Sabtu, 02 Maret 2013

BLACK ORCHID (part 5)


        “Kau tau? Aku sangat suka dengan apartmen ini. Meski sederhana, tapi aku sangat nyaman di sini.” Kata Sun Woo setelah meletakkan satu kaleng minuman ke hadapan Joon. Kemudian duduk di samping Siwon. “Awalnya aku sangat ingin membeli untuk ku tempati jika aku ke sini. Namun sang pemilik sangat berat melepasnya.”
        Joon mengedarkan pandangannya. Apartmen ini memang tidak sebesar dan semewah apartmen yang ia tempati saat ini.
        “Ku rasa dia mulai tidak nyaman di sini.” Siwon melirik Joon dengan tatapan mengejek.
        “Aku?” Joon menunjuk dirinya sendiri lalu tersenyum pahit. “Apa yang kau tau tentang ku?” sindirnya. Tak ada yang menjawab. “Tapi ku rasa, pilihan kalian untuk tinggal di sini cukup tepat. Setidaknya, akan mengurangi kecurigaan.”
        “Hanya ini tempat yang ku dapat. Dan kebetulan, pemiliknya adalah teman ku.” Kata Sun Woo.
        Joon menatap Sun Woo penuh arti. “Bagaimana kalau kalian tinggal di tempat ku? Kita bertukar tempat?” tawar Joon.
        “Tidak akan.” Tolak Sun Woo. “Karena Siwon pasti akan membawa gadis-gadis menginap di apartmen kami.”
        Siwon yang tak terima melempar Sun Woo dengan kaleng minuman yang telah kosong. “Kapan kau melihat ku membawa gadis menginap ke rumah?”
        Sun Woo tertawa keras melihat kemarahan kakaknya.
        “Atau jangan-jangan, malah kau yang sering membawa gadis ke apartmen mu?” Tanya Sun Woo tak sopan ke Joon.
        Joon melirik Sun Woo santai. Lalu tersenyum. “Hei…! Aku ini seorang pembunuh! Bukan seorang playboy.” Tegasnya. “Meski pun ada gadis tinggal bersama ku, itu karena dia tak mengetahui jatidiri ku yang sebenarnya.”
        “Ya sudahlah… aku ingin tidur…” gumam Sun Woo dan berlalu begitu saja seperti tak menangkap sesuatu yang janggal dengan ucapan Joon tadi.
        Tersisa Siwon bersama Joon. Beberapa kali Siwon memperhatikan kondisi Joon. Namun sepertinya, Joon menyadari apa yang tengah di lakukan temannya itu.
        “Apa kau sudah tak menyukai gadis, hah?” sindir Joon.
        Siwon tergelak. “Aku hanya memastikan kondisi mu. Dan menurut ku, kau sangat terlihat baik.” Siwon menganalisis. Sementara Joon masih terlihat santai sambil sesekali menenggak minumannya. “Tapi aku tenang karena melihat mu tak terlalu lama terpuruk.”
        Joon menoleh penuh arti.
        “Maaf, Joon.” Sergah Siwon cepat-cepat. “Aku bukan ingin mengingatkan, tapi kondisi mu sangat buruk ketika ibumu menghilang.”
        Joon diam tanpa ingin mempermasalahkan ucapan Siwon.
        “Apa setelah kau pindah ke sini, ada seorang gadis yang sudah menarik perhatianmu?” tebak Siwon.
        Joon tertawa menanggapinya.
        “Waah… ternyata benar dugaan ku.” Kata Siwon senang.
        “Hei… sudahlah…” ujar Joon belum bisa menguasai rasa malunya, namun ia juga tak ingin mengatakan bahwa ada Haesa di sampingnya ketika ia terpuruk akibat kabar tentang kematian ayahnya. “Lebih baik kita menyaksikan pertandingan sepakbola.” Pinta Joon hingga akhirnya Siwon meraih remote tivi.
        Siwon menggeleng menanggapi sikap temannya. “Kau sudah banyak berubah rupanya.”
        “Tapi profesiku sebagai pembunuh tidak bisa di rubah.” Kata Joon datar sambil memfokuskan matanya ke layar tivi.
        “Sudahlah… jangan bahas itu.” Siwon terlihat enggan merespon lebih dalam tentang profesi Joon yang terpaksa di lakukan temannya itu.

@@@

        “Ibu… aku pulang.” Teriak Taemin ketika memasuki rumahnya. “Ibu…” teriaknya lagi namun tak ada suara. Taemin berjalan hingga memasuki area dapur rumahnya. Ia menemukan seorang wanita yang sedang berkutat dengan masakan. “Ibu…?” tegurnya sekali lagi. Namun ada yang berbeda dengan wanita itu.
        “Sun Woo?” kata wanita itu setelah membalikkan badan. “Kau sudah pulang?” lanjutnya sambil kembali memasak.
        ‘Tante?’ Tanya Taemin dalam hati. ‘Pantas saja ada yang aneh. Ibu kan tidak bisa masak.’ Komentarnya. Namun Taemin malah tertarik untuk duduk dan mungkin bisa mencicipi masakan kakak dari ayahnya tersebut.
        “Kau pasti lapar?” Tanya Yoo Ra semangat sambil membawakan beberapa menu makanan yang baru saja dia buat ke hadapan Taemin.
        ‘Ini pertama kalinya aku makan masakan rumah.’ Ucap Taemin terharu. ‘Sebenarnya apa yang terjadi dengan mu tante?’ Taemin menatap Yoo Ra penuh haru.
        “Kenapa masih diam?” Yoo Ra membuyarkan lamunan Taemin. “Ayo cepat di makan.”
        “Iya tante.” Kata Taemin yang langsung menyendokkan nasi ke dalam piringnya.
        “Sebenarnya aku sangat ingin di panggil ‘ibu’.” Ujar Yoo Ra sedih kemudian berusaha untuk tetap tersenyum. Taemin sendiri langsung diam dan sedikit merasa bersalah. “Tapi itu tak masalah. Kau bisa memanggilku apapun yang nyaman untuk mu.”
        Taemin hanya sanggup mengangguk lemah.

@@@

        Sore itu Haesa, Cheondung, Sandeul dan Jinyoung terlihat keluar dari pintu stadion. Mereka baru saja menyaksikan Minho bertanding sepakbola.
        “Kenapa?” Tanya Cheondung ke Jinyoung yang berjalan di sampingnya, karena bossnya terlihat sedikir resah.
        “Kakak menyuruhku cepat kembali ke café. Kita sudah tidak ada acara, kan?” harap Jinyoung.
        “Kalau kau mau, kau bisa pulang dengan Sandeul. Aku ingin menemani Haesa bertemu Minho.” Kata Cheondung memberi saran.
        “Bukan ide yang buruk.” Gumam Jinyoung senang. “Sandeul?” panggilnya, Sandeulpun menoleh dan menatap menuh Tanya. “Kau mau pulang bersama ku?” tawarnya. “Cheondung dan Haesa ingin menemui seseorang dulu setelah ini.”
        “Oke…” kata Sandeul tanpa pikir panjang.
        Setelah itu, Jinyoung dan Sandeul pun berpamitan lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Haesa dan Cheondung.
        “Ku pikir kalian sudah pulang?” suara seseorang dari arah belakang membuat Cheondung dan Haesa kompak berbalik.
        “Minho?” kata Cheondung dan Haesa kompak.
        “Aku merindukanmu…” kata Minho menggoda dan seenaknya menarik Haesa ke dalam pelukannya.
        “Jangan terlalu erat!” protes Haesa. “Aku tak bisa napas.” Ujarnya sambil berusaha melepaskan diri dari badan Minho yang lebih besar darinya.
        Cheondung menarik tangan Minho. “Kau bisa membunuh teman ku! Mengerti!” ia memperingatkan.
        Minho hanya tertawa sambil melepaskan Haesa. “Rasanya aku tak ingin melepaskanmu.” Gumam Minho sambil mencubit pipi Haesa dengan gemas.
        “Jika seperti ini, rasanya aku ingin cepat-cepat dilepas oleh mu.” Kata Haesa membuat Minho melotot padanya. Namun gadis ini hanya menertawai reaksi Minho. “Baekhyun?” gumam Haesa girang karena sebenarnya Minho tidak datang seorang diri.
        “Kau kekasihnya Minho?” Baekhyun balik bertanya tak kalah semangatnya.
        “Aku sudah mewujudkan impian mu bertemu Baekhyun. Apa kau masih ingin aku melepaskan mu?” tegas Minho memastikan.
        Haesa sedikit tak mempedulikan sikap Minho yang kekanak-kanakan. Dan kini gadis itu sudah berdiri di samping Baekhyun. “Minho. Pinjam ponselmu.” Pinta Haesa sambil mengulurkan tangan.
        “Untuk apa?” protes Minho tak senang. Namun ia tetap mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana trainingnya.
        “Fotokan aku bersama Baekhyun.” Perintah Haesa seenaknya sambil merapatkan badan ke samping Baekhyun. Minho terlihat sangat kesal. Lalu Baekhyun terlihat sangat senang hingga ia sulit mengatur ekspresi wajahnya. Sementara Cheondung hanya memperhatikan pemandangan di hadapannya dengan senyum.
        Meski cemberut, Minho tetap melakukan apa yang dipinta kekasihnya. “Sudah.”
        “Baekhyun… terima kasih banyak ya. Aku senang bisa berfoto dengan mu.” Kata Haesa sambil menjabat tangan Baekhyun. “Tangan mu dingin.”
        “Iya… mungkin karena aku terlalu senang. Jadi tangan ku terasa dingin.” Ujar Baekhyun beralasan untuk menutupi rasa malunya. “Lain kali aku ingin bertemu lagi dengan mu.”
        “Benarkah?” kata Haesa takjub. Bagaimana tidak, seorang pemain sepakbola yang ia idolakan, justru mengajaknya untuk bertemu lagi.
        “Tidak akan ku biarkan kalian bertemu lagi.” Sergah Minho kesal membuat senyum Haesa perlahan memudar.
        “Yasudah… Cheondung ayo kita pulang.” Ajak Haesa.
        Cheondung menatap Minho dan Baekhyun berpamitan sebelum akhirnya menyusul Haesa.
        “Heh… tunggu dulu…” kata Minho cepat-cepat menarik tangan Haesa sebelum gadis itu pergi lebih jauh. “Aku ingin bicara berdua.” Ajak Minho membawa Haesa sedikit menjauh dari tempat Baekhyun dan Cheondung berada.
        “Apa?” Tanya Haesa yang sudah tak bersemangat.
        “Aku menderita sejak ponselmu hilang.” Minho mengulurkan ponsel yang berada dalam genggamannya. Haesa menatap Minho bingung. “Aku ingin kau menjadi orang pertama yang tau kalau aku sedang mendapatkan libur.”
        “Tapi…”
        Minho memotong ucapan Haesa. “Kita tidak bisa setiap saat bersama. Dan untuk hal ini, aku tak ingin ada penolakan dari mu.” Kata Minho lembut sambil memaksa Haesa menerima ponsel pemberiannya. “Jaga diri mu baik-baik.” Minho berusaha tersenyum sambil mengusap lembut kepala Haesa.
        Haesa tak mampu berkata-kata lagi. Di tambah lagi ia merasakan wajah Minho mulai mendekat ke wajahnya. Haesa menunduk dalam-dalam sambil mencuri pandang melirik jam di tangannya. “Aku hanya bosan makan seorang diri.” Haesa tersentak. Karena tiba-tiba saja ia teringat Joon. Apalagi ini sudah hampir malam.
        “Kenapa?” Tanya Minho yang telah menarik kembali kepalanya.
        “Mulai sekarang kau bisa kembali menghubungiku kapan saja.”
        Minho pun akhirnya tersenyum lega mendengar perkataan Haesa. “Kau hati-hati.” Pesan Minho sebelum berbalik dan berjalan menjauhi Haesa. “Tolong jaga kekasihku.” Kata Minho ketika berhenti sesaat di hadapan Cheondung.
        “Tak perlu kau ingatkan.” Protes Cheondung. Minho kembali tersenyum lalu mengajak Baekhyun pergi dari sana.

@@@

        “Jinyoung!” teriak Eun Gee sambil menerobos masuk ke ruang kerja adiknya di café.
        “Tak bisakah kau bersikap lebih tenang?” protes Jinyoung yang merasa pekerjaannya sedikit terganggu.
        “Kenapa kau tak mengajakku menonton pertandingan sepakbola?” kata Eun Gee sama kesalnya. “Aku juga ingin melihat Sehun!”
        “Kau tidak akan suka di sana. Sudahlah… jika ingin melihat Sehun, kau bisa menyaksikan melalui tivi.” Ujar Jinyoung yang secara tidak langsung menyuruh Eun Gee keluar dari ruangannya. Lalu kemudian kembali berkutat dengan laptopnya tanpa mempedulikan Eun Gee yang kini kesal terhadapnya.
        Dengus Eun Gee kesal sambil menutup pintu ruang kerja Jinyoung dengan kasar. Jinyoung sendiri hanya geleng-geleng kepala menghadapi sikap kakaknya.

@@@

        Joon menghempaskan diri ke atas kasur di ruangannya. Pagi tadi ketika pergi berdua, Haesa memang memaksa Joon membeli kasur baru untuknya. Jelas saja Joon tak bisa menolak. Ia tak ingin berlama-lama tidur hanya beralaskan selimut yang tebal.
Tak lama pemuda itu bangkit. Ia menyapu pandangan ke seluruh sudut ruangan sambil berfikir. Joon seperti melupakan sesuatu. Ia pun segera merapat ke meja tempat laptopnya tergeletak untuk memeriksa akun e-mailnya. Joon pun akhirnya bisa bernapas lega karena tak ada e-mail baru yang masuk.
Joon menoleh ke belakang. Terdapat sebuah lemari besar di sana. Ia pun melangkah mendekat. Lalu membuka salah satu pintunya. Joon menyingkirkan deretan pakaiannya yang tergantung menjuntai. Tersimpan sebuah koper kecil di sana. Pemuda itu pun menariknya keluar. Kondisi koper tersebut tak terkunci. Joon mengerutkan keningnya. Seperti ada yang janggal di sana. Dengan cepat Joon membukanya dan langsung membuat mata pemuda ini membulat seketika.
Benda pertama yang ia cari saat itu adalah ponselnya yang tersimpan di dalam jaket. Ia langsung mencari kontak milik Siwon yang ia namai ‘Andrew’.
“Siwon!” pekik Joon ketika mendapati seseorang diseberang menjawab panggilannya. “Aku kehilangan senjataku.” Ujarnya panik. Bagi seorang pembunuh, kehilangan senjata sama saja kehilangan setengah nyawa mereka. Meski Joon sangat ingin terlepas dari pekerjaan kotornya, tetap saja ia khawatir dengan kejadian ini.
“Bagaimana bisa?” Tanya Siwon tak kalah paniknya. Setelah menyadari Sun Woo memperhatikannya, Siwon langsung meng-loadspeaker agar Sun Woo dapat mendengar apa yang akan diucapkan Joon. “Kapan terakhir kali senjata itu bersamu?” Siwon mengingatkan.
“Semalam aku masih membawanya.” Joon tampak berfikir dan mengingat-ingat. “Astaga!” pekik Joon tiba-tiba. “Ku rasa jatuh di dalam gang sempit itu.”
        “Apa maksudmu?” Sun Woo ikut berbicara.
        “Semalam aku mengikuti Sandeul hingga ke dalam gang sempit. Namun tiba-tiba ada 3 orang yang menyerangku. Aku memang berhasil lolos, tapi aku melupakan senjataku.” Sesalnya.
        “Tiga orang?” Siwon mengulangi ucapan Joon. “Apa mereka orang yang sama seperti yang kau ceritakan waktu itu padaku?” Tanya Siwon untuk memastikan kebenaran analisisnya.
        “Iya, Siwon. Mereka adalah orang yang sama.” Tegas Joon membenarkan.
        “Bagaimana kalau kita ke sana?” saran Sun Woo membuat Siwon menatapnya penuh arti sambil menunggu Joon mempertimbangkannya.
        “Kita ke sana…” Joon tak melanjutkan kata-katanya setelah mendengar bunyi bel di apartmennya. “Maaf, aku tak bisa malam ini.” Tolak Joon karena menyadari orang yang menekan bel apartmennya adalah Haesa.
        “Kenapa? Dan siapa yang mengunjungi apartmen mu?” Selidik Sun Woo ketika mendengar suara bel yang berasal dari apartmen Joon.
        “Dia…” Joon berusaha mencari alasan. “Dia bekerja di sini.”
        “Kau mempekerjakan orang asing?” cecar Siwon tak percaya. “Joon, kau tau kalau…”
        Joon memotong ucapan Siwon. “Kau tak mengerti.” Joon mulai bangkit untuk membukakan pintu bagi Haesa. “Nanti akan ku jelaskan.” Joon mematikan telpon sesaat sebelum membuka pintu utama.
        “Joon… maaf aku pulang terlambat.” Haesa berkata penuh rasa bersalah sambil menerobos masuk. Dan tempat pertama yang ia sambangi adalah dapur. “Apa kau sudah makan?” Tanya Haesa yang sedetik kemudian sibuk mencari-cari sesuatu yang bisa ia masak dari dalam kulkas.
        Joon berdiri memperhatikan Haesa sambil bersandar di ambang pintu menuju dapur. “Sudah.” Tiba-tiba saja Joon menjadi cukup menyesal karena sebenarnya ia sempat makan di apartmen Siwon. “Tapi aku ingin menemanimu makan.”
        “Tidak usah, Joon.” Haesa mendekati Joon sambil mendorong pelan tubuh pemuda itu untuk menjauhi area dapur. “Aku bisa sendiri. Kau beristirahat saja.”
        Joon bertahan dari dorongan Haesa dan tetap berdiri di tempatnya saat ini. “Kau ini tidak sopan, ya!” kata Joon dengan tatapan yang dibuat sesangar mungkin. Tapi nampaknya, itu tidak berlaku jika ia berhadapan dengan Haesa. “Aku ini bos mu!” Joon mengingatkan.
        Haesa langsung diam dan berhenti mendorong tubuh Joon.
        “Cepat lanjutkan memasak.” Kini gantian Joon yang mendorong Haesa untuk kembali ke dapur. “Aku akan menunggu di sini.” Kata Joon sambil duduk di meja makan.
        Dengan terpaksa, Haesa pun kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat sedikit terhambat.

@@@

        Jonghyun dan Yong Hwa tampak menunggu Cheondung dengan resah di dekat pintu belakang café tempat Cheondung bekerja. Tak lama, Cheondung pun muncul hingga membuat Jonghyun dan Yong Hwa terlonjak.
        “Apa semalam tak ada keributan atau apapun di sekitar sini?” cecar Jonghyun tak sabar. Dengan polosnya, Cheondung menggeleng.
        “Kau tau apa yang kami temukan barusan?” Cheondung menatap kakaknya penuh Tanya.
        Jonghyun membuka jaketnya dan menunjukkan sebuah benda yang tersembunyi di dalamnya. Setelah memastikan Cheondung mengetahui apa benda tersebut, Jonghyun pun langsung menutup kembali resleting jaketnya.
        “Senjata? Milik siapa?”
        Jonghyun dan Yong Hwa saling melempar pandangan. “Itu yang ingin kami tanyakan padamu.” Jonghyun angkat bicara.
        Cheondung mengingat-ingat kejadian semalam. Ia pun tak menemukan sesuatu yang janggal di sana. “Tidak terjadi apa-apa.”
        “Apa tidak ada yang menemui mu?” Tanya Jonghyun lagi yang masih penasaran.
        “Haesa, Sandeul dan Minho datang ke sini.” Ujar Cheondung. “Tapi di antara mereka tak ada yang berperilaku ganjil atau pun menemui hal-hal yang tak wajar.” Lanjut Cheondung. “Apa kalian akan melaporkan ke kantor polisi?”
        Jonghyun dan Yong Hwa saling tatap. “Sepertinya aku hanya akan memberi tahu Donghae dan meminta bantuannya.” Kata Jonghyun lalu menatap arloji di tangannya. “Kita harus segera bergerak.” Ajak Jonghyun sambil berdiri. Yong Hwa pun hanya mengangguk setuju kemudian mengikuti Jonghyun.

@@@

        Ketika duduk, tatapan Joon langsung terfokus ke sebuah ponsel yang tergeletak di meja makan. “Ini ponsel mu?” Tanya Joon.
        “Iya. Pemberian dari…” Haesa yang masih sibuk memasak tak menoleh sedikitpun ke arah Joon berada.
        “Kekasihmu?” tebak Joon. Namun Haesa tak menjawab. Diliriknya gambar yang terpampang jelas di layar ponsel. Haesa bersama seorang pemuda. Tapi itu bukan Minho, melainkan Baekhyun. “Kekasihmu seorang pemain sepakbola?” Tanya Joon lagi yang bisa dipastikan ia menyangka Haesa berpacaran dengan Baekhyun.
        Haesa masih berat menjawab pertanyaan Joon. Ia pun duduk di hadapan Joon sambil membawa semangkuk mi instant. Haesa segera mengetahui apa yang ada di pikiran Joon. “Aku tidak berpacaran dengan Baekhyun.” Sergahnya.
        “Syukurlah…” kata Joon membuat Haesa meliriknya penuh selidik. Tapi kemudian, Joon langsung meralat ucapannya. “Maksudku…”
        Haesa hanya tertawa. “Kau kenapa Joon? Sudahlah… jangan membahas itu.” Pinta Haesa.
        Dalam hati, Joon bernapas lega. ‘Apa yang aku pikirkan? Gadis ini anak dari ayahku. Berarti dia adalah sudara ku.’ Joon merutuki diri. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan dirinya. Joon mengeluarkan ponselnya. “Kalau begitu, beri kan aku nomor ponselmu.” Kata Joon yang tiba-tiba memiliki alasan untuk mengalihkan perasaan aneh yang ia alami saat ini.
        Haesa menatap Joon bingung.
        “Apa kau tidak akan memberi tau nomor ponsel pada boss mu?” protes Joon.

@@@

        “Apa kau masih ingin mengusut kasus anaknya Park Jung Soo?” selidik Sungmin saat tak sengaja bertemu dengan Jonghyun bersama Yong Hwa di kantor polisi.
        “Aku hanya ingin bertemu dengan Donghae.” Kata Jonghyun dingin. “Jika kau memang tak ingin membantu, ku mohon jangan halangi ku.” Lanjutnya sambil berlalu begitu saja tanpa mempedulikan keberadaan Sungmin.
        Yong Hwa hanya bisa sedikit mengangguk untuk menyapa Sungmin sebelum akhirnya menyusul Jonghyun ke dalam.
        “Donghae.” Panggil Jonghyun ketika melihat kakaknya keluar dari ruangan sang ayah.
        “Apa?” kata Donghae setelah menoleh.
        Jonghyun langsung mendekati Donghae. “Kau tak akan percaya dengan apa yang aku dan Yong Hwa temui.” Bisik Jonghyun. Donghae membelalakan mata dan menatap adiknya penasaran. “Kau menyimpan data tentang penembakan anak perempuan Sung Byunghae, kan? Ayo kita bicarakan di tempat lain.” Ajak Jonghyun setelah Donghae menganguk.
        “Bicarakan di rumah saja.”

@@@

        Joon menutup pintu ruangannya lalu mengangkat telpon dari Siwon. “Halo, Siwon?”
        “Joon… maaf kami tak bisa menemukan senjata mu.” Kata Siwon sambil sesekali melirik Sun Woo yang duduk di sampingnya. Mereka baru saja kembali dari kegiatan mencari senjata Joon di tempat yang sesuai dengan petunjuk Joon. Dan kini Siwon dan Sun Woo sudah berada di dalam mobil untuk kembali ke apartmen mereka.
        “Sudahlah… jangan dipaksakan jika memang tak bisa ditemukan. Terima kasih telah membantu.” Ujar Joon lalu seenaknya memutuskan telpon dari Siwon.
        Sun Woo menatap kakaknya penuh Tanya. Siwon menghela napas. “Ku rasa Joon yang sekarang bukan Joon yang kita kenal selama ini.” Jelas Siwon namun Sun Woo terlihat semakin bingung. “Tadi dia panic setengah mati senjatanya hilang. Tapi sekarang, dia malah terdengar tak peduli dan mengatakan ‘terima kasih telah membantu’.” Lanjut Siwon sambil menirukan gaya bicara Joon yang sebelumnya.
        Sun Woo malah tertawa menanggapi kekesalah kakaknya. “Sepertinya dia memang menyembunyikan sesuatu.” Selidiknya.
        Siwon menoleh dengan tatapan penuh Tanya.

@@@

        “Apa yang ingin kau ceritakan?” Tanya Donghae tak sabar ketika mengajak Jonghyun dan Yonghwa ke dalam kamarnya sambil melepaskan seragam polisi yang sejak tadi menempel di badannya.
        Jonhyun dengan hati-hati melepaskan jaket kemudian membentangkannya di atas kasur Donghae dengan menunjukkan bagian dalam tempat ia menyimpan benda berbahaya tersebut.
        Donghae terbelalak melihat apa yang di sembunyikan Jonghyun di balik jaketnya. “Dari mana kau mendapatkan ini?” Tanya Donghae namun tatapannya tak beralih dari senjata tersebut.
        “Kau tau kan café milik keluarga Jung Young Woon? Terdapat jalan sempit yang bisa membawa kita ke belakang café tersebut. kami menemukannya di sekitar sana.” Yong Hwa mulai buka suara.
        Donghae terlihat mengangguk karena berhasil membayangkan lokasi yang dijelaskan Yong Hwa dalam pikirannya.
        “Hanya beberapa belokan dari pintu belakang café tersebut.” Jonghyun menambahkan penjelasan Yong Hwa.
        Donghae bangkit menuju meja kerjanya. “Apa yang kalian lakukan di tempat itu?” selidiknya. Ia mengambil sebuah kotak dan membawanya ke hadapan Jonghyun dan Yong Hwa.
        “Adikku bekerja di café itu. Aku sering ke sana untuk menemui Cheondung melalui pintu belakang.” Kata Yong Hwa menjelaskan.
        Donghae sibuk sendiri mengenakan sarung tangan yang ia ambil dari dalam kotak tadi. Namun ia tetap mendengarkan penjelasan Yong Hwa. Donghae mulai membongkar pistol berukuran sedang tersebut untuk mengeluarkan peluru dari dalamnya.
        Yong Hwa merogoh saku jaketnya. “Coba samakan dengan yang ini.” Kata Yong Hwa sambil mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah peluru yang juga ia temukan tak jauh dari lokasi jatuhnya pistol tersebut.
        Donghae meraih dan mencoba membandingkan keduanya. “Ini peluru yang berbeda.”
        Jonghyun dan Yong Hwa saling menatap. Lalu pandangan mereka mengikuti kemana arah langkah Donghae. Pemuda itu menuju sebuah lemari dan mengeluarkan sebuah map dari dalamnya. Donghae kembali ke tengah-tengah Jonghyun dan Yong Hwa sambil membentangkan isi map tersebut.
        “Aku sengaja mengkopi data ini untuk referensiku jika menemukan bukti lain di luar dari kepolisian.” Jelasnya sambil membaca kembali data yang tertulis di dalam map.
        Jonghyun dan Yong Hwa memperhatikan penuh minat dengan apa yang Donghae lakukan.
        “Bukankah itu data tentang kasus yang menimpa Jung Han Yoo, kekasih Choi Seungho?” tebak Jonghyun ketika ikut melihat isi map di hadapan Donghae.
        Donghae mengambil salah satu peluru dengan menggunakan tangan kanannya. “Ini peluru dari dalam pistol itu.” Kata Donghae sambil menunjuk pistol yang ditemukan Jonghyun dan Yong Hwa. “Dan peluru ini bersarang di bagian lengan Han Yoo.” Jelasnya. “Sedangkan yang ini…” Donghae kini mengambil satu peluru lagi yang tersisa. “Ini jenis peluru yang melayangkan nyawa Han Yoo.” Lanjutnya.
        “Apa peluru yang ini…” Yong Hwa menunjuk peluru yang berada dalam tangan kanan Donghae. “…yang menembus lengan Sung Hyo Min juga?” tebaknya.
        “Tepat.” Tegas Donghae. “Itu makanya nyawa Hyo Min masih selamat.”
        Jonghyun sibuk sendiri dengan pikirannya. Kemudian, ia teringat sesuatu. “Kau ingat kasus penembakkan di bank yang melibatkan Seungho?” Tanya Jonghyun kepada Donghae.
        “Ternyata kau berfikir hal yang sama dengan ku.” Donghae menatap Jonghyun kagum lalu membalik-balikkan lembaran pada map di hadapannya. “Ini dia.” Gumamnya setelah menemukan apa yang dimaksud Jonghyun. “Peluru yang digunakan pistol milik Seungho bukan dari dua tipe peluru itu.” Donghae menunjuk dua peluru yang sudah tergeletak di atas jaket Jonghyun. “Tapi dari jenis yang berbeda lagi. Sementara peluru yang bersarang di tubuh korban, Kim Soo In, adalah yang ini.” Jelas Donghae sambil mengangkat tangan kirinya yang menggenggam peluru temuan Yong Hwa.
        Yong Hwa menatap Jonghyun penuh arti. “Sepertinya target kita sangat berbahaya karena memiliki senjata seperti itu.” Keluhnya.
        “Kau benar.” Kata Donghae. “Pistol dan peluru yang kalian temukan bukan dari jenis yang biasa digunakan kepolisian. Itu termasuk senjata langka dengan harga cukup mahal.”
        “Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap benda ini?” Tanya Jonghyun meminta saran kepada Donghae.
        “Ku pikir, lebih baik jangan kita serahkan ke polisi sampai kita menemukan beberapa petunjuk lain.” Tawar Donghae.
        “Ku rasa itu bukan ide yang buruk.” Yong Hwa menyetujui. “Karena jika sudah jatuh ke tangan polisi lain, berita akan cepat menyebar dan target kita akan melakukan hal yang lebih bahaya karena merasa terancam.” Analisisnya.
        “Kau bisa membantu menyembunyikan ini?” Jonghyun menatap kakaknya penuh harap.
        Donghae terlihat sedikit berfikir. “Ku harap kalian juga membantu.” Ujarnya yang secara tak langsung menyetujui permintaan Jonghyun dan Yong Hwa.

@@@



Tidak ada komentar:

Posting Komentar