Senin, 16 Desember 2019

SKY AND EARTH (3. Dijodohin?)



            “Hapenya Doyoung ilang? Di mana?”
            Yuta menggeleng. “Wonwoo bilang sih Doyoung ke perpus.” Cowok itu setengah berlari mengejar Taeyong yang tadi melesat duluan. Tadi mereka tidak sengaja bertemu di jalan.
            Tangan Taeyong sudah terulur, namun seseorang sudah lebih dulu membuka pintu dari dalam. Memunculkan Doyoung bersama Jiwoo yang berada di belakang Doyoung.
            “Beneran hape lu ilang? Ilang di mana?” cecar Taeyong yang awalnya tidak terlau menyadari jika ada Jiwoo di sana. “Eh?”
            “Iya, tapi udah ketemu kok, nih.” Doyoung menunjukkan ponsel miliknya ke hadapan Yuta dan Taeyong. “Tadi Jiwoo yang nemuin.”
            Merasa tidak enak, Jiwoo buru-buru berpamitan. “Kalo gitu gue duluan ya.” Tidak lupa cewek itu sedikit mengangguk sebagai bentuk tindakan menghargai senior karena ada Taeyong dan Yuta di sana, sebelum akhirnya berbalik dan pergi dari sana.
            Thank’s ya, Woo.”
            Jiwoo menoleh sedikit dan hanya menacungkan jempolnya.
            “Itu cewek yang di café Rowoon, kan?”
            Taeyong buru-buru menoleh ke arah Yuta. “Serius?”
            “Mau ngapain lu!” Refleks, tangan Yuta menarik tali ransel Taeyong yang bersiap pergi dari sana. “Inget yang Ten bilang. Udah lah nggak usah aneh-aneh, kasian tuh cewek.”
            Doyoung hanya memperhatikan dua seniornya itu. Yuta bahkan sudah benar-benar menarik Taeyong dan membawanya pergi dari sana, ke arah yang berlawanan dengan Jiwoo pergi. Setelah dua seniornya sudah menjauh beberapa meter, Doyoung kembali menolehkan kepalanya, kali ini ke arah di mana Jiwoo membawa dirinya pergi. Jiwoo sudah tidak terlihat di sana, namun masih menyisakan senyum di sudut bibir Doyoung.

***

~Malam hari dikediaman keluarga Doyoung
            Cowok itu baru saja bergabung di meja makan. Doyoung duduk di sebelah ibunya. Di seberang sana ada adik dan kakaknya Doyoung—Inseong dan Jungwoo. Sementara ayahnya Doyoung belum pulang. Mereka sibuk makan dalam diam. Doyoung juga sedang tidak ingin memulai pembicaraan. Lebih tepatnya tidak tahu apa yang ingin ia utarakan. Tentang kuliah, kah? Atau tentang…
            “Kamu ganti parfum?”
            Doyoung menoleh. Seketika apa yang sedang ada dibenaknya buyar karena suara sang ibu. Ibunya—Yoona—masih menatap anaknya itu dengan ekspresi menyelidik. “Parfum?” Doyoung mengendus lengan kemejanya. Sepulang kuliah tadi ia memang langsung meluncur ke dapur. “Oh, ini minta sama Wonwoo. Tadi Doy lupa bawa.”
            Yoona menghembuskan napas, tidak langsung merespon jawaban Doyoung. Dua saudara Doyoung hanya mencuri-curi pandang ke arahnya. Doyoung menunjukkan ekspresi bertanya, namun baik Jungwoo ataupun Inseong hanya mengangkat bahu mereka.
            “Kamu kayanya nggak pernah bawa pacar kamu ke rumah?”
            Uhuh! Doyoung tersedak. Yoona bertanya tepat ketika cowok itu sedang menenggak air minumnya. “Kenapa nanya itu sih, bun? Doy mau fokus kuliah dulu.”
            “Udahlah bun, langsung ke intinya aja.”
          “Ada apaan, sih?” Doyoung menatap tajam pada adiknya, menuntut penjelasan. “Bang?” kali ini Doyoung berpindah pada Inseong yang masih sibuk dengan makanannya.
            “Harus dijelasin pelan-pelan,” kata Yoona menengahi.
            “Lu dijodohin.”
            Satu jitakan mendarat di kepala Jungwoo. Hadiah dari Inseong.
            “Asli, ternyata bang Taeyong beneran cenayang.” Doyoung merasakan bahunya merosot. “Tapi kalo Doy punya pacar, perjodohan itu bisa dibatalin kan?” Doyoung menatap penuh harap pada ibunya.
            “Kalo pacar lu cewek mungkin bisa aja batal. Kalo cowok ya siap-siap aja diusir ayah hmmp.”
            Inseong yang gemas dengan Jungwoo sontak membekap mulut adiknya dengan tangan. Jungwoo memberontak untuk melepaskan tangan Inseong dari mulutnya. “Jangan di dengerin, Doy. Adek lu gila.”
            “Padahal lu juga nyangkain bang Doy homo.”
            Doyoung hanya menatap miris pada dua saudaranya. “Bun, nggak bisa abang aja yang dijodohin?”
            “Nggak lah, gue kan punya cewek,” sahut Inseong.
            “Yaudah, Jungwoo lah.”
            “Bun, Chaeyoung manis kan?” tanya Jungwoo antusias. “Itu loh, yang kemaren Jungwoo kenalin pas nggak sengaja ketemu di pasar.”
            “Iya, nanti ajak main ke rumah ya. Tapi pas ayah nggak ada aja. Bisa disunat dua kali kamu kalo berani bawa cewek ke rumah. Doyoung aja nggak pernah. Yang diajak kalo nggak Taeyong, Wonwoo, Ten, terus siapa lagi sih tuh ya bunda lupa. Sejun? Sehun?”
            “Sejun, bun.” Inseong terdengar meralat ucapan Yoona.
            Doyoung memainkan ponselnya di bawah meja. Berusaha tidak menghiraukan obrolan Jungwoo dan ibunya yang bisa dikatakan sedikit ‘menyindir’ Doyoung. Untuk urusan perempuan, cowok itu memang sangat bertolak belakang dengan Taeyong.

***

            “Tumbenan sih Doyoung ngajak ketemu di café gini. Kenapa nggak sewa private room di resto gitu?”
            Taeyong merengut mendengar komentar cewek di depannya. Cowok baru saja tiba, dan langsung menarik kursi dengan Gerakan sedikit kasar sebelum akhirnya duduk di sana. “Sekali-sekali ngeramein café temen sendiri lah.”
            Cewek di seberang Taeyong hanya menatap malas sambil bersandar pada cowok di sebelahnya, Johnny. “Ya maksud gue di restonya Rowoon juga.”
            “Ah ya udah lah, enakan juga di sini.” Taeyong dengan cueknya mulai mengeluarkan rokoknya sambil menyodorkan bungkus rokok pada cowok di sebelah cewek bernama Somin.
            Johnny melirik sekilas lalu menggeleng. “Ogah ah rokok lu kayak bapak-bapak,” candanya.
            “Sialan,” Taeyong mendengus kesal. Kemudian melanjutkan membakar rokoknya.
            Tidak lama kemudian beberapa orang lagi mulai berdatangan. Rowoon, Ten dan Yuta. Sementara Wonwoo masih berada di counter untuk memesan sesuatu. Tiga cowok tadi saling bersalaman dengan Taeyong, Johnny dan Somin.
            “Lu berdua udah pesen?” tanya Rowoon terutama pada Somin dan Johnny.
            “Nggak enak, nanti aja tunggu Doyoung.” Somin yang menjawab.
            Taeyong mengepulkan asap rokok ke atas sebelum merespon ucapan Somin. “Nggak usah. Pesen aja, bilang atas nama Taeyong. Gue yang tanggung semua. Kartu gue udah gue titipin ke Jiwoo tadi.”
            “Jiwoo siapa?” tanya Johnny yang malam itu memang tidak bergabung di sana, jadi tentu saja ia tidak mengetahui perihal Jiwoo.
            “Oh udah kenalan?” ledek Yuta.
            “Kalo beneran di tolak mah gue yang bakal ketawa paling kenceng,” ujar Ten yang diiringi tawa oleh Yuta. Lalu kemudian mereka saling melakukan high five, masih sambil tertawa.
            Taeyong sudah mengangkat asbak kaca ke atas, seolah ingin melempari Ten dan Yuta dengan benda itu. Tapi tentu saja tidak benar-benar dilakukan. Ten dan Yuta masih tertawa sampai akhirnya Doyoung muncul bersama Wonwoo.
            “Kenapa ini anak bapak Kim?” ledek Johnny karena melihat raut wajah Doyoung yang sedikit suram.
            “Males gue bang Taeyong cenayang. Nggak usah temenan lagi lah kita, bang.” Doyoung menghempaskan tubuh di sebelah Taeyong.
            Taeyong memutar badan sampai menghadap Doyoung. “Anjir, jadi beneran kejadian?”
            Doyoung mengangguk, malas. “Bang Inseong sama Jungwoo malah ngatain gue homo. Kempret emang mereka.”
            Wonwoo tertawa dengan tangan menunjuk Doyoung. “Lu kemaren abis pake parfum gue, kan? Tau banget gue nyokap lu pasti peka sama hal-hal kayak gitu.”
            “Nggak suka nih gue jadi orang bego gini,” kata Somin sambil melipat tangan di depan dada dan memasang ekspresi kesal.
            “Gara-gara perusahaan bokap lu, ya?” tebak Johnny yang sontak direspon anggukan oleh Doyoung dan beberapa orang yang lain. “Terus? Bakal di kawinin lu?”
            “Anjir, kenapa bahasanya mesti langsung ke arah sana sih?” Protes Doyoung.
            Taeyong menyenggol lengan Doyoung yang langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Saat menoleh, Doyoung mendapati mata Taeyong seperti memberitahu sesuatu. Doyoung kembali menoleh ke arah berlawanan. Ternyata yang Taeyong maksud adalah kedatangan Jiwoo yang mengantarkan pesanan.
            Americano punya gue.” Wonwoo mengangkat tangannya. Melihat itu, Jiwoo langsung menghampiri Wonwoo yang duduk di sebelah Somin. “Thanks.”
            Jiwoo hanya membalas dengan senyuman tipis. Taeyong mendekatkan wajahnya ke telinga Doyoung tanpa melepaskan tatapan pada Jiwoo yang sibuk membagikan minuman. “Manis banget ya?” bisik Taeyong.
            “Iya,” jawab Doyoung.
            Taeyong terkekeh. Sementara Doyoung seperti baru tersadar dengan apa yang terjadi padanya. Entah apa yang akan dipikirkan Taeyong setelah ini. Sepertinya ia juga tidak akan peduli.
            “Halo, guys.”
            “Seunghee!” Seru Somin penuh antusias sambil melambaikan tangan pada seorang cewek yang baru saja tiba. “Yujin mana?”
            “Ngebucin dulu dia,” kata cewek bernama Seunghee itu.
Seunghee mendekat ke tempat Taeyong, lalu mengecup pipi cowok itu. Taeyong tidak melakukan protes, karena memang sudah biasa diantara mereka. Kemudian Seunghee beralih pada Doyoung yang memang duduk bersebelahan dengan Taeyong. Namun reaksi berbeda ditunjukkan Doyoung yang justru menjauh ketika Seunghee berniat mencium pipinya. Hampir semua yang melihat itu membeku. Termasuk Jiwoo.
            Seunghee menarik kembali wajahnya. Namun masih mempertahankan posisi menatap Doyoung dari samping. Doyoung sama sekali tidak menoleh sedikitpun. “Lu kenapa, sih?”
            Ten berdiri untuk menghampiri Seunghee lalu menarik tangan cewek itu. “Aduh, sini deh. Jangan ganggu dulu si Doyoung lagi pusing mau dijodohin soalnya.” Ten membawa Seunghee duduk di sebelahnya. “Lu belum cium gue, nih.” Ten sudah mendekatkan wajahnya pada Seunghee yang langsung saja dihadiahi sebuah kecupan dari cewek itu.
            Doyoung tidak terlalu ambil pusing dengan sikap yang diambil Ten. Cowok itu sudah cukup menyelamatkannya. Biasanya mungkin ia bisa terima dengan perlakuan Seunghee. Itu ekspresi sayang dari seorang Seunghee pada sahabat-sahabatnya. Namun tidak untuk hari ini. Doyoung sedang tidak ingin mendapatkan perlakuan seperti itu. Doyoung menoleh karena ia merasakan seseorang meletakkan segelas minuman di hadapannya.
            Avocadofrape.”
            Tatapan mereke bertemu. Antara Jiwoo dan Doyoung saat cowok itu mendongak. Jiwoo sedikit mengangkat sudut bibirnya seperti senyum. Namun hanya sesaat. Jiwoo buru-buru kembali menegakkan badannya dan berbalik. Ia harus kembali bekerja. Jiwoo mendekap baki kosong di dadanya. Ucapan Ten tentang Doyoung yang akan dijodohkan mendadak seperti berputar di telinganya. “Kok sakit ya?” Jiwoo tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum sarkas.

***
            Setelah lebih dari dua jam mereka berkumpul, Doyoung dan teman-temannya sepakat untuk membubarkan diri. Tersisa Ten, Taeyong, Rowoon dan seorang pemuda lagi yang belum lama bergabung. Sejun. Sejun adalah salah satu teman sekelas Doyoung.
            Doyoung sendiri memilih pulang. Beda sekitar 30 menit dengan Yuta, Somin dan Johnny yang sudah berpamitan lebih dulu. Saat melintasi counter, Doyoung sempat melirik. Atau lebih tepatnya mencari seseorang. Namun apa yang ingin ia lihat tidak berada di sana. Cowok itu kemudian melanjutkan langkah bersama Seunghee yang berjalan bersebelahan dengannya. Mereka menuju mobil yang sama, mobil milik Doyoung.
            Seunghee lebih dulu masuk ke dalam, namun Doyoung tidak buru-buru masuk. Cowok itu masih bertahan untuk berdiri, meski ia sudah membuka pintu mobil. Tatapannya jatuh pada dua pengendara motor yang berada tidak jauh dari depan mobilnya terparkir. Doyoung mengenal dua cowok itu. Heedo dan Wooshin. Sedikit saja mengalihkan pandangan, Doyoung menemukan sosok Jiwoo berjalan bersama Soyoung. Mereka baru saja meningalkan café. Tentu tujuan dua cewek itu adalah Heedo dan Wooshin.
            “Gue sama Wooshin ya, Heedo genit. Males gue ngeladenin Jinhyuk cemburu sama Wooshin,” ujar Soyoung terutama untuk Jiwoo.
            “Modelan Heedo dicemburuin?” ledek Wooshin sambil memberikan helm pada Soyoung.
            “Ya gue mah selow. Kalo Jinhyuk macem-macem sama lu juga tetep gue bakal maju duluan,” kata Heedo dengan penuh percaya diri.
            “Iyad eh iya, biar cepet. Ayo ah balik.” Jiwoo memakai helm yang tadi disodorkan oleh Heedo.
            Tiiin!
            Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang membuat Jiwoo dan kawan-kawan sedikit terkejut lalu menoleh ke arah sumber suara. Doyoung sendiri juga tak kalah terkejut karena asal suara klakson tersebut adalah dari mobilnya sendiri. Pelakunya tentu saja adalah Seunghee yang sudah sejak tadi berada di dalam mobil. Doyoung sempat menatap Jiwoo yang juga sudah menemukan sosoknya berdiri di sana, sebelum akhirnya cowok itu masuk ke dalam mobil.
            Jiwoo menepuk pundak Heedo sambil naik ke atas boncengan motor. “Ayo jalan, Do.”
            Sementara di dalam mobil, Doyoung tidak langsung meninggalkan tempat itu. Ia menatap Seunghee cukup tajam. “Ngapain sih?”
            Seunghee melipat tangannya di depan dada, menatap cuek ke luar jendela. “Yang tadi pengen buru-buru pulang siapa?”
            “Ya emang gue,” ujar Doyoung dengan nada sedikit malas.
            “Ya terus ngapain masih bengong? Gue tuh pengen ngehibur lu, Doy.”
            Tatapan Doyoung perlahan melembut. “Gue anter lu pulang, ya?”
            Seunghee menoleh cepat. “Doy! Udahlah ayo ke hotel dulu.”
            Doyoung melebarkan mata. Ia sudah tahu ke mana arah bicara Seunghee. “Lu itu temen gue. Bukan…”
            Seunghee memegang tangan Doyoung hingga membuat ucapan cowok itu terpotong. “Doy. Gue Cuma ngelakuin ini ke kalian. Karena gue percaya kalian.”
            Doyoung menghela napas. Ia lalu mengenggam balik tangan Seunghee. Menatap cewek itu untuk memberikan pengertian. “Iya gue tau. Kita kenal udah lama. Tapi maaf, gue nggak mau ngotorin lu lebih dari ini. Karena lu temen gue. Sahabat gue.”
            Seunghee menarik kembali tangannya, tanpa merespon ucapan Doyoung sedikitpun. Doyoung sendiri juga lebih memilih untuk melajukan mobilnya, meninggalkan tempat itu.

***

            “Do. Boleh nyender, nggak?”
            Heedo tertawa mendengar pertanyaan Jiwoo. “Sejak kapan kalian harus minta ijin buat nyender ke gue?”
            Jiwoo tidak menjawab. Namun cewek itu merasakan Heedo menarik salah satu tangannya untuk dilingkarkan ke pinggang pemuda itu. Jiwoo sendiri kemudian menyandarkan dagunya pada pundak Heedo.
            “Do. Kalo ada cowok yang nyakitin salah satu diantara kita gimana?”
            “Jelas gue bakal ngebela kalian,” jawab Heedo dengan cepat. Memang bukan pertanyaan sulit. Heedo, Hoshi dan Wooshin sudah berjanji pada diri mereka sendiri untuk melindungi cewek-cewek sahabat mereka.
            “Terus, kenapa sih lu bertiga nggak ada yang pacarana atau bahkan cerita lagi suka sama cewek, gitu?”
            Kali ini Heedo tidak langsung menjawab. Ia menolehkan sedikit wajahnya ke arah samping. Tepat ke arah wajah Jiwoo berada. “Woo. Inget perjanjian kita bahwa diantara kita bertujuh nggak ada yang boleh pacarana satu sama lain sampai setelah kita lulus?”
            “Iya inget banget. Tapi diantara kita Cuma Soyoung doang yang pacaran.”
            “Emang lu pengen pacarana juga, Woo?”
            “Eh?” Jiwoo yang tidak siap dengan pertanyaan Heedo sempat menjauhkan wajahnya dari pundak Heedo. Namun hanya sesaat, gadis itu kembali bersandar di sana. “Nggak gitu, Do. Ngapain pacaran kalo gue bahkan punya kalian yang bisa lebih dari pacar.”
            Heedo tersenyum. Jiwoo bisa melihatnya dari dalam kaca spion. “Gue bertiga juga pernah ngebahas hal serupa. Kalo ditanya ada cewek yang ditaksir atau nggak ya jawabannya ada. Tapi diantara kita nggak ada yang niat buat deketin cewek itu. Karena, gue pribadi pengen liat kalian nikah sama seseorang yang pantas. Gue nggak akan nikah duluan sebelum kalian para cewek.”
            “Kenapa gitu?”
            “Woo, kita Cuma perjanjian nggak saling pacaran sampai lulus, kan? Kalau setelah lulus gue udah kerja, sambil lanjut S2 mungkin, terus gue pengen nikahin lu gimana?”
            Jiwoo sempat terdiam untuk mencerna kalimat Heedo. “Jujur, gue sih nggak bakal nolak kalian meski itu si Hoshi nyebelin sekalipun.”
            “Tapi feeling gue sih jodoh gue salah satu antara kalian.”
            Jiwoo tertawa keras. “Sumpah Heedo, gue udah serius dengerinya.”
            “Diiih, beneran Woo.”
            “Yaudah, yaudah. Kira-kira siapa, Do?” Jiwoo terdengar mengalah.
            “Ya nggak tahu. Gue mah sama siapa aja asal salah satu dari kalian. Atau kalian berempat juga terima dengan ikhlas, Woo.”
            Jiwoo kembali menertawai ucapan Heedo. “Jangan serakah napa, Do. Bagi Wooshin sama si Hoshi juga lah.”
            “Iya nanti gue bagi kalo inget ya.”
            Lalu mereka kembali tertawa. Menertawai khayalan mereka di masa depan. Tentang bagaimana jika Hoshi menikah dengan Hayoung atau dengan Euijin. Lalu bagaimana jika Heedo yang menikah dengan Jiwoo. Sampai akhirnya Heedo menghentikan motornya tepat di depan rumah Jiwoo. Keduanya masih belum benar-benar bisa berhenti tertawa.
            “Gue langsung balik ya, Woo.”
            “Hati-hati, Do. Makasih banget udah jemput.”
            “Udah tugas gue, Woo.”
            Kali ini Heedo benar-benar sudah pergi bersama motornya. Menyisakan Jiwoo yang masih menatap kepergian Heedo. Tersenyum untuk bersyukur karena ia memiliki sosok seorang Heedo di sisinya. Sahabat terbaiknya. Jiwoo bahkan lupa tentang sakit hatinya karena Doyoung. Meski Doyoung bahkan tidak melakukan apa-apa.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar