Rabu, 20 Februari 2013

GAK SUKA PUISI






“ILAN…?”                 
          Devon ngeloyor masuk dan langsung duduk di samping Ilan yang sibuk menyalin catetan Fisika milik teman sekelasnya yang lain.
          “Apa?” sahut Ilan tanpa menoleh sedikitpun.
          “Biasa.” Balas Devon santai.
          Akhirnya Ilan melirik. “Buat siapa?”           
          “Kayla, anak IPA 3.”
          “Bayarannya?”
          “Beres. Udah gue siapin.”
          Ilan mangut-manggut seolah mengerti. “Kayak apa orangnya?”
          Tanpa pikir panjang, Devon menarik tangan Ilan keluar kelas. Mereka tiba di pinggir lapangan yang kala itu terlihat cukup ramai. Devon menunjuk salah satu sudut lapangan yang diisi oleh sekumpulan anak yang berdiri berbaris sambil membawa toya bambu.
          “Ooohh…. Anak PASKIBRA?” Celetuk Ilan sekenanya.
          “Bukan! PASKIBRA yang di sana.” Devon sambil memalingkan wajah Ilan ke sudut yang lain. Hampir sama seperti yang tadi. Mereka baris dalam satu pleton, tiga diantaranya berdiri di sekitar tiang bendera.
          “Bisa kan?”
          “Oke.. Pulang sekolah.” Jawab Ilan enteng.

*****
         
          Ilan berdiri di dekat pintu gerbang bersama seorang temannya yang lain, Dendi. Motor Devon berhenti tepat di depan mereka.
          “Gimana, Lan? Udah?” Tanya Devon setelah membuka kaca helmya.
          “Nih.” Ilan menyodorkan kertas yang terlipat kea rah Devon dengan mengapit kertas itu menggunakan dua jari. “Semoga sesuai keinginan deh.”
          Sesaat setelah Devon membuka kertas itu, Devon kembali melipat dan memasukkannya ke dalam saku celana abu-abunya. “Siipp.. Gue suka.” Pujinya sambil membuka ranselnya. Nih buat lo. Belom punya kan?”
          Ilan meraih sebuah buku dari tangan Devon. Nampaknya sebuah komik. Wajah Ilan langsung terlihat sumringah. “Waahh… Thanks ya? Tau aja gue lagi nyari ini.” Ujar Ilan sambil menepuk pelan pundak Devon.
          “Hehe…” Devon Cuma nyengir.
          “Devon.”
          Seseoran nampaknya menyebut nama Devon. Sang pemilik nama menoleh. Tak terkecuali Ilan dan Dendi.
          “Makasih ya catetannya?” kata cewek itu sambil menyodorkan sebuah buku tulis kearah Devon.
          “Udah?” Tanya Devon.
          “Iya.” Balas cewek itu penuh senyum sebelum berlalu.
          “Dev. Siapa tuh?” sergah Dendi tiba-tiba. “Kok gue gak pernah liat?”
          “Jelas lo gak pernah liat. Dia anak baru di kelas gue.”
          “Hmm! Pantesan? Namanya siapa?” Dendi penasaran.
          Ilan yang berada di tengah-tengah Devon dan Dendi hanya bisa memandang ke dua temannya secara bergantian.

*****

          “Namanya Nissa.” Suara Devon masih terngiang di telinga Ilan.
          Ilan mulai kembali menorehkan sesuatu di kertasnya. Gak beberapa lama, ia meremas kertas tadi dan melemparnya ke tempat sampah di samping meja belajarnya.
          Satu pesan masuk di ponselnya. Dari Dendi.

          ‘besok latihan jam 4 di tempat biasa. Lan, sepatu gue jangan lupa bawa’

          Ilan meletakkan kembali ponselnya di meja. Lalu menyandarkan badannya di kursi. Kemudian kembali meraih selembar kertas dan pulpennya. Lumayan lama Ilan hanya menatap kertas putih di hadapannya sebelum menuliskan ‘NISSA??’.
         
*****

          “Sory gue telat.” Kata Ilan kepada Dendi yang langsung menghampiri Ilan di pinggir lapangan futsal. “Nih sepatu lo.” Kata Ilan lagi yang kali ini sambil melemparkan sepasang sepatu ke arah Dendi. Kemudian Ilan berlari menyusul Dendi ke tengah lapangan.
          “Jo..! oper ke gue.” Teriak Ilan yang langsung nimbrung ke tengah-tengah pertandingan.
          Sekilas, Ilan melihat seorang cewek di deretan bangku penonton. Cuma ada dia di sana. Ilan mempertegas pandangannya. Tak jelas terlihat wajahnya. Karna cewek itu menutupi wajahnya dengan sebuah buku.
          Pas banget Dendi berada di dekat Ilan. “Den, siapa tuh cewek?”
          “Itu kan cewek yang kemaren balikin bukunya Devon. Inget gak?”
          Ilan diam.
          “Udah ayo main lagi.” Ujar Dendi yang langsung kembali focus ke permainannya.

*****

          Ternyata benar yang dikatakan Dendi. Cewek itu Nissa. Kini Ilan dapat melihatnya dengan jelas. Beberapa kali Ilan terlihat memberikan sedikit senyuman untuk Nissa. Sampai seseorang datang menghampiri Nissa. Salah satu pemain yang tadi berada di lapangan yang sama dengan Ilan, Devon, dan Dendi.
          Devon mendapati Ilan masih menatap ke arah Nissa dan seseorang di sebelahnya. “Ngeliatin Nissa apa Faris?” ledek Devon.
          Ilan tak menjawab. Ia lebih memilih untuk beranjak dari sana sambil menenteng ranselnya.
          Dendi yang juga berada di sana hanya menggelengkan kepala perihal sikap yang di tunjukkan Ilan.  “Kenapa tuh anak?” Tanya Dendi yang pasti di tujukan ke Devon.
          Devon sendiri hanya bisa mengangkat bahunya.

*****

          “Jeleknya Ilan tuh kalo jatuh cinta gak bisa bikin puisi buat dikasih ke cewek itu.” Ujar Devon ketika mereka, Ilan, Devon dan Dendi berada di kamar Ilan.
          “Jadi lo beneran naksir sama tuh cewek?” Tanya Dendi yang duduk di tepi jendela. Tepat ketika Ilan baru masuk sambil membawakan tiga minuman kaleng.
          Sesaat Ilan diam. “Gue gak tau.”
          “Terus ini apa?” kata Dendi. Sontak Ilan dan Devon memandang ke arahnya.
          Dendi memamerkan secarik kertas dengan tulisan ‘NISSA??’ yang cukup jelas terlihat dengan tulisan sedikit besar.
          Ilan melebarkan matanya. “Dapet dari mana lo?” sergah Ilan.
          “Nemu di meja.”
          “Masih mau mungkir?” Ledek Devon.
          “Mungkir apa?” Balas Ilan.
          “Ya udah kalo gak mau ngaku. Jangan salain kalo gue juga naksir sama dia.” Pengakuan Dendi membuat Ilan semakin diam.

*****

          Pagi itu Nissa menemukan secarik kertas dalam sebuah amplop biru muda di laci kolong mejanya. Penasaran, ia membuka dan menatapi isinya sebentar. Lalu kembali menutup dan memasukkannya ke dalam ransel.
          Tapi begitu sampai dirumah, Nissa langsung menuju kamar dan melayangkan surat yang di dapatnya ke dalam tempat sampah.

*****

          Ilan terlihat baru keluar dari toko buku sambil menenteng sebuah tas plastic. Sedikit merasa ada yang aneh terhadap barang bawaannya, Ilan membuka tas plastic itu. Ia sedikit terkejut melihat isinya.
          “Komik Naruto?” suara seseorang dibelakangnya.
          Ilan berbalik. Ternyata itu Nissa yang juga baru keluar dari toko yang sama dengannya sambil menenteng komik Naruto. Ia menatap apa yang ada di tangannya. Ternyata novel Harry Potter.
          Posisi mereka yang tidak jauh membuat Nissa juga dapat melihat yang di bawa Ilan.
          “Kayaknya barang kita tertukar?” Ujar Nissa pelan.
          “Novel Harry Potter ini punya lo?” Ilan balik bertanya.
          Nissa mengangguk. “Eh, lo bukannya temen Dendi?”
          ‘Dendi? Jadi mereka beneran udah kenal?’ batin Ilan. “Kok tau?” Tanya Ilan pura-pura.
          “Iya. Gue liat pas kalian main futsal kemaren.”
          Ilan tanpa ekspresi menanggapi jawaban Nissa yang menurutnya terlalu mustahil Nissa mengetahuinya hanya dalam satu kali pertemuan tanpa berkenalan.
          “Ini buku lo kan?” Nissa membuyarkan pikiran Ilan.
          “Eh, iya.” Ilan kurang siap menanggapinya. Lalu ia menyodorkan buku yang ada di tangannya.
          Begitu pula dengan Nissa. Dengan sebelumnya memasukkan kembali komik itu ke dalam tas plastic yang ada di tangannya, lalu menyodorkan semuanya.
          Ilan tampak heran.
          “Sorry ya. Kayaknya buku gue masih ada lagi di situ.” Nissa menunjuk kea rah tas plastic di tangan Ilan yang satunya tanpa ingin menyinggungnya.
          Tapi Ilan buru-buru memeriksa apa yang diinginkan Nissa. Ternyata isinya sebuah novel remaja berjudul ‘Soccer Love’ dan sebuah buku biografi milik pesepakbola Indonesia, ‘Bambang Pamungkas’. ‘Sepakbola? Cewek ini…?’ Tanya Ilan dalam hatinya.

*****

          Ilan bersandar tepat di depan kelasnya. Dari kejauhan, tampak Dendi yang memang sejak tadi ditunggunya bersama Nissa. Mereka berpisah ketika Nissa sampai di depan kelasnya. Tinggal Dendi sendiri berjalan mendekati Ilan, yang memang tujuan utamanya.
          “Pagi Ilan. Makin cakep aja pagi ini?” Ledek Dendi diiringi senyuman jail dan kedipan sebelah matanya.
          Tapi sama sekali nggak berpengaruh semua pujian Dendi yang dilayangkan kepadanya. “Makin deket aja lo sama tuh cewek?” Tanya Ilan yang terdengar kesannya menyindir.
          “Oh.. Nissa?” Dendi memastikan.
          “Ternyata lo membenarkan apa yang lo bilang kemaren di rumah gue?” Suara Ilan terdengar semakin tak bersahabat. “Udah lupa sama Nalula?” tambah Ilan.
          “Hahaha..” malah tawa Dendi yang terdengar. “Bukannya lo kemaren yang bikin gue ngambil kesempatan ini. Lo bilang gak mau sama Nissa. Ya jangan salain gue? Lagi pula kans gue deket sama Nissa lebih besar. Dari pada gue ngejar Nalula yang blom pasti bisa dapet apa nggak.”
          “Devon?”
          “Kok kesannya lo gak suka gue deket-deket Nissa?”
          “Bukannya gue gak suka. Cuma peringatin aja. Cintanya ditolak sama Kayla yang baru jadian sama Faris. Apa lo gak mikir sama kayak gue? Apalagi mereka sekelas.”
          “Lo inget kan Devon gak suka sama cewek penggemar sepakbola? Dan lo harus tau satu hal, Nissa suka banget sama sepakbola. Itu bertolak belakang dengan Devon.” Ujar Dendi sambil nyengir. “So, gue gak ada saingan donk.”
          ‘Jadi bener yang gue pikirin tentang Nissa?’. Tapi Ilan tampaknya tak kehabisan akal. “Gimana dengan Faris?”
          “Oiya.”
          Gantian Ilan yang tersenyum.
          “Tapi nanti juga lo tau.” Dendi membuat Ilan terlihat kalah. “Oiya. Bukunya Nissa kebawa sama gue nih. Gue balikin dulu ya ke kelasnya.” Dendi berlalu begitu saja tanpa menunggu persetujuan Ilan.
          ‘Buku?’ kekhawatiran Ilan terjadi. Buku biografi ‘Bambang Pamungkas’ yang dilihatnya kemaren bersama Nissa, kini berada di tangan Dendi.

*****

          Udah seminggu lebih Nissa mengalami kejadian yang sama. Tiap pagi ia menemukan amplop dengan warna dan bentuk yang sama dengan sebelumnya di kolong laci mejanya. Dan semua amplop yang di temukannya pasti akan bernasib sama seperti yang sudah-sudah. Disimpan di tempat sampah yang ada di kamarnya.
          Dan hampir selama itu pula sebenarnya Nissa sering memperhatikan Ilan dan kawan-kawan  bermain bola di lapangan sekolah.
          Meski selama itu pula, kecurigaan Ilan perihal kedekatan Nissa dan Dendi semakin tidak bisa dipungkiri. Dan tampak ironis bagi Ilan, mereka terlihat melintas di hadapannya yang kala itu juga bersama Devon.
          “Yang diomongin tuh anak kejadian juga?” kata Devon yang sedikitpun tak melirik kea rah Ilan.
          “Ya udahlah biarin aja.” Ilan terdengar pasrah.
          “Gak gitu juga, Lan?” Devon manatap Ilan dengan sedikit terkejut atas pernyataan temannya.
          Mata Ilan terlihat melebar. “Lo…?”
          Seakan mengerti arah bicara Ilan, Devon meyambarnya. “Setelah PDKT gue ke Kayla musnah, gue rasa gak ada salahnya.” Ucap Devon terdengar santai.
          Kini malah ILan yang terlihat panic. “Apa lo belom tau kalo Nissa itu…?”
          “Suka bola?” lagi-lagi Devon mengerti maksud dari gelagat aneh Ilan.
          Ilan diam. Rasanya ia adalah orang terakhir di dunia ini yang mengenal Nissa. Terlebih dari kedua temannya.
          Devon tersenyum geli. Ilan semakin gak berkutik. “Setelah gue piker-pikir. Jahat banget gue ngebatasin ruang gerak seseorang. Apalagi di bola. Kalo gue larang, ngapain juga gue main bola.”

*****

          ‘Apa berarti gue juga jahat? Gue suka bikin puisi buat temen-temen gue. Tapi gue malah  gak suka sama cewek yang segampang itu luluh hanya karena kata-kata yang di ragukan kebenarannya.?’
          Gejolak batin Ilan.
          Hanya ada satu nama yang terlintas dipikirannya. FARIS.

*****

          “Mereka deket karena Dendi naksir temennya Nissa, Nalula.”
          Pikiran Ilan semakin gak karuan. Entah yang dilakukannya ini benar atau salah. Meski kadang ia sendiri gak mengerti dengan apa yang ia lakukan.
          “Kalo gak percaya, lo liat aja tuh.” Faris menunjuk ke arah koridor yang paling dekat dengan lapangan parkir sekolah.
          Ilan melihat kea rah yang ditunjuk jari tangan Faris.
          Terlihat Dendi bergandeng tangan dengan seorang cewek yang bisa di pastikan itu bukan Nissa.
          “Jadi Dendi gak bener-bener naksir sama Nissa?” Ilan berharap Faris tak mendengar dan pertanyaannya tak di jawab. Itu sebabnya ia hanya bersuara dengan sangat pelan. Tapi nampaknya Ilan salah.
          “Sama sekali nggak. Mereka dekat karena ada niat dari mereka masing-masing.” Penjelasan Faris belum bisa membuat Ilan tenang.
          “Lo sendiri?”
          Faris tersenyum. “Hei, dapet pikiran dari mana kalo gue juga naksir? Nissa tuh sepupu gue.”

*****

          Pagi itu suasana sekolah masih sedikit sepi. Nissa bisa melihat beberapa anak berseragam olahraga bermain futsal dari balkon depan kelasnya yang berada di lantai atas.
          Satu hal yang nampaknya membuat Nissa betah berlama-lama di sana. Karena Ilan berada diantaranya.
          Tapi sepertinya tidak hari ini. Sesaat sebelum Ilan menyadari kehadirannya, Nissa memilih menghindari kejadian itu.

*****

          Nissa kembali ke kelasnya yang masih kosong. Hanya ada satu orang di sana. Merasa ada sesuatu yang aneh, Nissa langsung menghampiri orang itu yang berada di dekat mejanya dan menyergap tangannya.
          Orang itu menoleh.
          “Devon?” Nissa tampak terkejut. “Lo ngapain?” Nissa langsung terpaku pada benda di tangan Devon. Surat yang dalam satu minggu terakhir menghantuinya. “Jadi selama ini, itu perbuatan lo?”

*****

          Ilan kembali ke kelas dengan masih menggunakan seragam olahraga.
          ‘Devon benar, gue harus contoh dia. Mungkin mulai sekarang gue harus coba dengan cara yang gue suka. Puisi. Tapi untuk hal ini, bukan puisi sembarangan. Ini special.’
          Ilan terus bergumam dalam hati.

*****
          “Puisi, Nis?”
          Ada orang lain diantara Nissa dan Devon. Ternyata itu Faris.
          “Bukannya selama ini lo gak suka sama puisi? Makanya, puisi-puisi yang lo dapet selalu lo buang ke tempat sampah kan?”
          Pernyataan Faris membuat Devon sedikit membuka mulut dan melebarkan mata seolah ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
          “Jadi lo ngasih puisi, Dev?” Dendi muncul tiba-tiba dari arah pintu. Sedikit berada di belakang Faris.
          “Nggak, Den…”
          “Lo gimana sih?” Dendi menyambar kata-kata Devon yang masih menggantung. “Masa lo malah saingan sama Ilan?”
          “Gue ngelakuin ini juga buat Ilan, Den.” Devon membela diri.
          Belum sempat Dendi membuka mulut, Ilan muncul dari belakangnya.
          “Kalian pada di sini? Tumben. Ada acara apa?” Ilan berkata tanpa ada rasa curuga sedikitpun.
          “Lan…” Dendi tidak melanjutkan kata-katanya setelah melihat sesuatu yang dibawa Ilan. “Gue saranin jangan deh,Lan.”
          Dendi tampak aneh dengan begitu saja merebut amplop yang sama seperti Devon dari tangan Ilan. Lalu merobeknya menjadi due bagian.
          “Eh, apa-apaan lo?” entah marah atau tidak, jelas Ilan kaget perihal sikap Dendi.
          “Udah deh, dengerin aja. Dari pada lo nyesel.” Entah hal apa yang membuat Dendi sekuat tenaga meyakinkan Ilan.
          “Tapi kayaknya lo yang bakal nyesel, Den.” Ilan pun akan merasa lebih menyesal jika tak memberitahukan kepada Dendi. “Karna itu puisi yang lo minta buat Nalula.” Ilan cukup terdengar hati-hati mengatakannya.
          Dendi cukup kaget dengan hanya menatapi sobekan kertas di tangannya. “Yakin?”
          “Lo pikir…?”
          “Gue Cuma mikir, kalo ternyata lo beneran suka sama Nissa, jangan pake puisi buat ngedeketinnya.”
          Senyum Ilan perlahan memudar. “Maksud lo?”
          “Kalo emang lo suka sama Nissa, mending lo bilang aja. Gue sama Devon gak pernah punya perasaan apa-apa ke Nissa. Karena gue udah punya Nalula, dan Devon sama Kayla. Niat kita Cuma buat bantuin lo. “
          “Dev, jadi lo…?” jelas, Ilan mengarah ke Devon. “Bukannya lo bilang Faris…?”
          “Iya Lan. Sory, gue jadi sama Kayla berkat lo. Kalo Faris… Kan yang punya nama Kayla di sekolah ini gak Cuma satu.” Lalu Devon beralih kea rah Nissa berada. “Dan lo juga, Nis. Maafin gue. Gue gak tau lo gak suka puisi. Tapi satu hal yang lo harus tau. Ilan suka sama lo.”
          “Maaf lo bilang! Gak segampang itu, Dev.” Nissa terlihat cukup kesal. Tanpa sedikitpun menatap kea rah Devon.
          “Kita tau lo kecewa. Dan sebagai gantinya, kita bakal nurutin apa aja yang lo mau.” Kata Dendi yang kedengarannya seperti rayuan.
          “Yakin?”
          “Apapun, Nis.” Devon menimpali.
          “Oke.”
          Devon dan Dendi tersenyum lega. Termasuk juga Ilan dan Faris.
          “Besok ada big match Persija lawan Arema di senayan. Gue minta kalian beliin tiketnya.” Kata Nissa enteng.
          Devon dan Dendi terlihat saling berpandangan. Berharap satu dari mereka menemukan soluisinya.
          Faris hampir tertawa dibuatnya.
          Sementara Ilan terlihat berjalan mendekati Nissa. Memeriksa sesuatu di dalam saku celana olahraganya. “Ini yang lo mau, Nis?”
          Mereka dibuat terperangah oleh sesuatu yang di pegang Ilan. Tiket pertandingan sepakbola yang dimaksud Nissa.
          Hehe. Sebenarnya niat Nissa hanya ingin mengerjai Devon dan Dendi. Tapi kalo gini kejadiannya, apa boleh buat.
          Nissa meraih ujung tiket yang dipegang Ilan. “Ketauan deh obat ampuh buat ngeluluhin gue.” Ujarnya malu-malu sehingga menyulutkan tawa di antara teman-temannya.

>>>>>>>>>>>>the end <<<<<<<<<<<<<
='mso� j)- o �OO =N        “Ngapain lo ngikutin gue?” Ceplos Nalula.
        “Enak aja gue ngikutin lo?” Lingga membela diri. “Gue tuh emang mau kesini. Rumah temen gue, Firant.”
        “Ini tuh juga rumah tante gue.” Nalula juga gak mau kalah.
Sampai akhirnya seseorang tampak membuka pintu pagar. Seorang cowok seumuran mereka muncul dari baliknya. “Ya ampun ternyata kalian.” Ujar Firant ketika tau yang berada dihadapannya adalah Nalula dan Lingga. “Gue pikir siapa ribut-ribut di depan rumah gue?”
“Tante Karin ada, Fir?” Tanya Nalula yang ingin cepat-cepat lepas dari sosok Lingga.
“Ada di dalem. Biasa deh, lagi masak. Masuk aja gih.”
Tanpa menunggu apa-apa dan selagi yang punya rumah udah ngizinin, Nalula masuk ke dalam meninggalkan Lingga bersama Firant.
Nalula langsung menuju dapur tempat tantenya berada. Seperti yang di katakan Firant, kalau tantenya lagi masak. “Sore tante.” Nalula memulai.
Seorang wanita berjilbab, cantik, menoleh ke arahnya. “Hai… Nal.” Nalula mendekat dan langsung mencium tangan serta memeluknya.
“Apa kabar tante?” Nalula kembali berbasa-basi.
“Alhamdulillah. Pas banget kamu kemari. Tante baru aja selesai masak, Nalula ikutan makan ya?”
Nalula nyengir. “Kalau soal makan mah Nalula gak nolak tante. Hehe..”
        “Kamu bisa aja, Nal.” Tante Karin pun sampai tertawa dibuatnya. “Yaudah yuk kita makan.” Tante Karin membawa Nalula ke ruang makan.
Baru aja Nalula duduk di salah satu kursinya, Lingga dan Firant muncul. Langsung saja mereka ikut bergabung di meja makan. Tak lupa seperti halnya Nalula, Lingga mencium punggung tangan tante Karin.
“Kok kamu udah lama di Jakarta tapi baru ke rumah tante sekarang sih?” Tanya tante Karin di sela-sela makan mereka.
“Iya tante. Maaf ya. Nalula masih ngurusin buat sekolah soalnya.”
“Gapapa kok, Nal. Tante juga ngerti.”
“Ada berita apa nih, Nal?” Firant iseng ikutan bertanya.
Nalula yang akan menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut, mengurungkan niat setelah mendengar pertanyaan Firant. Ia teringat kejadian tentang ibunya Diaz. “Tante kenal sama  ibu Vindhya?” ujar Nalula yakin.
“Itu nama ibunya Diaz kan ya, bun?” Firant balik bertanya kepada ibunya.
Lingga sebenarnya langsung mengerti dengan arah bicara Nalula. Hanya saja ia lebih mempersiapkan diri karena secara gak langsung, Nalula juga memberitahukannya. Tapi kayaknya, kali ini terasa lebih berat karena diam-diam Lingga telah mengetahui hal ini.
“Memangnya ada apa dengan ibu Vindhya?”
“Tante pasti tau jawabannya.”
Sesaat tante Karin terlihat ragu. “Iya.” Kata tante Karin akhirnya. “Jadi kamu udah tau semua? Kalau Vindhya itu ibu kandung kamu?”
Nalula hanya mengangguk.
“Diaz kan seumur sama gue. Kalo nyokapnya itu ibu kandung lo, berarti lo sama Diaz…?” Firant ikut penasaran.
“Iya, Nal. Kalian kembar.” Ucap tante Karin kemudian.

@@@

ef �-p p =N �2M luar.
“Hatinya gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar