Rabu, 20 Februari 2013

3twins (part 1)


Satu…

SMA DEPORTIVA…
        Salah satu dari sekian banyak sekolah elite di Jakarta. SMA Deportiva memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan sekolah lainnya. Mereka memiliki siswa kembar. Dan tak tanggung-tanggung, kembar tiga. Ketiganya siswa laki-laki. Namun tak perlu khawatir akan tertukar dari ketiganya. Karena masing-masing memiliki sifat, karakter, skill dan penampilan yang berbeda. Satu hal yang paling terpenting, tiga anak kembar ini adalah siswa paling popular.
        Salah satu diantaranya bernama Ricky. Lengkapnya Ricky Airlangga. Selain punya tampang cakep, Ricky juga terkenal ramah kepada siapa saja. Tapi terutama cewek-cewek yang menurutnya cakep. Terang saja, Ricky mendapat julukan playboy. Meski demikian, siswa yang masuk di kelas 3 ipa 1 ini sama sekali tak berkurang kepopularannya. Karena Ricky selalu menduduki peringkat 3 besar dikelasnya. Satu lagi, Ricky menjadi vocalis band sekolah yang juga terkenal tak hanya dilingkungan SMA Deportiva. Tapi juga terkenal hingga sekolah-sekolah yang berada satu wilayah dengan sekolahnya. Cara ampuh untuk mengenali sosok yang satu ini dari dua kembarannya yang lain adalah barang-barang yang digunakan Ricky didominasi dengan warna hitam. Kemeja seragamnya juga dengan rapih masuk ke dalam celana. Dan dasinya terikat benar meski ia longgarkan hingga terletak dibawah kancing kedua.

@@@

        Tak beberapa lama bel istirahat pertama berdentang, Ricky terlihat mendatangi ruang secretariat ekskul jurnalistik. Tapi, ada yang aneh dengan penampilannya. Kali ini seragamnya terlihat lebih rapih, dasinya pun terikat benar dan jam di tangannya, berwarna putih, serta kacamata berbingkai hitam yang menghiasi wajahnya.
        Ia membuka pintu setelah ada izin dari dalam. “Nissa ada?” tanyanya kepada dua orang cewek yang sedang menulis-nulis sesuatu di meja yang terletak ditengah ruangan.
        Salah satunya menoleh. Namanya Gita. Ia tak menjawab. Lalu menoleh ke arah lain. Kali ini menuju seorang cewek di sudut ruangan yang tengah sibuk di depan computer. “Nis, dicariin.” Ujarnya dengan suara sedikit keras.
        Cewek itu memutar kursi hingga terlihat cowok yang kini bersandar di ambang pintu. “Vicky!” serunya dengan nada sedikit histeris. “Ngapain lo nyariin gue?” Tanyanya ketus.
        Jelas saja ada yang aneh. Cowok itu bukan Ricky, melainkan Vicky. Vicky Airlangga. Berbeda dengan Ricky yang terkenal playboy. Vicky terkenal juga karena keramahannya kepada semua orang. Benar-benar kepada semua orang. Cowok yang berada di kelas 3 ipa 3 ini adalah ketua OSIS. Pembawaannya kalem namun ia juga bisa untuk tegas. Buktinya ia menjadi danton utama, baik di ekskul pramuka ataupun paskibra. Dan pastinya, selalu menempati peringkat pertama dikelas.
        Vicky melangkah dan menarik kursi lalu duduk di samping Nissa yang masih cukup bête dengan kehadirannya. Meski begitu, Vicky tetap bisa santai menanggapinya.
        Sesaat Nissa kembali sibuk ke layar komputernya.
        “Nis, kok jutek sih sama gue?” Tanya Vicky lembut. “Pasti lo diisengin deh sama Ricky?” tebaknya. “Tapi gue kan bukan Ricky, Nis.”
        Nissa menoleh dan mengerutkan kening. “Bukan Ricky!” Sergahnya tegas. “Tapi Nicky!”
        Gantian kening Vicky yang berkerut. “Kok Nicky? Kalian kan udah lama deket?” Vicky menunggu Nissa merespon. Tapi itu hanya harapan kosong. “Atau jangan-jangan, kalian udah jadian ya?  Tapi sekarang lagi berantem?”
Tebakan Vicky membuat mata Nissa melebar lalu buang muka ke arah berlainan dengan posisi Vicky berada. “Penting banget gue jadian sama Nicky!” Imbuhnya semakin terdengar kesal.
Vicky hanya bisa menghela napas. Nissa pun sedikit merasa bersalah. Begitu kembali menoleh, ia melihat Vicky melepas kacamatanya.
“Heh! Siapa suruh lepas kacamata!”
Vicky tersentak. “Emang kenapa?”
“Ugh…” Nissa geregetan. “Lo tau kan gue kesel sama kembaran lo yang satu itu? Dan sekarang, lo malah lepas kacamata. Itu artinya, tampang lo gak akan jauh beda sama si atlit sinting itu!” Omel Nissa tanpa jeda. Lalu melipat tangannya di depan dada dan kembali buang muka.
Vicky pun buru-buru kembali mengenakan kacamatanya. “Iya deh maaf.” Ujar Vicky yang juga merasa bersalah. “Trus, gue harus gimana biar lo maafin gue?”
“Traktir makan.” Kata Nissa singkat sambil berjalan keluar ruangan.

@@@

Sesampainya dikantin, mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Vicky menuju konter makanan, sedangkan Nissa mencari meja kosong. Baru saja duduk, sudah ada seseorang yang ikut duduk di sampingnya.
Nissa menoleh untuk memastikan siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata Ricky yang tersenyum kepadanya. “Ngapain lo di sini?”
Ricky tetap tersenyum. “Galak amat sih?” komentarnya.
“Bodo!” Nissa buang muka.
“Abis diapain sih sama Nicky?” Tanya Ricky berusaha mengorek informasi.
“Bukan urusan lo.” Ujar Nissa masih tetap terdengar ketus. Nampaknya untuk orang yang ada di sampingnya kini, Nissa sama sekali tak bisa bermanis ria.
Ricky menghela napas. Tepat ketika Vicky datang sambil membawa satu porsi siomay dan sebuah minuman kaleng. Ia menyodorkan keduanya ke depan Nissa sebelum akhirnya duduk di seberang Nissa.
“Lo ngapain, Vic?” Tanya Ricky heran mendapati Vicky bersama Nissa. “Ketauan Nicky, abis lo dihajar.” Ricky terdengar menakut-nakuti.
“Gue ada perlu sama Nissa.” Kata Vicky santai, sama sekali tak mempedulikan perkataan Ricky sedikitpun.
“Gue juga ada perlu.”
“Kenapa?” Tanya Nissa masih ketus tanpa menoleh.
“Winny ngadain birthday party, temanya couple. Lo pergi sama gue ya?” Pinta Ricky sedikit ada unsur pemaksaannya.
“Nggak.” Nissa menolak mentah-mentah.
“Kenapa?”
“Bukan urusan lo!”
“Jelas urusan gue juga lah.” Ujar Ricky masih terlihat santai. “Gue tau cinta lo ditolak sama Nicky. Makanya sekarang lo jutek parah ke gue.”
Nissa melotot ke arah Ricky. “Kapan sih gue pernah ramah ke lo?”
“Ya terserah deh. Gue Cuma mau berbaik hati aja nih ke lo.” Ricky masih sangat sabar menanggapi sikap Nissa yang sangat tidak ramah terhadapnya. “Intinya, lo mau jadi partner gue gak di ulang tahunnya Winny?” Tanya Ricky sekali lagi dengan nada lembut.
“Maaf ya, karena saya telah menolak ajakan anda tuan Ricky Airlangga.” Kata Nissa akhirnya dengan nada yang dipaksakan terdengar lembut.
“Nah, gitu donk. Kan enak dengernya.” Ujar Ricky sambil nyeloyor pergi tanpa pamit.
“Ugh…!” Nissa kembali kesal. Korbannya adalah potongan siomay yang tertancap garpu Nissa. “Dua kembaran lo tuh gak ada yang bener ya!” sambil memasukan paksa potongan siomay tadi ke dalam mulutnya.
Vicky hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
Seketika Nissa baru menyadari bahwa Vicky sama sekali tak memesan makanan dan minuman untuknya. “Lo gak makan, Vick?” Nissa merasa tak enak hati.
“Puasa.” Jawab Vicky singkat.
“Ha…?” Nissa semakin tak enak hati. “Kok lo gak bilang? Kan gue gak enak makan sendirian. Apalagi di depan orang puasa.”
Vicky tersenyum. Tapi Nissa langsung mengerti. Vicky bukan sekedar tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum menahan tawa.
“Waahh… lo ngerjain gue ya!” Hardik Nissa. “Ini kan hari Rabu!”
Seketika tawa Vicky pun meledak.
“Eh, tapi beneran deh, gue gak enak nih makan sendirian.”
Tawa Vicky akhirnya mereda seiring perubahan raut di wajah Nissa.
“Aduh. Gue lagi gak pengen makan nih. Udah lah slow aja.”
“Gue suapin mau gak?” Tanya Nissa. Hanya iseng sebenernya. Tapi sambil menyodorkan garpunya.
“Tapi satu aja ya?” Vicky mengajukan penawaran.
Nissa mengangkat bahu. Mungkin maksudnya, terserah. Vicky akhirnya membimbing tangan Nissa untuk memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Tak lama, seorang cowok menghampiri mereka. Sesaat setelah Vicky melepas kacamatanya.
“Nic, tadi gue ketemu pak Guntur. Latihan besok free. Beliau ada acara.” Kata cowok bernama Johan itu. “So, gimana kalo kita sparing? Iseng-iseng aja.”
“Sparing apa? Lawan?” Tanya Vicky menanggapi, meski ia tau kalau Johan salah orang.
“Kalo mau basket, kita lawan SMA Priority aja. Tapi kalo mau tanding bola, ya lawan SMA Rosengard.” Jawab Johan memberi saran.
“Yaudah, dibahas nanti deh. Gue lagi ada perlu penting nih sama Nissa.” Kata Vicky yang secara gak langsung meminta Johan untuk pergi dengan perkataan halus sambil menunjuk Nissa dengan dagunya.
“Okeh.” Johan langsung mengerti dan meninggalkan tempat itu.
“Pasti dia ngira lo itu Nicky?” Nissa menebak setelah Johan pergi.
Vicky mengangkat bahu. “Siapa lagi? Gak mungkin juga dia nganggep gue Ricky.”
Nissa kembali melahap makanannya. Kali ini sudah lebih santai. “Oiya, kembali ke masalah awal, ada apa lo nyariin gue?”
Sejenak, Vicky terlihat sedikit melupakan maksud utamanya menemui Nissa. Karena sejak tadi, ada saja yang mengganggu. “Sabtu ini, madding ganti tema kan?”
“Iya. Kenapa? Lo mau bahas seven boyz of the week?” Tebak Nissa tanpa ini itu. “Sorry deh. Gue gak bisa bantu. Masalahnya, itu udah jadi kebutuhan public, terutama siswi cewek. Lo tau ndiri, gue pernah gak ngadain sekali. Alhasil, demo gede-gedean depan secretariat.”
“Gue gak minta buat diilangin kok.”
“Terus?” Tanya Nissa penuh minat. “Lo mau tanya siapa aja yang minggu ini masuk? Tenang aja, lo tetep diperingkat pertama kok.”
Sebenernya bukan itu maksud Vicky. “Tolong ganti nama gue jadi Nicky.” Pinta Vicky tanpa basa basi.
“Aduh… Udah deh. Gak ada harapan buat Nicky. Fansnya turun drastis sejak dia pacaran sama anak SMA Priority itu.” Keluh Nissa. Benar-benar tak meluruskan permintaan Vicky.
“Kalo imbalannya gue yang jadi partner lo di ultahnya Winny, gimana?” Vicky berusaha merayu Nissa sebisanya. “Gue tau lo pasti pengen kesana juga kan? Buktiin ke Nicky kalo lo gak segampang itu dihancurin.”
“Percuma, gue gak minat.” Ujarnya malas sambil berdiri. “Betewe, makasih traktirannya ya. Sering-sering aja.” Kata Nissa lagi sebelum akhirnya meninggalkan Vicky.
Satu kesempatan musnah.

@@@

Pulang sekolah…
        Ricky bersandar di pintu mobilnya yang berwarna hitam. Dikanan dan kirinya juga terparkir mobil berwarna putih dan merah. Yang putih, udah pasti milik Vicky. Karena begitu sampai, Vicky langsung melempar ranselnya ke dalam mobil. Dan mobil yang merah, berarti punya Nicky? Bukan. Itu punya Nissa. Sebelum pergi, ia sempat membuka kaca mobilnya dihadapan Vicky dan Ricky.
        “Vick, ini buku lo.” Ujarnya sambil menyodorkan sebuah buku setebal novel ‘breaking dawn’. “Makasih ya.”
Namun Ricky lah yang merebut buku itu diiringi tatapan jahilnya. “Tawaran gue yang tadi masih berlaku lho, Nis.”
“Ya ampun, aku tersanjung.” Kata Nissa pura-pura manis. “Sekali nggak, tetep nggak!” Nissa langsung menutup jendela mobil dan pergi dari sana.
“Seneng banget sih ngeledekin anak orang!” Vicky membela Nissa sambil merebut buku itu dari tangan Ricky.
Ricky hanya tertawa tak peduli. Lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya. Dengan cukup iseng, Ricky menyodorkan rokok itu ke Vicky. Jelas saja Vicky menolak mentah-mentah, karena ia tak merokok.
Tiba-tiba beberapa orang siswa terlihat berlari berhamburan. Ada beberapa orang juga dibelakang mereka yang terlihat sebagai pengejar.
“Woy! Jangan lari lo!” Teriak salah satu dari mereka. Begitu melewati Vicky dan Ricky, ia merebut buku yang gipegang Vicky.
Wajahnya mirip dengan Ricky dan Vicky. Jelas saja, itu Nicky. Nicky Airlangga. Preman sekolah. Terkenalnya sih gitu. Gak segan-segan menghajar siswa, terutama yang pamer harta di depan matanya. Seragamnya sama sekali gak rapih. Kemejanya berkibar karena tak dimasukan ke dalam celana. Cara pakai dasinya tak beda jauh dengan Ricky. Lengan seragamnya digulung beserta lengan kausnya.
Warna favorit Nicky, merah. Terlihat dari jam, ikat pinggang hingga sepatu nya pun berwarna merah. Siswa yang berada di kelas 3 ipa 2 ini pun tak perlu dikhawatirkan untuk prestasinya di kelas seperti 2 kembarannya. Nicky juga mahir dalam olahraga basket, voli, renang, sepakbola dan beberapa cabang olahraga lainnya. Bahkan ia menjadi kapten di klub sepakbola sekolahnya. Nicky pun juga dikenal dekat dengan Nissa.
“Menurut lo, Nissa kenapa kesel banget sama Nicky?” tanya Vicky pada Ricky yang tengah menikmati rokoknya.
Ricky mengembuskan asap rokoknya ke udara. “Gue kan udah bilang, cintanya Nissa ditolak sama Nicky.” Ujarnya santai.
“Bukannya selama ini mereka pacaran ya?”
Ricky tertawa sejadi-jadinya. “Lo kemana aja sih, Vick? Nicky tuh lagi pedekate sama alumni anak SMA Priority. Beda setahun di atas kita sih.” Keluh Ricky.
Suasana ricuh di depan gerbang nampaknya mulai reda. Nicky pun perlahan muncul dari kejauhan, ia berjalan sambil menenggelamkan salah satu tangannya ke dalam saku celana. Nicky tersenyum kepada kedua kembarannya dengan penuh kemenangan.
“Hai para kembaranku. Makin cakep aja kalian.” Ledek Nicky sambil berhenti sesaat, kemudian kembali berjalan.
“Heh!” Vicky menarik kerah seragam Nicky. “Mana buku gue?” Pintanya.
“Hah? Buku? Buku apaan?” Nicky balik bertanya.
“Eh, jangan belagak amnesia mendadak gitu deh!” Vicky mulai kesal. “Tuh buku penting banget.”
“Oohh… iya iya iya…” Kata Nicky akhirnya. “Tadi gue pake buat nimpuk.” Lanjut Nicky tanpa rasa bersalah.
“Terus, sekarang mana bukunya?” Pinta Vicky lagi, kali ni lebih tegas.
“Kecebur got.” Jawab Nicky enteng.
“Apa?” Vicky berteriak cukup histeris. “Gue gak mau tau, sekarang juga lo ganti buku itu.”
“Iya gue bakal ganti. Tapi jangan hari ini juga donk. Ntar sore gue mau ketemu Venda.” Nicky memohon.
“Gue gak mau tau.”
“Udah lah, lo tenang aja.” Kata Ricky yang berusaha menjadi penengah. “Urusan Venda biar gue yang gantiin lo.”
Nicky melirik kesal ke Ricky yang tak membantu apa-apa.
“Sekarang gini aja, lo pilih pergi buat cari buku itu, atau gue gak mau bantuin lo ngerjain tugas Biologi punya lo.” Vicky yang sudah cukup kesal terdengar mengancam.
Nicky melirik jamnya. 15.12. ‘Sial!’ umpatnya dalam hati.
“Gue tunggu sampe jam 5.” Ujar Vicky santai sambil berjalan menuju pintu mobil. Diikuti Ricky setelah membuang puntung rokoknya.
Nicky tak punya banyak waktu untuk berfikir. Ia segera menempatkan diri diantara mobil kedua saudaranya itu dan meminta Vicky dan Ricky untuk membuka kaca mobil masing-masing.
“Oke. Gue setuju.” Kata Nicky akhirnya—meski terpaksa—sambil memandang ke Vicky. “Tulisin judul buku sama nama pengarangnya.” Perintah Nicky, kemudian beralih ke Ricky. “Gue berniat nembak dia hari ini. So, gue harap lo gak bikin kacau semuanya.” Nicky memperingatkan.
“Serahin ke gue.” Ricky tersenyum puas, lalu menyodorkan ponselnya. Sesaat Nicky menatap penuh tanda tanya. “Lo mau semuanya lancar, kan?”
Nicky pun akhirnya mengerti. Dengan enggan ia mengeluarkan ponselnya untuk ditukar dengan milik Ricky. Kemudian kembali menoleh ke tempat Vicky berada. Ia pun meraih kertas yang disodorkan Vicky.
“Inget! Jam 5 sore.” Vicky kembali mengingatkan, lalu pergi meninggalkan Nicky. Tapi Ricky justru menghampiri Nicky sambil menyodorkan kunci mobilnya. Nicky yang mengerti dengan maksud Ricky, dengan enggan mengeluarkan kunci motornya untuk ditukarkan dengan kunci milik Ricky. Setelah mendapatkan yang ia inginkan, Ricky pun berjalan menuju lapangan parkir motor.
“Aarrgghh…!!!” Nicky kesal sendiri.
Beberapa orang yang melintas, sontak memandang Nicky dengan tatapan ingin tahu.
“Apa liat-liat!” teriak Nicky galak sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Ricky.

@@@

SMA PRIORITY…
        Seorang cewek bersandar di sebuah tiang dan menghadap ke depan pintu kelas 3ips2. Penampilannya cuek dan terkesan sedikit tomboy. Ia menggulung kedua lengan seragamnya sambil mengunyah permen karet. Namanya Najwa Ferdinan. Kelas 2ipa2. Najwa terkenal karena aktiv hampir di seluruh ekskul yang dimiliki SMA Priority. Dan yang terpenting, Najwa adalah putri dari ketua yayasan sekolahnya. Sebenarnya Najwa memiliki dua orang kakak yang baru saja lulus dari sana, laki-laki dan perempuan, keduanya kembar. Sedikit banyaknya, ketiga saudara ini memiliki pengaruh besar. Karena memiliki kekuasaan. Tapi mereka tak pernah memanfaatkan hal itu untuk menindas siswa lain.
Selang beberapa saat, pintu terbuka dan beberapa siswanya mulai berhamburan keluar. Terlihat dua orang cowok yang berjalan beriringan. Salah satu dari mereka menyadari kehadiran Najwa, dan langsung memberitahukan kepada seseorang disebelahnya.
Cowok itu segera menghampiri Najwa. Sementara temannya melangkah ke arah yang berlawanan.
“Seneng banget rasanya pulang sekolah ditungguin pacar tercinta.” Ujar cowok itu begitu berada dihadapan Najwa.
Najwa meniup permen karetnya membentuk balon. Ekspresi datar ditunjukkannya untuk cowok itu. “Ka Rio. Kita selesaikan di lapangan yuk.” Ajak Najwa sambil melangkah pergi tanpa meminta persetujuan orang di hadapannya.
Mereka menuju lapangan basket yang lumayan sepi. Najwa berhenti tepat ditengah-tengah. Kemudian ia berbalik mengahadap Rio yang kini berdiri tak jauh darinya.
“Ada apa sih, Na?”
“Kita putus.” Ujar Najwa tegas.
“Hah…!” Mata Rio terbelalak. “Kenapa?”
Najwa terlihat tak begitu mempedulikan perkataan Rio. “Udah saatnya ka Rio tau. Aku tuh gak pernah punya perasaan ke kakak.”
        “Terus? Kenapa dulu kamu nembak kakak?” Tanya Rio.
“Aku taruhan sama Nita dan Manda buat pacaran sama kakak.” Najwa menjawab dengan entengnya.
“Ya tapi kenapa kamu tega ngelakuin itu? Aku kan gak pernah jahat sama kamu?” Kata Rio lagi mencoba lunak.
“Iya, aku tau. Kak Rio tuh gak jahat. Udah cakep, pinter, baik lagi.” Najwa menghela napas. “Tapi deadline nya emang Cuma sampe tiga bulan aja, kak.”
“Masa kamu gak mau kasih kesempatan sih ke aku?” Rio pasang tampang memelas. “Selama pacaran sama kamu, kamu gak pernah denger aku selingkuh atau deket sama cewek lain kan? Aku tuh beneran mau berubah buat kamu.”
Najwa memutar matanya. “Soalnya aku yang selingkuh.” Kata Najwa seenaknya sambil meninggalkan Rio. Namun Rio cukup sigap untuk menahan tangan Najwa.
Sontak Najwa terkejut sambil kembali berbalik dan mendaratkan pukulan di wajah Rio.
“Udah deh kak.” Ujar Najwa kepada Rio yang terpelanting ke tanah. “Gue males sama lo. Gue macarin lo Cuma buat ngebales sakit hati temen-temen gue yang pernah diselingkuhin sama lo.” Najwa sudah tidak mengunakan panggilan aku-kamu ketika berbicara dengan Rio.
Rio bangkit dan langsung mencengkeram kedua tangan Najwa. Ia menatap tajam ke mata Najwa. “Sumpah. Gue kecewa sama lo.” Rio berkata pelan tepat di depan wajah Najwa.
Najwa memang berusaha melepaskan kedua tangannya. Namun tatapannya sama sekali tak terlihat lemah. “Lo boleh pukul gue untuk ngobatin kekecewaan lo.” Suara Najwa terdengar menantang.
Rio tersenyum meremehkan ucapan Najwa. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Najwa. Perlahan Najwa pun berusaha menjauhkan tubuhnya. Namun Rio lebih dulu bersikap nekat dengan mendekap paksa tubuh Najwa.
“Gue nyuruh lo pukul gue balik. Bukannya malah lo pake cara kampungan kayak gini.” Najwa masih berusaha untuk berontak namun suaranya tetap terdengar santai.
Rio sendiri belum merasa kalah. Ia kembali mendekatkan wajahnya sambil sekuat tenaga mempertahankan tubuh Najwa untuk tetap dalam dekapannya.
Hanya ada satu cara untuk melepaskan diri. Sekuat tenaga, Najwa menendang kaki Rio tepat di tulang keringnya. Berhasil. Rio melepaskan Najwa sambil mengerang kesakitan. Belum puas, Najwa kembali mendaratkan tinjuan hingga Rio terjungkal kebelakang.
Najwa melangkah mendekati Rio yang terkapar. “Sorry kalo gue maen kasar. Tapi gue bener-bener udah gak mau punya urusan lagi sama lo.” Najwa tidak begitu saja meninggalkan Rio, ia justru mengulurkan tangannya. Ragu-ragu, Rio pun meraih tangan Najwa.
Di dalam mobil, Rio memeriksa lengannya yang sedikit tergores aspal lapangan ketika terjerembap. Tak lama, Najwa muncul membawakannya kotak p3k.
“Lo bisa sendiri kan?” Tanya Najwa memastikan. “Soalnya gue gak bisa lama-lama. Ka Vendi udah nunggu di luar.”
Rio pun mengangguk lemah tanpa menoleh sedikitpun ke Najwa. Hanya tangannya saja yang menerima barang bawaan Najwa.

@@@

TOKO BUKU…
        Nicky sudah berada di sana, masih menggunakan seragam sekolahnya. Ia menghampiri salah seorang petugas di sana, dan menanyakan buku yang ia cari sambil menyodorkan kertas yang diberikan Vicky.
        “Bukunya lagi kosong mas.” Kata petugas itu.
        “Yaudah, makasih mba.” Ujar Nicky lemas. Dengan lunglai ia melangkah meninggalkan toko itu.
        Entah ini sudah toko keberapa yang di hampirinya. Dengan semangat yang sudah tak seberapa, ia memaksa diri untuk masuk dan kembali bertanya kepada petugas disana.
        “Ada, si sebelah sana.”
        Akhirnya. Batin Nicky. Ia berjalan ke arah yang ditunjukkan petugas tadi. Begitu buku itu sudah didepan mata, Nicky tak buang-buang waktu dan langsung menyambarnya. Namun ada sedikit pengganggu. Begitulah yang dirasakan Nicky. Bersamaan, tangan seseorang juga meraih buku itu berbarengan dengannya. Nicky menoleh, seorang cewek, itu Najwa. Tapi jelas saja Nicky tak mengenalnya. Begitu pula dengan Najwa. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung buku dan saling menarik ke arah mereka.
        “Ini buku gue.” Kata Najwa.
        “Gue yang liat buku ini duluan. Jadi ini milik gue.” Balas Nicky tak mau kalah.
“Udah deh. Gue buru-buru. Lo minta cariin yang laen aja sama petugasnya.” Najwa juga tak mau kalah.
        “Emang lo doank yang…” Perkataan Nicky terhenti begitu merasakan ponselnya bergetar.
        Konsentrasi Nicky yang terpecah langsung dimanfaatkan oleh Najwa untuk merebut buku itu. Namun ia tak segera membawa lari buku itu, karena ponselnya juga berdering.
        “Oke.” Nicky mengakhiri pembicaraannya. Ia siap kembali buka mulut untuk mempermasalahkan buku tadi lagi, namun ia segera mengurungkan niat karena dilihatnya Najwa yang masih di sana terdiam. Rasanya ada berita yang kurang mengenakkan.
        Najwa menunduk. Bibirnya bergetar. Ia tak sanggup bicara. Nicky pun tak tega untuk merebut apalagi mengambil paksa buku yang kini di dekap erat oleh Najwa. Nicky menunggu sampai cewek itu mengakhiri pembicaraannya melalui telepon. Namun tak disangka, Najwa justru menyerahkan buku yang telah sekuat tenaga dipertahankannya.
        “Gue udah gak butuhin itu lagi.” Ujar Najwa kemuadian pergi meninggalkan Nicky yang masih terpaku pada langkahnya.

@@@

        Najwa memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Segera ia berlari masuk. Begitu membuka pintu…
        “Ka Vendi…” Ucap Najwa begitu mendapati kakaknya di depan pintu dengan membawa ransel besar di punggungnya serta sebuah koper yang cukup besar juga.
        “Jaga diri.” Hanya itu yang diucapkan Vendi sambil mengusap kepala Najwa, kemudian mencium kening adiknya lalu pergi dari sana.
        “Ka Vendi…” Najwa berusaha menyusul kakaknya namun tangannya ada yang menahan. Najwa berbalik. “Zaq, lepasin gue.” Pintanya pada sang adik.
        “Lo gak tau apa yang terjadi.” Kata Zaquan, sama sekali tak meluluskan permintaan Najwa. “Dan sekarang, giliran lo.” Ujarnya sambil menarik tangan Njawa.
        Mata Najwa terbelalak. Ia sama sekali tak mengerti dengan perkataan Zaquan. Najwa di seret hingga ruang tengah. Di sana sudah berada kedua orang tuanya. Najwa dan Zaquan duduk di hadapan mereka.
        “Ma, kenapa ka Vendi diusir?” Tanya Najwa berusaha tanpa mengurangi rasa hormatnya.
        “Itu bukan urusan kamu.” Ujar mamanya tegas. “Dan jangan mengalihkan pembicaraan.”
        “Ada saksi mata yang liat lo ngehajar Rio di lapangan basket.” Kata Zaquan menambahkan.
        Najwa melirik Zaquan yang duduk di sampingnya.
        “Terus? Najwa di skors?” Tanya Najwa menantang. Tak ada yang bisa ia fikirkan dengan jernih. Perginya sang kakak cukup membuatnya hancur.
        “Nggak.” Papanya yang menjawab.
        Najwa berdecak dan menyandarkan badannya. ‘Kenapa nggak skors aja sih? Jadi kan gue punya alasan buat gak ketemu playboy cap dodol itu.’ Batin Najwa. Kecewa nampaknya.
        “Tapi kamu dikeluarkan dari Priority.” Lanjut papanya. “Kamu harus terlepas dari bayang-bayang Vendi.”
        Najwa terbelalak. Ia bangkit setelah sebelumnya bersandar. Entah harus senang atau sebaliknya. “Serius?” Tanya Najwa dengan ekspresi yang sulit dikatakan.
        “Sekarang, bereskan semua yang bersangkutan dengan Priority.” Perintah mamanya. “Lusa, kamu sudah bisa sekolah di Deportiva.”
        “Kenapa…”
        “Kamu gak punya hak untuk memilih sekolah.” Sergah mamanya sebelum Najwa dapat menyelesaikan kata-katanya, lalu beranjak dari sana. Kemudian diikuti sang papa.
        “Lo tau apa yang terjadi sama ka Venda?” Tanya Zaquan yang masih di sana. Tepat ketika Najwa kembali menyandarkan badannya ke sofa. Tapi sepertinya lebih tepat Zaquan seolah mengajak Najwa bermain tebak-tebakan.
        Najwa tak menjawab. Tanpa ingin mendengar apapun lagi, Najwa beranjak dari sana.
       
@@@

        Nicky memarkirkan mobil yang biasa dikendarai Ricky di garasi rumahnya. Ia langsung bergegas menuju kamar Ricky, tak ada siapapun di sana. Kemudian menuju kamar Vicky, di sana sang pemilik kamar tengah berada di depan meja belajar berkutat dengan beberapa buku pelajaran dan laptop.
        “Mana bukunya?” Pinta Vicky begitu menyadari Nicky berada diambang pintu kamarnya.
        Nicky menyodorkan tas plastic berisi buku pesanan Vicky. “Kok Ricky belom pulang?” Nicky bertanya dengan cukup cemas.
        Vicky melirik jam tangannya. Hampir setengah Sembilan malam. Lalu menggedikkan bahu. “Mungkin bentar lagi.”
        Nicky terlihat panic sambil mengacak-ngacak rambutnya. “Dia kan bawa motor, walau macet, seenggaknya bisa nyalip kanan kiri.” Lanjut Nicky. “Gue juga gak mungkin nelpon Venda pake nomornya Ricky.”
        Vicky mengehela napas. Ia mengerti apa yang dirasakan kembarannya itu. Vicky meraih ponselnya di atas meja belajar, lalu menekan sederetan angka.
        Nicky yang baru saja membaringkan tubuhnya di kasur, langsung dikejutkan dengan suara ponselnya yang tiba-tiba berdering. Di layar tertera nama ‘VICKY’. Nicky tak menjawabnya, melainkan menatap ke arah Vicky yang menempelkan ponselnya ke telinga dengan posisi membelakanginya. “Woy!” Nicky berteriak sambil melempar bantal tepat mendarat di belakang kepala Vicky.
        Vicky yang kaget, langsung berbalik dan mendapati Nicky menunjuk-nunjuk layar ponsel. Di sana masih tertera nama ‘VICKY’. Vicky sendiri akhirnya langsung ingat kalau Nicky dan Ricky tukeran handphone sepulang sekolah tadi. “Sory gue lupa.” Ucap Vicky sambil nyengir.
        Nicky kembali membaringkan badannya.

@@@

        Minggu pagi. Najwa harus bisa sedikit menepis permasalahannya yang akhir-akhir ini terjadi. Dengan mengenakan kaus bola timnas Indonesia, celana tiga perempat dan sepatu olahraga, Najwa langsung meluncur bersama mobilnya menuju taman yang ramai dikunjungi orang banyak untuk olahraga. Setelah setengah jam berkeliling, lumayan capek juga. Akhirnya Najwa menyerah lalu berkeliling mencari minuman dan duduk di sebuah kursi panjang.
        Biasanya tiap minggu pagi, tak jauh dari taman ada lapangan yang kini beralih fungsi menjadi transaksi jual beli meski levelnya hanya pedagang kaki lima. Meski berasal dari keluarga berada, Najwa sama sekali tak malu untuk berburu barang-barang yang dijual disana. Termasuk hari ini. Walau awalnya hanya iseng berkeliling dan tak berniat membeli sesuatu, nampaknya Najwa tak bisa menahan diri begitu melihat jam tangan sport terutama yang berwarna merah. Ada sekitar empat sampai lima model, dan Nalula memilih dua diantaranya.
        Najwa siap kembali ke mobilnya. Tanpa sadar, kedua tangannya kini telah penuh dengan barang-barang yang baru saja dibelinya. Najwa terkekeh sendiri melihat kelakuannya. Di tengah-tengah perjalanan, tubuh Najwa menabrak seseorang hingga membuatnya terdorong dan jatuh ke belakang.
        “Maaf, gue gak sengaja.” Kata orang di hadapan Najwa sambil mengulurkan tangannya.
        Najwa mendongak sesaat, lalu meraih tangan itu. Seseorang yang menabraknya adalah Vicky yang juga baru selesai olahraga.
        “Gapapa kok.” Ujar Najwa sambil memungut barang-barang belanjaannya dibantu juga oleh Vicky. “Saya juga tadi gak focus jalannya, jadi gak nyadar kalo ternyata ada orang.”
        “Boleh tanya sesuatu?” Vicky meminta izin.
        “Tanya apa?”
        Vicky merogoh saku celananya. Ia mengambil secarik kertas dari dalamnya. “Tau alamat ini?” Vicky menunjukkan tulisan yang tertera pada kertas itu.
        Najwa membaca sambil berfikir. “Gak begitu jauh dari sini kok.” Najwa melihat ke arah jalan sambil menunjuknya. “Kamu keluar aja, terus belok kiri. Gak jauh dari situ perumahannya. Kalo dari sini adanya di sebelah kanan.” Jelasnya.
        Vicky hanya mengangguk tanda ia mengerti. Najwa membaca sekali lagi alamat itu sebelum akhirnya mengembalikan ke Vicky.
        ‘Jalan garuda 8 nomor 23? Kayaknya pernah denger. Rumah siapa ya?’ Najwa bertanya dalam hati. Tak lama, ia seperti teringat sesuatu. ‘Astaga! Bego banget sih! Itu kan rumah gue!’ sungutnya kemudian menatap Vicky yang masih berada di sana. ‘Jangan-jangan ini cowok nyari ka Venda?’
        “Makasih ya.” Ujar Vicky.
        “Sama-sama.” Najwa tak ingin berlama-lama berada di sana. Ia langsung ngeloyor pergi meninggalkan Vicky. Berjalan ke arah berlawanan dengan jalan yang tadi ia tunjukkan ke Vicky.
        Meski Vicky berusaha menahannya, Najwa tampak tak peduli. Ia terus berjalan sedikit cepat hingga tanpa sadar telah melewati mobilnya yang terparkir. Tapi akhirnya Najwa menyerah dan berhenti. Bukan karena Vicky yang terus mengejar, tapi lantaran ia baru menyadari kebodohannya meninggalkan mobilnya yang hanya berjarak beberapa meter darinya.
        “Kamu anak SMA Priority ya?”
        ‘Tuh kan bener feeling gue. Nih cowok pasti kenal ka Venda. Banyak yang bilang gue sama ka Venda mirip banget. Cuma bedanya gue rada tomboy.’ Batin Najwa.
        “Sory kalo ternyata gue salah.” Vicky langsung meralat ucapannya. “Gue Cuma merasa kayak pernah ketemu lo. Tapi gak tau kapan dan dimana.” Jelasnya, kali ini sambil melepas kacamatanya.
        Mata Najwa terlihat melebar. “Lo yang kemaren di toko buku kan? Sempet rebutan buku sama gue juga.” Najwa menjelaskan kronologi kemungkinan mereka pernah bertemu. Meski yang sebenarnya ia temui di toko buku itu bukan Vicky, tapi Nicky.
        “Kemaren? Toko buku?” Vicky yang bingung hanya mengulangi pertanyaan yang dilontarkan Najwa. “Gue gak kemana-mana. Gak ngerasa ke toko buku juga.”
        “Owh. Yaudahlah.” Najwa pasrah lalu berbalik untuk kembali pergi.
        ‘Jangan-jangan yang dia maksud ketemu di toko buku, itu Nicky?’ tanya Vicky dalam hati. “Eh, tunggu!” Vicky kembali memanggil Najwa. “Lo mau kemana?”
        Najwa berbalik namun tak menghentikan langkahnya. Ia berjalan mundur. “Pulang.” Jawabnya, kemudian berbalik lagi.
        “Ya pulangnya kemana?” Vicky kini telah berada di samping Najwa. “Gue anter deh, anggep aja tanda terima kasih gue karena lo udah ngasih tau gue alamat yang tadi. Sama…” Ucapan Vicky menggantung.
        Najwa berhenti dan menoleh. “Sama apa?” Ia meminta Vicky melanjutkan kata-katanya.
        “Sama… Tadi lo gak marah-marah waktu gue tabrak.”
        Cape deh. Kirain apa? Batin Najwa. Ia kembali berjalan. Vicky pun mengikuti. “Makasih atas tawarannya. Tapi rumah gue udah deket kok. Tuh gerbangnya.” Najwa menunjuk gerbang sebuah kompleks perumahan di ujung jalan sana. Meski sebenernya gak bisa dibilang deket juga, apalagi sama posisi Najwa berada sekarang.
        Vicky memakai kembali kacamatanya. Memastikan kebenaran perkataan Najwa. “Apanya deket?”
        “Udahlah. Nyantai aja. Banyak ojek kok. Lagian, gue juga mau mampir kerumah temen dulu.”
        “Oke…” kali ini Vicky tak bisa memaksa. “Sekali lagi makasih ya.” Ujar Vicky lagi, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
        Setelah berjalan beberapa langkah, Najwa berhenti dan berbalik untuk memastikan keberadaan Vicky. Dari kejauhan ia melihat Vicky masuk ke dalam mobil dan pergi. Dan Najwa pun langsung bernapas lega. Dirasa sudah aman, Najwa berlari ke mobilnya.
       
@@@

        Vicky menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menatap gerbang perumahan diseberangnya. Itu adalah perumahan yang memang sedang ia cari. Kompleks perumahan elit. Dari dalam kaca spion, Vicky melihat sebuah mobil berwarna merah. Itu salah satu mobil yang tadi terparkir di sekitar taman. Vicky sangat mengingatnya kerena terdapat aksesoris bernuansa sepakbola di bagian dasbornya. Dan yang paling mencolok adalah warnanya. Mobil itu menjadi satu-satunya yang berwarna merah saat di parkiran tadi.
        Kini mobil itu sejajar dengan mobilnya. Vicky langsung menjamkan pandangan untuk melihat siapa pengendaranya. Ternyata seorang cewek. Mengenakan kaus berwarna merah juga. Sama seperti… “Cewek yang tadi.” Gumam Vicky pelan. Pandangannya tak lepas dari mobil Najwa yang kini berbelok dan memasuki gerbang perumahan itu.

@@@ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar