Sabtu, 23 Februari 2013

rosengard fc 2 (part 1)


1.UDAH SETAHUN AJA

1 TAHUN KEMUDIAN…
        Sudah selama itu pula Nalula berpacaran dengan Zagar. Pacaran jarak jauh memang. Karena Zagar memilih untuk tetap tinggal di Palembang. Meski demikian, tiap dua minggu sampai sebulan sekali, Zagar nekat bolak balik Jakarta-Palembang hanya untuk menemui Nalula. Namanya juga Zagar Pamungkas. Gak heran kalo dia begitu. Tapi bukan berarti Zagar meninggalkan sepakbola. Meski status mereka rival, punggawa Rosengard sama sekali tak merasa keberatan jika Zagar ikut berlatih bersama.
        Dan dalam rentang waktu yang sama pula, Lingga berada di negeri orang. Nalula yang benar-benar hilang kontak dengan orang yang satu ini. Sempet nyesel juga gak bisa deket sebelum Lingga ke Inggris.
        Sempat terbesit untuk bertanya perihal Lingga ke anak-anak bola di Rosengard. Tapi percuma. Gak ada satu pun dari mereka yang tau. Bukan karena tidak tau. Justru lebih tepatnya, gak ada yang mau ngasih tau. Anak-anak Rosengard jahat. Pikir Nalula.
        Termasuk Diaz yang berada di daftar orang yang tak ingin memberitahunya. Minta dihajar tuh si Diaz! Tiap kali ditanya, Diaz selalu menggunakan alibi yang sama. Karena Nalula sekarang pacaran sama Zagar. So, Lingga udah gak begitu penting di hidup Nalula. Kata siapa? Nalula gak bisa terima semua alasan Diaz. Bener-bener minta dihajar rupanya!

@@@

        “Mama…” Sapa Nalula pagi itu sambil mengecum pipi mamanya. Nalula duduk dikursi yang selalu ditempatinya tiap makan. Kursi diseberangnya masih kosong. “Pasti telat bangun deh tuh orang?” tebaknya perihal kebiasaan buruk Diaz.
        Sang mama hanya tersenyum menanggapinya.
        “Ma…!” Terdengar suara teriakan Diaz. “Jam yang kemaren mama beliin kok gak ada sih?” Tanya Diaz setengah berlari saking terburu-burunya. Dasinya masih berkibar kemana-mana. Bahkan sepatu ketsnya masih ditenteng.
        “Emang kemaren terakhir kamu taro mana?” tanya mamanya sambil membantu mengikatkan dasi di kerah kemeja Diaz.
        “Nal, itu pasti jam gue kan?” Tuduh Diaz sambil menunjuk jam yang melilit tangan Nalula.
        Nalula menurunkan novel yang tengah dibacanya. “Enak aja! Jangan asal tuduh donk! Emang lo pikir yang punya jam kayak gini Cuma lo seorang?” Nalula tak mau kalah membela diri.
        “Trus siapa lagi?” Diaz balik nanya. “Lagian kan lo biasanya pake jam yang dikasih Zagar.” Kata Diaz lagi sambil mengikat tali sepatunya.
        “Gue kan pake jam itu Cuma kalo lagi sama Zagar aja.” Nalula menunjuk ke atas kulkas yang tak jauh dari meja makan. “Tuh. Siapa yang naro di atas kulkas?”
        Diaz dan mamanya menoleh ke arah yang ditunjuk Nalula. Sang mama langsung menatap tajam ke arah Diaz. Dan si anak malah cengengesan sambil ngeloyor untuk mengambil jam itu.
        “Makanya Diaz, jangan asal uduh orang.” Mamanya memperingatkan.
        “Bukannya asal tuduh, ma.” Kata Diaz setelah kembali ke meja makan. “Aku Cuma salah tebak.” Diaz membela diri. “Lagian, mama juga, beliin kita barang yang model sama warnanya samaan.” Kali ini Diaz malah menyalahkan mamanya.
        “Iya, ma. Lain kali warnanya kek yang beda. Atau bentuknya yang beda.” Nalula malah mendukung Diaz. “Jadi kan mama gak perlu pusing kalo aku sama Diaz berantem.”
        Diaz pura-pura tak mengetahui kalau mamanya lagi ngeliatin dia. Dan Nalula juga kembali pura-pura sibuk dengan novelnya ketika sang mama beralih kepadanya. Begitu ibu mereka beranjak dari sana, Diaz dan Nalula saling pandang sambil menarik napas bersamaan. Sedetik kemudian, mereka tertawa bersama menanggapi kenakalan mereka.
        “Ehm…”
        Seketika, suara sang mama langsung menghentikan tawa si kembar. Nalula buru-buru memasukan bukunya ke ransel lalu berdiri dan mendekati ibunya. Diikuti Diaz.
        “Nal berangkat ya, ma.” Nalula berpamitan sambil mencium punggung tangan lalu pipi mamanya.
        Diaz pun melakukan hal yang sama. Yang membuat mamanya hanya bisa geleng-geleng kepala.

@@@

        Ini hari pertama SMA Rosengard masuk sekolah. Karena masih masa orientasi, belajar efektif pun belum bisa berjalan lancar. Bahkan sebelum jam istirahatpun, kantin sudah dipenuhi siswa dan siswi. Tapi Nalula lebih milih untuk menyendiri di ruang secretariat sepakbola SMA Rosengard. Di sana ia hanya memandangi album kenangan selama mereka mengikuti turnamen.
        Pintu pun menjeblak terbuka, dan seseorang melangkah ke dalam. Namun Nalula tak mempedulikannya. Sampai akhirnya orang itu duduk di depan Nalula dan meletakkan kedua tangannya di atas album, seolah bisa menutupi semua bagian gambarnya.
        Nalula mendongak. “Danu?”
        Danu tersenyum. “Kenapa sih? Udah kangen buat turnamen lagi ya?” Ledek Danu. “Tenang aja. Bentar lagi juga mulai kok.”
        Nalula tak menjawab. Perlahan ia menyingkirkan tangan Danu yang menghalangi foto-foto di album itu. “Beneran kalian gak ada yang tau kabar tentang Lingga?” Nalula bertanya, namun pandangannya sama sekali tak beralih ke Danu.
        “Sebenernya…”
        Nalula menyelak perkataan Danu. “Atau kalian sengaja gak mau kasih tau gue?” Nalula mendesak. Ia menutup album foto itu, lalu menatap tajam tepat di mata Danu.
        Danu diam, namun masih bisa bersikap santai.
        “Berarti selama ini lo terpaksa jadian sama Zagar?” Ada seseorang lagi di antara mereka. Karena Danu bukan tipe orang yang berani ikut campur masalah orang lain. Apalagi yang menyangkut urusan pribadi.
        Danu dan Nalula sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Orang itu tepat berdiri di ambang pintu. Siapa lagi yang berani ngusik kisah cinta Nalula kalo bukan Ilan?
        “Lan, apa salah kalo gue nanya kabar Lingga?” Tanya Nalula dengan posisi tersudutkan. “Biar gimana pun juga, Lingga telah menjadi bagian dari hidup gue. Bagian dari Rosengard juga.”
        Ilan menghela napas. Ia kini sudah berada di antara Nalula dan Danu. “Sory, Nal. Kita Cuma jaga perasaan lo sama Zagar.”
        Nalula berdiri. Rasanya pengen banget buat ngehajar Ilan. Untung aja Nalula gak lupa kalo Ilan adalah temannya. “Lo pikir Zagar gak nanya-nanya tentang Lingga?”
        “Iya gue tau. Zagar juga sempet nanya ke gue.” Ilan membela diri. Tapi Nalula terlanjur tak peduli dan meninggalkannya dengan Danu. “Tapi satu yang perlu lo tau.” Teriak Ilan.
        Nalula berhenti tepat diambang pintu.
        “Segera, lo bakal ketemu sama dia.” Lanjut Ilan membuat Nalula kembali melangkah.
        “Serius, Lingga mau pulang?”
        Ilan menoleh dan dikejutkan karena Danu tengah menatap penuh harap padanya.

@@@

        Sepulang sekolah, seperti kebiasaannya setahun terakhir, Nalula selalu menunggu Diaz di depan pintu gerbang. Namun seseorang yang menghentikan motornya tepat di samping Nalula bukan Diaz. Melainkan itu Ilan yang menyodorkan helm pada Nalula. Nalula meraihnya penuh tanda tanya.
        Ilan membuka kaca helmnya. “Diaz udah pulang tepat pas bel bunyi. Dia buru-buru, makanya dia nyuruh gue buat nganterin lo pulang dan naro helm lo di motor gue.”
        Nalula mengangguk dan tanpa bertanya apapun lagi, langsung naik ke boncengan motor Ilan. Begitu motor melintasi depan halte, Nalula melihat Riva yang ia yakin pasti melihatnya pula, namun langsung saja menoleh ke arah lain. Nalula yang berniat untuk menyapapun hanya bisa menelan ludah. Pasti ada sesuatu. Pikirnya.
        Ilan tak langsung membawa Nalula pulang, karena ia memarkirkan motornya di depan toko donat langganannya.
        “Lo pasti gak bilang ke Riva kalo lo nganterin gue pulang?” Nalula menghujani Ilan dengan pertanyaan seperti itu setelah turun dari motor.
        Ilan menatap Nalula heran. “Maksudnya?” Ia malah balik bertanya.
        Nalula memutar bola matanya. Ekspresi dari kekesalannya terhadap Ilan yang menurutnya terlalu cuek menanggapi hal yang bisa dibilang hanya masalah kecil tapi sebenernya gak bisa disepelekan juga. “Lo tau gak sih pas kita lewat depan halte, di sana ada Riva?”
        “Emang?”
        Nalula tak bisa menahan emosi lagi. Satu jitakan mendarat tepat dikepala Ilan yang langsung meringis.
        “Lo gak pernah ngerasain yang namanya cemburu apa?” Nalula membuat Ilan berfikir. Tapi Nalula gak bisa nunggu lebih lama lagi. “Lo tau kan Riva cemburu banget kalo lo lagi sama gue? Dan begonya, kenapa juga gue mau lo ajak pulang bareng?” Nalula menyalahkan dirinya sendiri.
        “Gue lebih dulu kenal sama lo.” Ujar Ilan enteng dan segera masuk ke dalam toko sebelum Nalula kembali menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan ajaibnya.
        Nalula lebih memilih menunggu di luar.
        Tak berapa lama, Ilan kembali sambil menenteng dua tas kardus dan langsung menyerahkannya pada Nalula. Setelah itu, Ilan membawa Nalula pulang.
        Begitu sampai, ternyata motor Diaz sudah terparkir di sana. Nalula menyodorkan kembali barang belanjaan Ilan.
“Kok dibalikin?”
        “Terus? Gue lagi gak kepengen donat.”
        “Yaudah. Bawa masuk dulu. Zagar mau kesini kan?”
        Astaga. Nalula menepuk jidatnya. Ini hari Jum’at. Dan Zagar memang sudah mengabarinya akan ke Jakarta. Tapi kenapa dirinya justru melupakan hal itu? Nalula menghela napas dan langsung mengajak Ilan untuk masuk. Ia meletakkan tas berisi donat-donat tadi di atas meja makan. Dari arah dapur Diaz muncul sambil membawa dua buah gelas berisi minuman dingin.
        Baik Nalula ataupun Ilan meyakini minuman yang dibawakan Diaz bukan untuk salah satu dari mereka. Nalula tersenyum mengerti dan langsung berlari dari sana menuju kamar Diaz. Ia membuka pintu dan langsung terfokus ke tempat tidur Diaz yang selimutnya seolah menyembunyikan sesuatu.
        Nalula menyeruak masuk dengan semangat ’45. Ia mendekap benda dibalik bedcover itu. “Heh! Bangun lo! Mau ngerjain gue ya dateng cepet?” Kata Nalula sambil menariknya. Tak disangka, Nalula justru tak bisa menahan keseimbangan badannya dan membuat dirinya dan benda yang dipeluknya berguling ke lantai beserta bedcover yang kini melilit mereka.
        Nalula meraih ujung bedcover dan menariknya. Memastikan apa yang berada di dalamnya. Dan betapa terkejutnya Nalula bahwa itu bukanlah seperti yang ia bayangkan. “LINGGA…!!”
        “Nal…!”
        Nalula dan Lingga yang masih berada dalam posisi sama, bersamaan menoleh ke arah sumber suara.
        “Zagar…!” Teriak Nalula. Bersama Lingga, mereka berusaha membebaskan diri.
        Zagar yang semula telah berada di ambang pintu langsung memaksa keluar meski harus menabrak tubuh Ilan dan Diaz yang berada dibelakang dan menghalangi langkahnya.
        Ilan dan Diaz siap mengejar Zagar.
        “Lan.” Teriakkan Nalula mengurungkan niat Ilan, diikuti Diaz. “Bantuin gue.” Kata Nalula lagi dengan susah payah sambil berusaha melepaskan diri, namun hasilnya nihil. Baik Nalula ataupun Lingga, sama sekali tak bisa berbuat banyak.
        Mau tak mau, Ilan dan Diaz berbalik. Tak lama, Nalula yang terlebih dulu terbebas dan sesegera mungkin berlari keluar. Di luar pagar, sosok Zagar terlihat sudah cukup jauh meninggalkan rumah. Nalula kembali ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu. Namun tampaknya ia beruntung, kala melihat kunci motor Ilan masih menyangkut di sana. Tanpa pikir panjang, Nalula langsung membawa kaburnya bersamaan dengan Diaz, Ilan dan Lingga yang muncul dari balik pintu dan bersamaan langsung mengejar Nalula.
        Nalula menghentikan motornya tepat di persimpangan jalan. Ia menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari sesuatu. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangunan yang terlihat sebagai kantor secretariat. Dibagian terasnya terdapat kursi-kursi panjang. Dan seseorang yang dikenal Nalula berada di sana. Zagar. Tanpa buang waktu, Nalula segara menghampiri.
        Nalula duduk di samping Zagar yang terdiam dan hanya memandang lurus ke depan. Sekilas, Nalula melirik Zagar dari arah samping. Matanya terfokus pada bulu mata Zagar yang baru ia sadari begitu lentik untuk ukuran seorang cowok. Mungkin karena selama ini Zagar mengenakan kacamata. Tapi tidak untuk hari ini.
        Zagar menghela napas. Sama sekali tak merespon tatapan Nalula meski ia telah menyadarinya. “Udah setahun aja.” Zagar kembali diam. “Lingga udah balik. Dan gue muncul di saat yang gak tepat.” Kemudian berdiri.
        Nalula tak ikut berdiri, namun ia berhasil menggenggam tangan Zagar sebelum sempat melangkah.
        “First love bisa ngalahin semua rasa.” Kata Zagar lagi yang sebenernya belum bisa diterka maksud dan tujuannya. “Tapi nggak untuk persahabatan.” Lanjutnya sambil menoleh ke Nalula yang masih duduk dan sedikit tertunduk.
        “Gue sayang lo.” Ucap Nalula pelan.

@@@

        Ilan, Diaz dan Lingga duduk dalam diam mengitari meja makan. Tak ada satupun yang bersuara. Bahkan, jeritan dering handphone pun tak bisa memecah keheningan. Es batu dalam gelas minuman yang tadi di buat Diaz pun kini sudah melebur jadi satu dan larut dalam air.
        Tak lama, Nalula dan Zagar muncul. Mereka bergabung di meja makan. Tetap tak merubah suasana. Masih hening yang menguasai.
        Lingga melirik Nalula yang duduk di antara Ilan dan Zagar. Rasanya sudah lama sekali ia tak menatap cewek itu. “Nal, apa kabar?”
        Mendengar itu, Nalula rasanya sangat ingin membentak Lingga yang kini seenaknya menanyakan kabar. Selama ini dia kemana? Yang berusaha menghindar tuh siapa? Tapi ditekannya kuat-kuat perasaan itu. Nalula memperhatikan jam di tangan kiri Lingga. Ia hampir sedikit melupakan bentuknya. Karena cukup lama ia tak melihat benda itu. Tapi Nalula yakin, jam itu adalah pemberiannya untuk Lingga sebelum cowok itu berangkat ke luar negeri.
        “Kok gak jawab?” Tanya Lingga lagi yang merasa pertanyaannya tak direspon.
        Nalula berdiri. “Gue ganti baju dulu.”
        Tak lama ketika Nalula pergi, Ilan mengeluarkan ponselnya. Raut wajahnya seketika berubah. “Wah… Kasus nih, gue cabut dulu ya.”
       
@@@

        Turnamen akan kembali bergulir kurang dari satu bulan lagi. Untuk pematangan, pagi ini punggawa SMA Rosengard menggelar sesi latihan. Dan bukan pemandangan asing lagi ketika Zagar terlihat di antara mereka.
        Sesuai kesepakatan bersama, seluruh pemain menyetujui kalau posisi Riva dan Reva dipertahankan. Alhasil, cewek itu kini duduk di kursi yang memang biasa mereka tempati tiap latihan. Tapi ada yang janggal dengan sikap mereka. Bersama Nalula, dua cewek kembar ini duduk manis dalam diam. Terutama Riva. Bukan hanya diam. Justru lebih terlihat sedikit menjaga jarak.
        “Lo berdua kenapa sih?” Tanya Reva kepada dua cewek yang duduk di kanan dan kirinya.
        “Gak ada apa-apa.” Riva yang menjawab dengan ekspresi dingin. Seolah ia begitu konsentrasi terhadap jalannya pertandingan.
        “Nal.” Reva yang tak mendapat jawaban dari Riva, kini beralih ke Nalula dengan tatapan menuntut penjelasan.
        Seolah tak terjadi apa-apa, Nalula hanya tersenyum di depan Reva. Meski sebenarnya Nalula memang telah menyadari ada sesuatu antara dirinya dengan Riva.
        “Kita harus focus, Rev. Sebentar lagi kan turnamen.”
        Tak ada alasan lain lagi yang bisa menggambarkan suasana saat ini. Bukan hanya pemain, tetapi para official pun dituntut untuk focus dalam mengemban tugas.
        Nalula bersyukur Reva tak mendesaknya. Ketika menoleh ke lapangan, ia melihat Zagar berjalan menepi. Dan saat itu pula, Nalula bangkit sambil membawakan sebotol air mineral untuk Zagar.
        “Makasih.” Zagar menerima pemberian Nalula dengan penuh senyum.
        “Sama-sama.” Balas Nalula, tapi pandangannya mengedar hampir keseluruh penjuru lapangan. Nalula menghela napas sesaat. “Untuk sementara, usahain buat gak deket sama Lingga, ya.”
        “Lho? Kenapa?” Zagar melirik Nalula dengan tatapan curiga.
        “Dia pasti akan...”
        “Gak akan…” Zagar menyambar perkataan Nalula, seolah ia mengetahui apa yang akan dikatakan ceweknya itu. Nalula menatapnya penuh harap. “Gue gak akan ngebiarin Lingga ngomong yang aneh-aneh. Dan kalaupun itu terjadi, gue gak akan peduli. Jadi lo tenang aja. Oke?” lanjutnya.
        Zagar memaksa tangan Nalula untuk menerima botol minumannya. “Itu kekhawatiran lo aja.” Ucap Zagar sambil mengacak rambut Nalula sebelum ia kembali ke tengah lapangan.
       
@@@

        Seperti biasa, hari Minggu adalah hari yang menjadi kepulangan Zagar kembali ke Palembang. Di temani Nalula, mereka berdua menuju bandara dengan menumpang bus.
        Selama di sana, Nalula sama sekali tak melepas genggaman tangannya ke Zagar. Tiba saatnya Zagar pergi. Cowok itu berdiri. Tapi Nalula tidak. Cewek itu semakit mengetatkan pegangan tangannya yang membuat Zagar semakin enggan untuk pergi.
        Zagar kembali duduk. Dengan cukup keras, ia menghela napas. “Lo masih mau ketemu gue di turnamen, kan?”
        Nalula tak menjawab pertanyaan Zagar. Ia justru langsung melepaskan tangannya begitu saja membuat Zagar hanya mampu menggelengkan kepala karena tak tau harus bersikap seperti apa terhadap cewek di sebelahnya ini.
        Zagar berlutut di hadapan Nalula sambi menggenggam kedua tangan cewek itu. “Walau kita gak bisa ketemu lagi sebelum turnamen, lo jangan khawatir. Gak akan ada yang bisa ngubah perasaan gue terhadap lo. Meski itu Lingga sekalipun.”
        Tiap kali ia mengantar Zagar ke Bandara, Nalula memang kerap kali tak berkomentar apa-apa. Jadi, sebisa mungkin Zagarlah yang selalu berceloteh.
        Zagar menarik tangan Nalula hingga cewek itu berdiri bersamanya. “Pokoknya turnamen tahun ini gue janji gak akan ada lagi yang namanya taruhan sama Lingga. Enak aja dia mau ngerebut lo lagi dari gue.”
        Perkataan Zagar seperti itu lah yang hampir selalu membuat Nalula tertawa.

@@@

        Nalula melangkah masuk ke dalam bus yang akan membawanya pulang. Ia memilih bangku yang masih kosong. Selang beberapa saat setelah ia duduk, muncul seorang pemuda mengenakan sweater hitam yang kupluknya menutupi kepala serta kecamata berlensa hitam. Tak diduga, cowok itu memilih tempat duduk di samping Nalula.
        Awalnya Nalula tak keberatan ketika cowok itu duduk, tapi setelah cowok disampingnya membuka kupluk dan kacamata…
        “Lingga? Ngapain lo di sini?” protes Nalula dengan ketusnya.
        “Ikh… suka-suka gue lah.” Lingga tak mau ambil pusing.
        Tampang Nalula berubah 180 derajat. Ia bête sejadi-jadinya. Bus pun sudah mulai bergerak dan meninggalkan bandara.
Lingga menarik lengan kiri jaketnya hingga memperlihatkan benda yang sejak tadi tersembunyi dibaliknya. Sebuah jam tangan. Benda itu tak lain adalah pemberian Nalula setahun lalu. Lingga seolah ingin menunjukkan bahwa ia masih menjaga benda itu dengan baik sampai sekarang.
“Masih ada waktu.” Lingga menghela napas. Ia mencondongkan badan agar bisa leluasa melihat langit melalui jendela membuat cewek di sampingnya ini merapatkan badannya ke sandaran kursi. Kala itu sebuah pesawat pun melintas. “Zagar udah bener-bener berangkat, kan?” Ujar Lingga sambil kembali ke posisi semula. Kemudian melirik Nalula. “Gue mau ngajak lo ke suatu tempat.”
Nalula balas melirik tajam. “Kalo gue nggak mau?”
“Harus.”
“Pemaksaan!” Nalula menoleh ke arah lain. Ia enggan berlama-lama menatap wajah orang disampingnya kini.
“Bukan pemaksaan. Tapi…” Lingga merogoh saku belakang celana jeansnya. “Lo pasti gak akan bisa nolak. Karena gue udah beli tiketnya dengan susah payah. Jadi, lo gak boleh nolak.”
Lingga sukses berat membuat Nalula jengkel.

@@@

Diaz mengintip keluar jendela karena ada sebuah motor yang berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Cowok itu memutuskan untuk keluar dan menemui sang tamu. Belum sampai pagar, ia mendapati Nalula yang membuka pintu pagar. Ketika berpapasan dengan Diaz pun, Nalula sama sekali tak menyapa bahkan menoleh. Ternyata Nalula pulang dengan Lingga yang masih menunggu di atas motornya.
“Ade gue kenapa? Kok bisa pulang sama lo? Kalian dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” Diaz menuntut penjelasan karena sore itu sudah hampir menjelang maghrib.
“Kan gue udah bilang mau ngikutin Nalula ke bandara. Pulangnya gue Cuma ngajak nonton timnas doank kok di Senayan. Belum juga selesai pertandingannya, ade lo udah keburu minta pulang. Oiya, siapa yang menang? Berapa-berapa skornya?” ujar Lingga hampir tanpa jeda.
“Indonesia kalah 1-0.”
Lingga berdecak kecewa. “Sayang banget, padahal kita nguasain permainan dari babak awal. Lo liat kan sundulannya Bambang Pa…” kata-kata Lingga menggantung karena Diaz menyuruhnya berhenti.
“Heran deh sama lo. Kuat banget ngomong sih?” keluhnya. “Lagian, ini udah maghrib. Gak denger azan udah berkumandang, apa? Ayo masuk dulu.”
Lingga hanya nyengir menanggapi celotehan Diaz. “Kagak deh, salam aja buat nyokap lo. Gue mau balik dulu.” Ujar Lingga kemudian memakai helm dan meninggalkan rumah Diaz.

@@@

        Malam itu, Diaz tengah bersantai di ruang keluarga. Tak lama, Nalula yang telah berganti pakaian pun duduk di sampingnya.
        “Di.”
        “Apa?” Diaz hanya menyahut, tapi tidak menoleh sedikitpun ke Nalula.
        Cewek itu bersandar manja di pundak kembarannya. “Gue salah gak sih jadian sama Zagar?”
        Diaz balas merangkul Nalula. “Apa selama ini lo terpaksa nerima Zagar?” Diaz balik bertanya.
        Nalula menggeleng. “Kenapa Lingga jadi nggak beda jauh sama Zagar sih?” keluhnya. “Apapun yang dia lakuin, gue gak bisa nolak.”
        Diaz tersenyum. “Kalo gue pikir-pikir, mereka emang punya banyak persamaan. Dan yang paling jelas terlihat adalah, mereka sama-sama punya perasaan ke lo.”
        Nalula melepaskan diri dari pundak Diaz. “Lo kenapa malah bikin gue makin dilemma sih?” Omelnya. “Gue gak bakal bisa ketemu Zagar sampai turnamen. Dan itu pasti bakal dimanfaatin Lingga. Lo tau sendiri tuh orang selalu bisa bikin gue gak nolak.”
        “Apa yang lo takutin?” Tanya Diaz lembut sambil menarik Nalula untuk kembali bersandarr dipundaknya.
        “Gue takut terjebak dengan Lingga tanpa kehadiran Zagar. Karena gue gak mau nyakitin siapapun. Terutama Zagar.”
        Saking seriusnya dengan masalah yang dihadapi Nalula, dua anak kembar ini sampai tidak menyadari kehadiran ibu mereka yang menatap aneh melihat keakraban anak-anaknya.
        “Tumben akur?”
        Diaz dan Nalula terlonjak sambil membalikkan badan.
        “Yaelah si mama. Anaknya berantem, dimarahin. Giliran lagi akur, malah komentar. Maunya apa sih?” kata Diaz membela dan di dukung oleh Nalula.
        Ibu mereka jadi salah tingkah dan sedikit merasa bersalah. “Yaudah deh, lanjutin aja. Mama gak mau ganggu.” Kata sang mama yang sedetik kemudian sudah tak berada di sana.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar