myungsoo. Setelah melihat seorang pelatih muda yang kharismatik, Gikwang melirik Myungsoo lalu mengangguk.
        “Pantes lo ngefans sama dia. Pelatih muda. Keren, Myung.”
        Myungsoo tersenyum bangga mendengar komentar Gikwang tentang sosok pelatih yang ia idolakan. “Ayo kita sama-sama gabung di sana, bang,” ajak Myungsoo semangat.
        Tanpa pikir panjang Gikwang mengangguk tak kalah semangat mendengar ajakan sekaligus tantangan dari Myungsoo agar ia dengan semangat mengikuti serangkaian tes agar bisa bergabung di sana.
        “Ngapain lo berdua?” tegur Sunggyu yang berdiri di belakang Myungsoo karena tak bisa menahan rasa penasarannya dengan apa yang tengah di bicarakan Myungsoo dan Gikwang.
        “Ada deh,” seru Myungsoo dan Gikwang yang kompak menjahili Sunggyu.

***

        Esoknya sepulang sekolah, Gikwang langsung bergegas menuju sebuah kamar yang dihuni ayahnya, Sungmin. “Biar ku bantu, pa.” Gikwang menawarkan diri ketika melihat Sungmin hendak memindahkan sebuah kardus ke sudut ruangan. Ia juga sempat melempar ranselnya sembarangan ke lantai.
        “Akh, kamu sudah pulang Gikwang,” seru Sungmin sedikit terkejut dengan kedatangan putranya.
        “Papa udah nemu rumah yang baru?” Tanya Gikwang sedikit hati-hati. Tidak mungkin ia langsung menyatakan dengan gamblang bahwa rumah baru mereka bisa dipastikan lebih kecil dan tidak sebagus rumah mereka yang sekarang.
        Sungmin menegakkan badannya ketika pekerjaan tadi telah selesai mereka lakukan. Ia lalu menatap Gikwang penuh arti. “Papa hanya sanggup menyewa satu rumah di ‘Phoenix’ apartmen kelas dua,” serunya setengah menyesal karena harus menyeret putranya satu-satunya ke luar dari rumah mewah ini. Juga menyeretnya ke masa sulit kehidupan mereka.
        Gikwang melebarkan matanya tak percaya. Mungkin Sungmin menyimpulkan bahwa anaknya menaruh kekecewaan besar terhadapnya. Namun kenyataannya lain. “Yong Hwa tinggal di sana juga. Tepatnya kelas tiga B, dan itu udah bagus banget, pa.” Gikwang menunjukkan ekspresi takjub. Tapi sedetik kemudian, raut wajahnya kembali berubah. Ia menatap Sungmin penuh selidik. “Aku jadi nggak yakin kalo papa bener-bener bangkrut,” serunya dengan nada pelan dan sedikit didramatisir.
        Sungmin melipat tangannya didepan dada sambil menatap Gikwang menantang. “Sekarang coba kamu lihat. Tinggal di mana kamu selama ini?”
        Seolah mengikuti permainan Sungmin, Gikwang menyapukan pandangannya hampir ke tiap sudut kamar ayahnya yang luas. Jika saja mengabaikan keberadaan beberapa tumpuk kardus di salah satu sisi ruangan, kamar Sungmin itu memiliki desain klasik yang mewah.
        Gikwang akhirnya menghela napas, menyerah. “Aku sadar. Setidaknya rumah ini bisa membeli bahkan sampe empat rumah di ‘Phoenix’ apartmen kelas satu. Waah… betapa kayanya papaku tercinta,” goda Gikwang yang tak segan-segan memamerkan eye smile-nya.
        Sungmin tak kuasa menahan tawa melihat kelakuan putranya. Yang membuatnya sampai detik ini tidak bisa menghalangi keinginan Gikwang adalah karena anaknya itu tidak pernah melakukan protes keras terhadap apapun keputusannya untuk Gikwang. Dan Gikwang sendiri memiliki cara tersendiri untuk menghadapi ayahnya. Mereka saling melengkapi satu sama lain.
        “Kayaknya aku nggak peduli kita mau tinggal di mana nantinya. Asalkan…” Gikwang dengan sengaja menggantungkan ucapannya. Ia melirik penuh arti pada Sungmin yang berdiri sedikit tegang di depannya.
        “Apa?” Tanya Sungmin tegas untuk menutupi kegugupannya.
        “Motorku jangan di jual ya, pa.” Gikwang memohon dengan nada manja hingga membuat Sungmin nyaris saja memukulnya karena sudah membuat Sungmin berpikir jauh tentang kemungkinan yang dikatakan Gikwang padanya.
        Hening sesaat ketika mereka duduk di tepi tempat tidur Sungmin setelah kembali sibuk dengan kegiatan mengepak barang-barang milik Sungmin.
        “Kayaknya kamu nggak pernah protes apapun keputusan papa?” Sungmin menatap anaknya, curiga.
        Gikwang menoleh seraya mencerna maksud ucapan ayahnya. “Jadi papa maunya aku protes terus kita adu mulut sampe berantem? Terus, aku kabur deh dari rumah,” seru Gikwang dengan imanjinasi yang cukup berlebihan.
        “Ya nggak gitu juga, Kwang,” kata Sungmin sebal. “Bagus deh kalo kamu itu penurut.”
        “Tapi seru juga sih kayaknya,” lanjut Gikwang dengan tatapan menerawang. “Papa ngelarang aku main bola, tapi aku diem-diem tetep nekat main. Terus aku sampe di rekrut sama sebuah klub bola yang pelatihnya itu Im Seulong. Dan akhirnya, papa setuju deh karena aku bisa suk… aduh!” Gikwang menoleh sambil memegangi kepalanya yang sedikit berdenyut karena mendapat sebuah jitakan dari Sungmin. “Papa!” protesnya, namun diabaikan oleh Sungmin yang sudah berjalan menuju laci meja komputernya.
        Tak lama Sungmin kembali dengan membawa selembar kertas. Tapi ternyata, Gikwang justru sudah dengan seenaknya berbaring di kasur dengan mata terpejam dan kedua tangannya dijadikan alas kepala.
        “Bangun, atau papa bener-bener ngelarang kamu bermain bola,” ujar Sungmin dengan suara pelan, namun benar-benar ampuh membuat Gikwang tersentak dan bangkit.
        “Jangan gitu donk, pa!” Lagi, Gikwang melancarkan protes.
        Sungmin tersenyum penuh kemenangan. “Ini.” Ia lalu duduk di samping Gikwang seraya menyerahkan kertas tadi yang ternyata adala formulir dari sebuah klub sepakbola ‘Running Boys’.
        “Kok papa bisa dapet ini? Dari mana?” desak Gikwang yang tak bisa menutupi rasa penasarannya.
        “Lee Hyukjae, pelatih klub itu dulunya teman SMA sekaligus teman satu klub bola dengan papa. Beberapa waktu lalu, kita nggak sengaja ketemu. Setelah ngobrol panjang lebar, ternyata dia sedikit banyak tau tentang kamu dari beberapa turnamen yang pernah kamu ikutin. Dia tertarik dan akhirnya dia nawarin kamu untuk gabung ke klubnya,” jelas Sungmin. “Akh, ternyata Hyukjae benar-benar menekuni sepakbola sampai sekarang.”
        Gikwangpun menanggapi cerita ayahnya dengan cukup antusias. Kecuali ketika Sungmin memuji teman lamanya itu. Lalu ketika teringat bahwa dirinya ada jadwal kembali latihan sore ini, raut wajahnya berubah. “Cuma aku aja yang di ajak?” Tanya Gikwang yang sebenarnya cukup ragu melontarkan pertanyaan itu. Karena kemungkinan besar memang seperti itu kenyataannya.
        Sungmin mengangguk sambil tersenyum bangga dengan prestasi putaranya. “Kejarlah mimpimu, nak.” Sungmin mengusap rambut anaknya.
        Gikwang hanya mampu menatap nanar kertas di tangannya. Inilah jalannya. Ia memang tidak bisa selamanya terus bersama dengan Jonghyun, Sunggyu, Yong Hwa bahkan Myungsoo dan yang lainnya. Tapi akan selalu ada orang-orang baru di kehidupannya ke depan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah, Junhyung. Rivalnya itu sudah lebih dulu bergabung di ‘Running Boys’ karena Hyukjae adalah pamannya meski ia tetap mendapatkan pantauan dari pihak ‘Dream Boys’. Dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata Hyukjae juga teman lama Sungmin.

***

        Seperti yang biasa Yoona lakukan di sore hari, ia mengayuh sepedanya sampai ke taman. Taman tersebut termasuk jalan tengah antara rumahnya dengan SMA Sun Moon, tempat Howon bersekolah. Tepat sekali, Yoona memang berniat menemui cowok itu. Tentu saja untuk mengantarkan peralatan olahraga milik Howon.
        “Won, maaf banget ya, ternyata kaos kaki lo kebawa sama kakak gue,” kata Yoona tanpa basa-basi lagi. Ia juga tak lupa menyerahkan tas pada Howon. “Tapi tadi udah gue beliin yang baru kok. Cuma, yaa… gitu. Bukan barang mahal,” jelasnya.
        “Lo sekali lagi bahas barang-barang mahal, gue cium ya!” ancam Howon jengkel yang sukses membuat Yoona membekap mulutnya.
        “Gini aja deh, baju lo yang kemaren lo laundry di mana? Biar gue yang ambil.”
        Howon merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan selembar kertas tanda bukti dari tempat Howon me-laundry kostum bola yang kemarin ia pakai latihan. Ia lalu memberikannya pada Yoona.
        “Ini udah di bayar, kan?” goda Yoona setelah menerima kertas darit tangan Howon.
        “Ya elah, Yoon. Takut amat. Kalopun belom juga pasti gue kasih lah duitnya ke lo,” seru Howon sambil terkekeh.
        Yoona ikut terkekeh mendengar candaan Howon. “Ya udah deh. Gue balik dulu ya. Belom beres-beres rumah nih soalnya,” pamit Yoona yang sudah bersiap dengan sepedanya.
        “Duh, maaf banget ya, Yoon. Kayaknya gue bakal ngerepotin lo terus,” kata Howon sedikit merasa bersalah.
        “Santai,” jawab Yoona pendek, sementara tangan kirinya menepuk pelan pundak Howon. “Oiya, lo sekolah di mana sih?” Tanya Yoona sedikit penasaran. Selama mereka saling kenal, belum sekalipun Yoona bertanya hal itu.
        “SMA Sun Moon. Lo sendiri?” Howon membalikkan pertanyaan Yoona. Namun sebelum mendengar jawaban cewek di depannya itu, ponsel Howon bergetar tanda sebuah pesan masuk.
        Yoona menepuk pundak Howon sampai membuat cowok itu menoleh. “Gue duluan ya. Sampe ketemu di sekolah.” Tanpa menunggu respon dari Howon, Yoonapun mulai mengayuh sepedanya dan meninggalkan tempat ia bertemu dengan Howon.
Sementara Howon sendiri hanya memperhatikan laju sepeda Yoona yang semakin menjauh sambil ia melakukan panggilan melalui ponselnya. “Iya ini gue udah lagi di jalan,” ucapnya pada seseorang di seberang telpon sambil melangkah ke arah yang berlawan dari tempat perginya Yoona.

***

        Esoknya, sebuah pertandingan penting di gelar. Dan tepat hari itu akan mempertemukan SMA Sun Moon sebagai tuan rumah dengan SMA Paradise yang di ketahui selama ini menjadi salah satu saingan terberat dari SMA Sun Moon.
        Yoona yang sore itu baru ke luar dari perpustakaan—karena sepulang sekolah tadi siang, ia harus melakukan kerja kelompok dengan beberapa teman sekelasnya—di buat bingung dengan pemandangan yang ada. Banyak siswa yang sudah tak mengenakan seragam sekolah, berbondong-bondong menuju area belakang sekolah tempat stadion kecil sepakbola pribadi milik SMA Sun Moon berada.
        “Jaejong!” teriak Yoona pada salah satu teman sekelasnya yang kebetulan melintas. “Ada apaan, sih?” tanyanya penasaran ketika cowok tinggi itu menghampirinya.
        “Ada turnamen bola. Kebetulan hari ini kita yang jadi tuan rumah. Masa lo nggak tau, sih?”
        Yoona menggeleng polos. Ia lalu menatap Jaejong dari atas ke bawah. Cowok itu memakai pakaian kasual. “Lo nggak ikut tanding bola?”
        Jaejong hanya terkekeh mendengar pertanyaan Yoona. “Gue tuh anak basket, bukan dari klub bola kayak cowoknya Tiffany si Minho itu tuh,” jelasnya sambil geleng-geleng kepala melihat Yoona.
Mungkin dari sekian banyak siswa SMA Sun Moon, hanya Yoona yang tidak tau apa-apa. Termasuk pertandingan sepak bola sore ini.
        “Kok Hoya nggak cerita kalo dia mau ada pertandingan bola sore ini? Nggak mungkin dia nggak ikut tanding, kan?” Yoona sibuk dengan pikirannya sendiri.
        “Ya udah, lo mau ikut gue ke sana nggak? Temen-temen klub basket gue udah pada nunggu di sana nih. Soalnya gue juga mau bantuin mereka kalo butuh sesuatu,” kata Jaejong karena Yoona hanya diam sejak beberapa menit yang lalu.
        “Kalian anak-anak basket pada nonton?” ujar Yoona takjub.
        “Walau kita beda klub, tapi kita selalu saling support. Anak-anak bola juga sering nonton kita main basket, kok,” jelas Jaejong. “Ya udah, ayo ke sana,” ajaknya lagi, kali ini ia sedikit memaksa.
        Yoona mengangguk cepat. “Ya udah deh,” ujar Yoona akhirnya.
Merekapun bergegas menuju lapangan sepakbola. Di sana Yoona dan Jaejong segera bergabung dengan siswa yang lain. Mengantri untuk masuk ke stadion yang tidak terlalu besar itu.
        “Eh, lo masuk duluan aja deh. Ada barang gue yang ketinggalan di gedung sekolah.” Tanpa menunggu persetujuan Jaejong, Yoona langsung ke luar dari barisan.
        Yoona menelusuri gedung SMA lantai satu yang sudah sangat sepi itu. Tanpa sengaja matanya menemukan seorang gadis berseragam SMP di dekat ruang kesehatan SMA Sun Moon. Merasa seperti mengenali cewek itu, Yoonapun mendekat.
        “Kamu… adiknya Minho, kan?” Tanya Yoona.
        Siswi SMP Sun Moon itu tersentak dengan keberadaan Yoona. Ia lalu menoleh sambil menegakkan badan. “Kakak temennya mas Minho?” cewek yang ternyata Sulli itu balik bertanya.
        Yoona menggangguk. “Kamu ngapain di sini sendirian? Nggak ke stadion?” Tanya Yoona yang langsung membuat Sulli tertunduk. “Kamu sakit?” tanyanya lagi karena melihat wajah putih Sulli yang sedikit pucat. “Kenapa nggak istirahat di dalam?” lanjutnya setelah memastikan ruangan di belakang Sulli benar-benar ruang kesehatan sekolah.
      Sulli menggeleng. “Aku nggak berani sendirian. Kakak-kakak petugasnya lagi pada mau nonton bola,” jelas Sulli pelan.
        Yoona berdecak kecewa dengan para petugas UKS—yang seluruhnya adalah siswi SMA Sun Moon—yang dengan seenaknya melalaikan tugas mereka. Terlebih di saat ada acara di sekolah. Tenaga mereka pasti sangat di butuhkan.
        “Ya udah, aku yang temenin aja ya?” tawar Yoona sambil membimbing Sulli untuk masuk ke dalam. Beruntung ruangan juga tidak di kunci. Ia semakin menggelengkan kepala. “Gimana kalau ada barang yang ilang?” cibirnya.
        “Kakak nggak mau nonton bola?” Tanya Sulli yang merasa tak enak karena secara tak langsung, ia yang meminta Yoona menemaninya di sana.
        Yoona tersenyum sambil menggeleng. “Gapapa, kok.” Ia lalu meletakkan ranselnya di meja, sementara Sulli sudah membaringkan diri di tempat tidur. “Tapi aku tinggal ke perpustakaan sebentar ya. Cuma mau ngambil barang aku yang ketinggalan,” pamitnya. Memang itu tujuannya kembali ke gedung sekolah.

***

        “Akh!” pekik Gikwang sambil memegangi siku tangan kirinya. Ia yang sedang berada di tengah lapangan untuk melakukan pertandingan sepakbola, tak sengaja bertabrakan dengan Junhyung ketika saling berebut bola melawan Minho dari tim lawan.
        Sunggyu yang kebetulan tak jauh dari tempat Gikwang berada, langsung berlari menghampiri temannya yang sudah berbaring di atas rumput. “Kwang, lo gagapa?” tanyanya setengah panic. “Tangan lo berdarah!” serunya heboh ketika melihat darah mengucur dari siku tangan Gikwang sambil ikut memegangi luka untuk menahan agar darah tak semakin deras ke luar.
        “Tim medis!” teriak Howon pada official SMA Sun Moon. Biar bagaimanapun, pengurus sepakbola SMA Sun Moon harus bertanggung jawab pada keselamatan semua orang yang hadir. Meski itu dari tim lawan sekalipun.
        Kebetulan Jaejong yang menyadari teriakan Howon. Meski dari tim basket, ia tak akan segan-segan membantu tim sepakbola dalam bentuk apapun. Karena yang di lakukan tim sepakbola sore ini demi nama sekolah juga.
        Tanpa pikir panjang, Jaejong berlari ke tempat Howon berada diikuti salah satu temannya yang tadi berdiri bersama di tepi lapangan. Tentu saja tujuan utamanya adalah melihat keadaan Gikwang.
        “Petugas PMR mana sih?” omel Howon ketika Jaejong datang bersama Yoochun yang sebenarnya adalah anggota tim basket, bukannya para petugas medis atau minimal anggota PMR yang bergerak.
        “Nggak tau, gue sama Yoochun bawa ke ruang kesehatan SMP aja, deh.” Jaejong menyeruak di antara beberapa aggota tim SMA Paradise untuk membantu Gikwang berdiri. Yoochun juga ikut membantu Jaejong memapah Gikwang.
        “Bawa ke ruang kesehatan SMA aja. Punya SMP lagi di renovasi,” kata Minho sebelum mereka bergerak percuma ke ruang kesehatan SMP Sun Moon.

***

        Yoona baru saja kembali ke ruang kesehatan setelah mengambil beberapa alat tulis miliknya yang tertinggal di perpustakaan sekolah. “Obat yang ku berikan sudah kamu minum?” Tanya Yoona sambil menyelimuti tubuh Sulli yang tengah berbaring.
        Sulli hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.
        “Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja ya.” Yoona lalu memilih duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur Sulli sambil membaca novel yang ia bawa di dalam tas.
        Tak lama pintu ruang kesehatan terbuka dengan sedikit kasar. Yoona sampai terlonjak dan Sulli sukses terbangun dari tidurnya. “Jaejong? Yoochun? Kalian kenapa…” Yoona tak melanjutkan ucapannya ketika melihat seorang cowok yang berada di antara dua temannya itu.
        Jaejong dan Yoochun mendudukkan Gikwang di kursi yang kosong.
        “Yoon, lo bisa ngobatin luka, kan?” Tanya Yoochun sedikit membuyarkan lamunan Yoona.
        “Iya, sebentar.” Yoona langsung menuju tempat kotak P3K yang tergantung di tembok.
        “Eh, kamu adiknya Minho, kan?” Tanya Jaejong ketika menyadari keberadaan Sulli di sana.
        Sulli yang masih dalam posisi berbaring, melirik ke arah Jaejong. Yoochun dan Gikwang juga menatap cewek itu. Sulli mengangguk lemah, sementara tatapannya jatuh ke wajah Gikwang.
        “Yoon, lo anak PMR, ya?” Tanya Jaejong ketika Yoona kembali dan tengah mempersiapkan barang-barang yang ia butuhkan untuk mengobati Gikwang.
        “Bukan,” kata Yoona singkat sambil meminta bantuan Yoochun untuk memegangi kotak kecil yang ia bawa tadi.
        “Akh.” Gikwang meringis ketika Yoona tengah membersihkan lukanya.
        Sontak Yoona menjauhkan tangannya yang memegang kapas basah karena cairan alcohol. “Maaf,” ujarnya merasa bersalah sambil mendongak membuat mata mereka bertemu.
        Yoochun berdecak kesal. “Bener-bener tuh anak PMR. Nggak ada satupun yang nongol pas lagi di butuhin.”
        Yoona dan Gikwang langsung kembali tersadar dan berusaha menyembunyikan apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
        “Kalo sakit bilang ya,” ujar Yoona mengingatkan. Gikwang hanya mengangguk. Yoona lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan sangat hati-hati.
        “Gue nggak kebayang kalo Howon beneran ngamuk ke anak-anak PMR itu. Lo liat kan Howon kecewa banget pas tau ternyata kita yang nongol?”
        Yoochun mengangguk membenarkan ucapan Jaejong. Mereka sibuk mengobrol berdua, membiarkan Yoona sibuk sendiri bersama Gikwang yang berada di tengah-tengah Jaejong dan Yoochun.
        Tak lama, Jaejong tampak merogoh saku jins lalu mengeluarkan ponsel miliknya. “Halo,” sapanya setelah menempelkan ponsel di telinga. “Oh, gitu? Ya udah, ini juga sebentar lagi selesai kok. Iya, pake mobil gue aja gapapa.”
        “Siapa?” Tanya Yoochun penasaran ketika Jaejong mengakhiri pembicaraannya di telpon.
        “Itu si Yunho. Katanya kita suruh bawa dia ke rumah sakit,” jelas Jaejong. Yang di maksud dengan ‘dia’ adalah Gikwang.
        “Ya ampun, ngerepotin banget kalo kalian yang bawa gue ke rumah sakit,” kata Gikwang tak enak.
        “Udah, gapapa.” Yoochun bicara sambil membantu Yoona melilitkan perban di sekitar siku tangan kiri Gikwang. “Lagian, init uh sebagai bentuk tanggung jawab sekolah karena kita nggak bisa nyiapin tim medis yang layak.”
        “Udah, nih. Cepet sana kalian bawa ke rumah sakit. Takut keburu infeksi,” kata Yoona yang dengan sigap membereskan peralatan P3K yang ia gunakan.
        “Ya udah. Kita pergi ya,” pamit Jaejong.
        Yoona yang sudah terlanjur memunggungi mereka, hanya menjawab dengan anggukan. Sementara Gikwang masih menatap punggung Yoona seakan tak rela ia di bawa pergi oleh Yoochun dan Jaejong. Yoona sendiri hanya menghela napas berat ketika pintu tertutup dari luar.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar