Senin, 04 Maret 2013

BLACK ORCHID (part 7)



        “Siwon… Sun Woo…” teriak Joon sambil menggedor pintu apartmen yang ditempati dua temannya itu. “Buka pintunya.”
        Tak lama, Siwon pun tampak membukakan pintu. “Kau?” ujarnya santai.
        Tanpa permisi, Joon pun menerobos masuk. “Kalian harus pindah dari apartmen ini.” Perintah Joon seenaknya.
        “Terus kami harus pindah ke mana?” Protes Sun Woo yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar. “Mencari tempat tinggal tidak mudah. Kau pasti tak mengerti itu? Lagi pula kami telah membayar uang sewa kepada pemilik rumah. Dan sekarang kau seenaknya menyuruh kami pergi dari sini.”
        Joon berusaha memutar otak untuk mendapatkan alasan yang tepat. Namun sepertinya, ia memang harus mengatakan kebenarannya. “Kau ingat, bahwa aku mempekerjakan seseorang di apartmenku?”
        “Tentu saja.” Ujar Sun Woo. “Aku sangat ingat ketika kau mengaku mempekerjakan orang asing. Dan sekarang apa? Rahasiamu terbongkar? Bukankah Siwon telah memperingatkan.” Kata Sun Woo meremehkan.
        “Kau tidak tau apa-apa tentang orang itu.” Protes Joon untuk membela Haesa. Jelas saja, bahkan hingga kini gadis itu sama sekali tak mengetahui sedikitpun tentang jatidiri Joon yang sebenarnya.
        “Sudahlah…” Siwon tampak menengahi. “Kau jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi.”
        “Setelah membunuh Jung Han Yoo, aku menabrak seorang pemuda bernama Kim Kibum.” Joon memulai bercerita. “Dia adalah Trevor, anak dari Roslin.” Siwon sama terbelalaknya dengan Sun Woo ketika mendengar cerita dari Joon. “Dan gadis yang bekerja denganku adalah adiknya Kibum, Fleur.”
        “Fleur bersamamu?” Tanya Siwon memastikan.
        “Sejak kalian memberitauku tentang Fleur dan keluarganya, gadis itu sudah bersamaku. Aku membawanya karena tiga pria itu juga menginginkan Fleur. Mereka akan melepaskanku jika aku menyerahkan Fleur.” Joon melanjutkan ucapannya. “Tapi aku tidak mungkin melakukan itu.”
        “Lalu, apa rencanamu?”
        “Besok Kibum pulang dari rumah sakit. Fleur sudah tidak punya tempat tinggal. Dan tak mungkin Kibum berada di apartmen ku. Jadi, aku mau kalian tinggal di apartmen ku.  Sedangkan Fleur dan Kibum, biarkan mereka tinggal di sini.”
        “Kenapa tidak kau saja yang pindah ke sini?” Sun Woo menyarankan. “Bukankah kau tadi pagi membunuh Kim Jaeseop. Jadi kau bisa sekalian bersembunyi di sini.”
        “Membunuh?” ulang Joon memastikan bahwa ia tak salah dengar.
        “Iya.” Siwon membenarkan. “Seseorang bernama Kim Jaeseop terbunuh tadi pagi di dalam gang sempit tempat kau kehilangan pistolmu waktu itu.” Jelasnya.
        “Kalian tau aku tak memiliki senjata. Jadi, aku tak mungkin membunuh.” Joon tampak membela diri. “Lagi pula, itu terjadi tadi pagi, kan?”
        “Sepertinya ada yang janggal di sini.” Gumam Sun Woo yang masih menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya.

@@@

        Ryeowook baru saja menumpukan piring kotor yang baru saja ia gunakan untuk membawa makanan Hyukjae. “Sepertinya anda terlihat lebih baik sekarang?” kata Ryeowook.
        Hyukjae tersenyum. “Ini berkat kalian. Aku sangat berterima kasih.” Ujar Hyukjae penuh haru.
        “Anda dan keluarga sangat baik kepada kami. Terutama Joon. Sudah selayaknya kami membalas semua kebaikan anda, tuan.” Kata Ryeowook merendah.
        Tak lama, terdengar suara pintu terbuka. Jong Woon pun bergegas masuk ke kamar yang ditempati Hyukjae. “Tuan, maaf mengganggu. Ada yang ingin saya tanyakan.” Ujar Jung Woon serius.
        “Katakan saja, Jung Woon.” Hyukjae terlihat tak keberatan.
        Jung Woon berfikir sesaat untuk mengatur kata-kata yang ingin ia lontarkan. “Sekali lagi saya mohon maaf jika lancang. Tapi saya sangat ingin tau, apakah anda tidak mengetahui asal usul dan berasal dari keluarga mana istri anda tersebut?”
        “Kakak! Apa yang kau tanyakan?” protes Ryeowook mengingatkan Jung Woon. “Tuan, kau tak perlu menjawabnya. Lebih baik anda beristirahat.” Kata Ryeowook menghalangi Hyukjae. Lalu Ryeowook menoleh ke Jung Woon dengan tatapan tajam. “Jangan mengganggu tuan Hyukjae dengan pertanyaan seperti itu.”
        “Ryeowook.” Panggil Hyukjae. “Aku baik-baik saja.” Ujarnya meski masih dengan keadaan bersandar di tempat tidur. “Maaf Jung Woon. Apa yang membuatmu bertanya seperti itu.”
        “Jadi itu benar?”
        Hyukjae menghela napas. “Kenyataan memang tak bisa selamanya disembunyikan. Suatu saat, pasti semua akan terbongkar.”
        Ryeowook terlihat bingung dengan apa yang dipikirkan Hyukjae dan Jung Woon. Namun ia juga cukup penasaran tentang rahasia yang disimpan Hyukjae bertahun-tahun. Sementara Jung Woon, cukup tegang menunggu jawaban yang keluar dari mulut Hyukjae.
        “Aku lah yang menyebabkan Yoo Ra kehilangan ingatannya. Karena aku tak tau dimana ia tinggal, aku memutuskan untuk membawanya pulang. Selang beberapa hari, ada seseorang yang meninggalkan bayi di depan rumahku. Ku lihat dia sangat sayang kepada Joon. Kurasa ia merindukan anaknya, tapi ia tak tau apa-apa. Yoo Ra pula yang menginginkan untuk merawat Joon, sampai akhirnya kami pun menikah.”
        “Apa anda juga tidak tau kalau Park Yoo Ra adalah istri dari Kang Hangeng?”
        Sontak Hyukjae pun mendongak kaget mendengar pernyataan dari Jung Woon.
        “Apa yang kakak katakan?” Ryeowook pun tak kalah terkejutnya dengan apa yang baru saja dikatakan kakaknya.
        “Maaf tuan. Tapi ini adalah kenyataannya.” Ujar Jung Woon yang kemudian keluar meninggalkan ruangan itu.
        Tersisa Hyukjae dan Ryeowook. “Tuan, maafkan sikap kakakku.” Kata Ryewook sambil duduk di tepi ranjang Hyukjae untuk membela kakaknya.
        “Jung Woon tidak salah. Aku yang tidak pernah berusaha mencari tau tentang keluarga Yoo Ra.” Ujar Hyukjae yang juga merasa bersalah.

@@@

        “Aku telah menyewakan sebuah apartmen untuk kau tempati bersama Kibum. Tapi aku mau kau tetap bekerja di apartmenku.” Kata Joon saat menjemput Haesa di rumah sakit.
        Haesa menatap Joon penuh Tanya hingga membuat pemuda itu berhenti dan berbalik. “Kenapa kau melakukan itu padaku?”
        Joon tersenyum dan senyuman itu membuat perasaan Haesa tak karuan. “Bukankah kau bilang kau itu temanku?” Joon mengingatkan apa yang pernah Haesa katakan padanya.
        “Tapi kau bilang, kau tak ingin berteman denganku?” balas Haesa.
        Joon langsung merasa bersalah. “Aku minta maaf untuk itu.” Ujarnya membuat Haesa mengangguk tanpa pikir panjang. “Jadi, kau mau memaafkanku?” Tanya Joon girang.
        “Kau sudah baik padaku seperti ini, mana bisa aku tak memaafkan mu?” kata Haesa polos.
        “Jadi, jika aku tak bersikap baik, kau tak akan memaafkanku?” protes Joon tak terima dengan alasan Haesa.
        Haesa langsung salah tingkah. “Bukan begitu, Joon. Tapi…” ucapan Haesa terputus ketika mendengar Joon tertawa lepas.
        “Sudahlah… kau tak perlu terlalu merasa bersalah seperti itu.” Kata Joon sambil mengacak lembut puncak kepala Haesa hingga membuat gadis itu mendongak dan menatap aneh padanya. Perlakuan Joon saat itu membuat Haesa mengingat Minho. “Aku lapar. Kau juga, pasti belum makan, kan?” Joon menarik tangan Haesa.
        “Joon…” ujar Haesa sambil menahan tangan Joon. “Maaf, aku sudah makan bersama Kibum.”
        Joon menghela napas dan berusaha tersenyum untuk Haesa sambil berbalik. “Tak apa…” Namun pemuda itu tak melepaskan genggaman tangannya terhadap Haesa. “Tapi ku mohon, untuk tak lagi meninggalkan ku jika kau ingin makan.”
        “Kalau gitu, ayo…” gantiah Haesa yang semangat menarik tangan Joon. “Aku akan menemani mu untuk makan dimanapun yang kau mau.” Strategi Haesa untuk menebus kesalahannya pun berhasil. Karena Joon tak bisa menolak ajakan gadis yang satu ini.

@@@

        Seperti hari-hari sebelumnya. Ketika bangun, Joon sudah mendapati Haesa yang sibuk dengan pekerjaannya. Tak terkecuali pagi ini. Dan itu yang membuat Joon tersenyum sendiri.
        Kebiasaan Joon ketika bangun tidur adalah mencuci muka dan menggosok gigi, lalu ia akan menenggak segelas air. Setelah meletakkan gelas di atas meja, Joon mendapati ponsel Haesa berdering karena satu panggilan. Joon melirik nama yang tertera pada layarnya, ‘Choi Minho’. Dan di saat yang sama, ponsel tersebut sudah di sambar oleh Haesa dan dibawa keluar dari dapur.
        “Minho…” sapa Haesa riang kepada seseorang melalui telpon dan membuat Joon menghempaskan badannya ke kursi.
        “Sepertinya kau sangat merindukanku?” goda Minho sambil mendekap gulingnya. Minho memang masih memanjakan diri dengan berbaring di kasurnya. Mungkin hal pertama yang dilakukan Minho pagi itu setelah bangun tidur adalah langsung menghubungi Haesa.
        “Apa aku tak boleh merindukanmu?” Haesa balas menggoda Minho.
        Joon menghabiskan sisa minumannya lalu meletakkan gelas dengan kasar hingga menimbulkan suara benturan di permukaan meja. Pemuda ini pun segera melesat ke dalam kamarnya dan menenggelamkan diri ke dalam selimut sambil berharap suara Haesa tak terdengar lagi di telinganya.
        Minho tertawa tanpa suara mendengar ucapan Haesa yang bisa membuatnya melayang seketika. “Kau harus merindukanku selalu, sayang.” Goda Minho lagi.
        Haesa tertawa lepas mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Minho. “Ada apa kau menelponku pagi-pagi?”
        Keceriaan Minho langsung hilang. “Apa kau tak merindukanku?” Tanya Minho sedih.
        “Kenapa kau tanyakan itu lagi?” protes Haesa.
        “Karena aku sangat merindukanmu, kau tau?” balas Minho.
        Haesa malah tertawa menanggapi ucapan Minho. “Iya aku tau… apa kau sudah mendapatkan libur?” Tanya Haesa bersemangat.
        “Belum, tapi minggu depan aku libur.” Kata Minho memberi pencerahan. “Oiya, tadi pagi kakakku Seungho menelpon, dia bilang dia ingin berbicara sesuatu denganmu.”
        “Bicara apa?”
        “Aku juga tidak tau.” Minho memberikan jeda sedikit dalam ucapannya. “Jika kau punya waktu, temui dia di kantor.”
        Haesa hanya mengagguk tanda mengerti. “Oke… aku akan ke sana sebelum menemani Kibum di rumah sakit.”
        “Yasudah… aku hanya ingin mengatakan itu. Karena aku ingin kembali melanjutkan tidur.” Ujar Minho sambil menarik kembali selimut untuk menutupi badannya hingga leher.
        “Baiklah… sampai jumpa…”
        “Tunggu…” kata Minho cepat-cepat sebelum Haesa sempat mematikan sambungan telpon. “Hanya itu? Kau tak memberikan aku ciuman?” protes Minho.
        “Tidak akan.” Kata Haesa tegas.
        “Tapi Kibum…”
        “Kau tak bisa protes untuk itu!” omel Haesa. “Kibum adalah kakakku, jadi kau tak bisa melarangku menciumnya.”
        “Jadi, kau tak akan memberikanku ciuman?” Tanya Minho manja.
        “Aku pasti akan memberikannya, Minho…” kata Haesa memberi harapan.
Sontak Minho langsung kembali bersemangat. “Kapan?”
“Nanti, setelah kita menikah.” Tegas Haesa. “Sudah sana kembali tidur.” Ujar gadis ini sebelum Minho kembali melancarkan protes. “Jangan lupa sampaikan salamku untuk Baekhyun.” Kata Haesa sebelum benar-benar mematikan sambungan telpon Minho.
“Hei…! Haesa! Tunggu…” teriak Minho. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, pemuda ini menatap layar ponselnya. Hanya tertera wallpaper foto dirinya bersama Haesa. “Kenapa kau selalu menitipkan salam untuk Baekhyun? Apa kau tak bosan?” Minho memarahi ponselnya yang ia ibaratkan sebagai Haesa. Plak…! Sebuah bantal mendarat mulus di wajah Minho membuat pemuda ini menoleh. “Apa?” Tanya Minho galak.
“Kau yang bertengkar dengan kekasihmu, kenapa malah aku yang disalahkan?” protes Baekhyun yang juga menjadi teman sekamar Minho di asrama tim.
“Karena kekasihku sangat menggilaimu. Dan aku tidak suka itu.” Kata Minho tak terima dan langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya sambil membelakangi Baekhyun.

@@@

        Pagi ini, Taemin kembali menjadi orang terakhir yang bergabung di meja makan. “Kenapa kau selalu kesiangan, Taemin?” tegur Soo Ra ketika melihat anak bungsunya muncul.
        Taemin tak menjawab, karena saat itu ia terfokus pada kursi kosong yang biasa ditempati ayahnya, Park Jung Soo. “Ayah mana, bu?”
        “Ayahmu mendadak ada tugas keluar kota semalam.”
        Taemin duduk berseberangan dengan Soo Ra dan menatap ibunya dalam-dalam. “Apa ayah menghindariku?” selidiknya.
        Soo Ra, Kyuhyun dan Hyun Rae saling melempar pandangan. “Kenapa kau sibuk ikut campur urusan wanita gila itu, hah?” tegur Hyun Rae yang duduk tepat di samping Taemin sambil berbisik dengan nada tak suka.
        Taemin melirik Hyun Rae sambil tersenyum meremehkan. “Apa yang kau tau tentang tante Yoo Ra?” tantangnya. Hyun Rae tak bisa menjawab. “Dia tidak gila.” Bela Taemin. “Dia hanya merindukan anak-anaknya. Dan kau tidak tau seperti apa rasanya.”
        “Jelas saja! Aku kan belum menikah, apalagi mempunyai anak.” Hyun Rae membela dirinya.
        “Kalau begitu, cepat suruh Sungmin menikahi mu agar kalian bisa punya anak lalu aku akan menyuruh orang untuk menculik anakmu. Dan dengan demikian, kau akan tau bagaimana sakitnya kehilangan seorang anak.” Cecar Taemin tak mau kalah.
        Hyun Rae kembali tak bisa menjawab pertanyaan Taemin. Ia pun melirik Kyuhyun yang dengan santainya menikmati sarapan. Lalu Kyuhyun menyadari tatapan kakaknya dan hany mengangkat bahu. “Aku tak ikut campur.” Ujarnya santai.
        “Taemin… sudahlah…” tegur Soo Ra lembut. “Kau jangan membahas itu lagi.” Pintanya.
        “Ibu membela kakak?” protes Taemin. “Apa masih kurang sakit ibu kehilangan salah seorang anak ibu?”
        Semua mata sontak mendongak dan menatap Taemin. “Apa maksud mu?” Tanya Kyuhyun.
        “Benar, kan? Ibu memiliki seorang anak laki-laki lagi selain aku dan Kyuhyun?” desak Taemin. Soo Ra menunduk dan tak menjawab pertanyaan Taemin. Taemin pun menghela napas untuk menenangkan diri. “Sudahlah. Aku harus berangkat.” Ujarnya sebelum meninggalkan meja makan.
        “Ibu, apa benar semua yang dikatakan Taemin?” Tanya Hyun Rae lembut setelah Taemin keluar rumah. Sementara Kyuhyun sudah merangkul ibunya yang hampir menangis.

@@@

        “Joon…! Buka pintunya…!” teriak Haesa sambil menggedor pintu kamar Joon.
        “Kau sudah selesai menelpon kekasihmu?” kesal Joon setelah membuka pintu.
        Haesa menghela napas dan tak habis pikir dengan sikap Joon sekarang. “Ayo cepat kita sarapan. Aku ingin menemani Kibum. Dia tak jadi pulang hari ini.” Ajak Haesa sambil melangkah menuju dapur. Namun baru beberapa langkah, Haesa berhenti dan berbalik menghadapn Joon yang masih berdiri di depan kamarnya. “Aku lapar. Jadi, ku harap kau tak protes jika aku makan duluan.”
        Joon segera menyusul dan duduk berhadapan dengan Haesa yang sudah memulai sarapannya.
        “Kau mau pergi kapan?” Tanya Joon ketika menyendokkan makanan ke dalam piringnya.
        “Setelah sarapan.” Jawab Haesa singkat.
        “Kalau gitu, aku antar. Aku juga ingin keluar.” Kata Joon yang tak ingin dengar kata penolakkan.

@@@

        Taemin duduk seorang diri di halte bus. Ia melirik jam tangannya. Sudah terlalu terlambar untuk berangkat ke sekolah. Namun Taemin juga tak berniat mengejar waktu untuk segera masuk sekolah apalagi untuk kembali pulang ke rumah. Ia masih terlihat santai di sana. Taemin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di ujung jalan, ia melihat sosok Jinyoung berjalan menuju gang sempit yang bisa menembus ke belakang cafenya. Tanpa pikir panjang, Taemin pun menyeberang dan berniat untuk mengejar Jinyoung.
        Tak lama setelah Jinyoung berbelok, dari arah berlawanan Taemin melihat Cheondung juga menuju jalan yang sama dengan Jinyoung. Ia pun sedikit memperlambat gerakannya namun tetap mengawasi gerak gerik dua orang di depannya tadi. Setelah beberapa menit menelusuri gang, Taemin mengintip dari belokan dan mendapati Cheondung yang baru saja masuk ke dalam café melalui pintu belakang. Taemin kembali mengawasi sekitar, lalu kembali mengendap-ngendap menyusul Cheondung masuk ke dalam café.

@@@

        Pagi-pagi sekali Jinyoung telah sampai di café karena ia punya janji dengan Cheondung untuk bertemu sebelum karyawan lain datang. Ia pun segera masuk ke dalam ruangannya dan langsung menyalakan laptop yang dibawanya dari rumah.
        Tak lama terdengar suara pintu terbuka dengan kasar. “Kau menemukan sesuatu?” cecar Cheondung tak sabar saat baru sampai. Karena tak mungkin Jinyoung mengajaknya bertemu seperti ini jika tidak terjadi sesuatu.
        “Kau lihat ini.” Kata Jinyoung tanpa menoleh.
        Cheondung menarik kursi dan duduk di samping Jinyoung. Tatapannya langsung focus ke layar laptop di hadapan Jinyoung. “Siapa itu Shin Donghee?”
        Jinyoung menoleh. “Itu yang ingin ku tanyakan juga. Apa kau mengenal orang itu?” namun Cheondung tak menjawab, hingga akhirnya Jinyoung kembali menatap layar laptopnya. “Aku berhasil menjebol akun milik orang itu.”
        “Jadi, otak dari pembunuh bayaran itu adalah Shin Donghee? Dan Russel hanya sebagai pekerja saja?”
        “Ku rasa memang seperti itu.” Jinyoung mengangguk menyetujui pemikiran Cheondung. “Astaga!” Jinyoung tersentak membuat Cheondung semakin mendekatakan wajahnya ke layar laptop. “Lihat ini.” Tunjuk Jinyoung. “Kau tau Kim Jaeseop? Orang yang kemarin pagi tewas tertembak tak jauh dari belakang cafeku.”
        “Tidak tau.” Cheondung menggeleng. “Tapi aku memang mendengar berita itu kemarin dari Yong Hwa.” Jelasnya.
        “Ternyata Jaeseop menjadi anak buah Shin Donghee. Namun yang janggal adalah, kenapa dia malah di suruh untuk membunuh Russel?” Jinyoung melirik Cheondung penuh Tanya.

@@@

        Haesa tiba di kantor polisi. Di depannya, ada seseorang yang sepertinya ia kenal. “Jonghyun…” teriak Haesa sambil mengejar. Pemuda itu pun berhenti dan berbalik.
        “Haesa?” Tanya Jonghyun heran mendapati gadis itu berada di kantor polisi. “Ada apa kau datang ke sini?”
        “Aku ingin menemui Seungho. Kata Minho, dia mencariku.” Jelas Haesa sambil berjalan di samping Jonghyun.
        Jonghyun mengangguk menanggapi cerita Haesa. “Apa kau sudah mendapat informasi tentang Russel?”
        Haesa benar-benar melupakan bahwa ia diberikan sebuah misi untuk menemukan seseorang yang memiliki nama samaran ‘Russel’. Apalagi sejak perkenalannya dengan Joon.
        “Ku akui, tugasmu memang tidak mudah.” Lanjut Jonghyun tanpa mencurigai sesuatu pada Haesa. “Apa kau sudah menemui Kibum? Ku dengar ia akan pulang hari ini.” Kata Jonghyun mengalihkan pembicaraan.
        “Aku sudah menemuinya. Tapi kakakku tidak jadi pulang hari ini.”
        Jonghyun masih sedikit bertanya tentang kondisi Kibum. Lalu ketika hendak berbelok ke tangga, langkah mereka terhenti dengan kehadiran Donghae dari arah berlawanan.
        “Jong?” kata Donghae, lalu ia melirik seorang gadis yang berdiri di samping adiknya. “Kenapa kau membawa kekasihmu ke sini? Kalau kau ingin mengenalkan pada ayah, kau kan bisa mengajaknya ke rumah.” Ujar Donghae sesuka hati.
        Jonghyun dan Haesa saling tatap. “Apa yang kau bicarakan?” protes Jonghyun sambil melirik kakaknya dengan tatapan tajam.
        “Apa aku salah bicara?” Donghae membela diri.
        “Haesa bukan kekasihku! Dia datang ke sini untuk menemui polisi Seungho.” Tegas Jonghyun untuk member penjelasan kepada kakaknya.
        “Kalau begitu, kau adalah kekasih Seungho yang baru?” kali ini Donghae bertanya langsung kepada Haesa.
        “Tidak… bukan seperti itu…” kata Haesa cepat-cepat.
        “Haesa? Kau sudah di sini?”
        Jonghyun, Haesa dan Donghae sama-sama menoleh ke arah belakang Donghae. Seungho muncul dari atas tangga.
        “Jadi, benar? Kau sudah memiliki kekasih baru? Waahh… kau hebat.” Puji Donghae sambil penepuk pundak Seungho.
        Seungho menatap Donghae bingung lalu beralih menatap Jonghyun dan Haesa bergantian untuk meminta penjelasan. Namun sedetik kemudian, Seungho pun menyadari kesalah pahaman yang terjadi pada Donghae.
        “Haesa ini kekasih adikku, Minho. Aku memang ada perlu dengannya saat ini.” Jelas Seungho. “Ayo ikut aku.” Seungho mengajak Haesa meninggalkan Jonghyun dan Donghae.
        “Kenapa kau tak bilang?”
        Jonghyun hanya menggeleng heran dengan apa dilakukan seorang polisi seperti Donghae.

@@@

        Jinyoung keluar dari ruangannya yang diikuti Cheondung dibelakangnya. Mereka pun terkejut mendapati Taemin yang berdiri membeku di depan pintu.
        “Taemin? Sedang apa kau?” selidik Jonghyun.
        “Aku melihat Jinyoung saat menunggu bus. Namun karena aku sudah terlambat untuk ke sekolah, aku memutuskan mengikutimu. Dan tak ku sangka, Cheondung juga menuju ke sini.” Jelas Taemin tak lama saat Jinyoung dan Cheondung mengajaknya duduk di meja café.
        “Ku harap kau tak mengatakan kepada siapapun apa yang kau dengar tadi.”
        Taemin mengangguk mantap. “Asal kalian juga mau jujur padaku.” Taemin melirik Cheondung. “Terutama kau.” Tegasnya.
        Jinyoung melirik hati-hati ke Cheondung. Namun pemuda itu terlihat santai saja menanggapi Taemin.
        “Beri tau padaku, apapun yang kau ketahui tentang anak laki-laki Park Jung Soo yang hilang 19 tahun lalu.” Taemin menunggu Cheondung untuk menjawab.
        “Aku memang tau tentang itu. Tapi untuk lebih jelasnya, aku akan mempertemukanmu pada Jonghyun dan Yong Hwa. Mereka yang tengah menyelidiki kasus itu lagi.”

@@@

        “Bukankah aku sudah pernah bilang, aku yang bertanggung jawab atas biaya perawatan ibumu di rumah sakit.” Kata Seungho saat mengajak Haesa berbicara di ruangannya.
        Haesa hanya tersenyum bersalah dan tak bisa menjawab pertanyaan Seungho.
        “Dari mana kau mendapatkan uang?” desak Seungho.
        “Aku…” Haesa berusaha mencari alasan. “Tapi ku mohon jangan katakan apapun ke Minho.”
        Seungho menghel napas. “Sekecil apapun masalahmu, coba lah untuk terbuka ke Minho. Kalian berpacaran bukan baru hitungan bulan. Kau tau, Minho menderita jika ia mengetahui sesuatu tentangmu dari orang lain.”
        Haesa menunduk dan semakin merasa bersalah setelah mendengar cerita tentang Minho dari mulut Seungho.
        “Bukankah aku sudah pernah bilang, kau sudah ku anggap seperti adikku sendiri.” Seungho menghela napas dan diam sejenak.
        Haesa memberanikan diri untuk menatap Seungho. “Apa kau pernah mendengar sesuatu dari masa lalu ku?”
        Seungho mengerutkan dahi. “Tentang apa maksudmu?” pemuda ini balik bertanya.
        “Kau pasti tau, kita sama-sama sudah tidak memiliki ayah. Bahkan lebih parahnya, kita sama sekali tidak tau tentang siapa ayah kita. Dan yang semakin membuatku bingung adalah, aku direkrut sebuah agensi dan ditugaskan untuk mencari pemuda dari anak seorang pembunuh bayaran.”
        “Kau?” kata Seungho dengan tatapan tak percaya. “Siapa yang…”
        “Keluarga Sung Byunghae.” Sergah Haesa yang seolah mengetahui apa yang dipikirkan Seungho. “Aku hanya tak ingin Minho terlalu khawatir. Apalagi aku telah menjual apartmen untuk biaya perawatan Kibum.”
        “Biaya perawatan Kibum?” Seungho mengulangi perkataan Haesa.
        “Kakakku kecelakaan.”
        “Di mana kau tinggal sekarang?” Tanya Seungho mulai khawatir.
        “Aku bekerja di sebuah apartmen dan tinggal di sana.” Haesa diam sesaat. Sementara Seungho sibuk dengan pikirannya sendiri. “Sekarang terserah kau mau berkata apapun ke Minho. Tapi aku tidak ingin Minho mengetahui kondisiku.” Kata Haesa setelah ia bercerita lebih rinci tentang kehidupannya saat ini.

@@@

        Yong Hwa tampak tengah membereskan beberapa peralatan yang ia bawa bersama band-nya ketika melakukan penampilan di salah satu restoran. “Kau sudah tanyakan ke ayahmu?” bisik Yong Hwa kepada Geun Suk saat temannya itu sedang menutup resleting gitar miliknya.
        Geun Suk mengawasi sekitar, terutama dua teman band-nya yang lain, Hongki dan Jung Shin yang sibuk dengan pekerjaan mereka.
        “Itu barang langka. Ayahku sedang menyelidiki lebih lanjut. Tapi perkiraannya, pemilik senjata tersebut bukan penduduk di kota ini.” Jelas Geun Suk.
        Yong Hwa mengangguk mendengarkan penjelasan temannya. “Kau pastikan rahasia ini aman.” Yong Hwa memperingatkan.
        “Kau tenang saja.” Geun Suk mengangguk tegas.
        “Terima kasih.” Kata Yong Hwa sebelum akhirnya berdiri lalu menuju salah satu meja untuk pengunjung di restoran tersebut. tak lama, tiga temannya ikut bergabung duduk bersama Yong Hwa.
        “Malam ini dan besok kita tampil di café ‘crush’.” Jung Shin mengingatkan tiga temannya.
        “Apa kita tidak punya waktu libur?” keluh Hongki sambil merosotkan punggungnya di sandaran kursi.
        Yong Hwa tampak tak menghiraukan perdebatan dua temannya. Kali ini tatapannya tak lepas dari tiga orang yang baru saja masuk ke dalam restoran. Yang pertama mengenakan kacamata berlensa besar. Lalu ada yang bertubuh paling tinggi. Dan yang terakhir memiliki tubuh paling mungil dengan mata sipit. Mereka semua mengenakan pakaian serba hitam dan mengambil tempat duduk cukup jauh dari tempat Yong Hwa berada.
        Namun yang paling menarik perhatian Yong Hwa adalah pemuda paling tinggi. Ia merasa pernah bertemu dengan pria yang memiliki tubuh seperti itu. Sesaat Yong Hwa melirik tiga temannya yang mulai sibuk dengan urusan masing-masing.
        “Aku mau ke toilet sebentar.” Kata Yong Hwa. Namun hanya Geun Suk yang mendongak sesaat sebelum akhirnya Yong Hwa beranjak dari sana.       Pemuda ini pun melangkah dengan pasti ke arah meja yang ditempati tiga pria itu. Namun ia hanya sekedar lewat hingga tak menimbulkan kecurigaan dari ketiganya.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar